BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat jawa adalah masyarakat yang
memiliki populasi terbesar di Indonesia dan pengaruhnya pun begitu besar bagi
kehidupan bernegara di indonesia. Masyarakat jawa memegang identitas sebagai
salah satu pusat perkembangan peradaban bangsa indonesia, ini dapat dilihat
dari mapannya kebudayaan baik itu dalam sendi agama ataupun lainnya.
Dengan populasi terbesar di indonesia dengan
sebagian besar masyarakatnya masih memegang begitu kuat tradisi lama menjadi
masyarakat jawa salah satu objek kajian menarik dalam mengungkap sisi budaya,
adat, dan kehidupan beragamanya. Selain itu, telah begitu banyak catatan
sejarah yang menjadikan masyarakat jawa sebagai tokoh utama sejarah itu. Mulai
dari sejarah perkembangan hindu-budha, penguasa nusantara pertama yaitu
majapahit, islamisasi indonesia hingga pada tataran perjuangan perebutan
kemerdekaan dan pengendali utama kehidupan bernegara hingga saat ini.
Tidak dapat dipungkiri masyarakat jawa menjadi
hal yang dominan di negeri ini. Dengan corak sebagian besar masyarakatnya yang mengasih memegang kuat
prinsip tradisional maka masyarakat jawa masih kental dengan secratisme yang
menarik untuk di pelajari khususnya akulturasinya dengan kaidah kehidupan
islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Teologis masyarakat Jawa ?
2. Bagaimana pandangan Kosmologis dan Etis
masyarakat jawa ?
3. Apa yang dinamakan islam priyayi ?
4. Apa yang dinamakan islam santri ?
5. Apa yang dinamakan islam abangan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PANDANGAN
TEOLOGIS
Secara teologis aliran teologi islam yang paling banyak berkembang
di Indonesia khususnya jawa sejak awal perkembangan islam adalah aliran
teologis Asy’ariyah. Aliran ini adalah aliran yang paling banyak di anut oleh
kaum muslim di dunia yang berlandaskan ahlussunah wal jama’ah. Selain teologi
ini berkembang pula teologi-teologi lainnya seperti aliran Mu’tazilah namun,
teologi ini dalam perkembangannya setelah tidak dijadikan lagi sebagai teologi
resmi dinasti Abbasiyah banyak ditinggalkan orang karena terlalu mengedepankan
kebebasan berpikir dan berkarya. Teologi Asy’ariyah menekankan ketundukan
manusia kepada takdir yangtelah ditetapkan tuhan sejak zaman azali. Meskipun
manusia memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginan dan perbuatannya, tetapi
perwujudannya tergantung kehendak tuhan.
Teologi Asy’ariyah semakin popular ketika sejumlah ulama banyak
yang belajar agama ke timur tengah, terutama di makkah dan madinah kembali lagi
keindonesia pada abad ke-17. Mereka mempelajari dan mengikuti aliran teologi Asy’ariyah
yang kemudian diajarkan ke Indonesia melalui kitab-kitab yang ditulis oleh
mereka kemudian disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia termasuk jawa,
melalui dakwah dan pengajaran dilembaga pendidikan.
di
Indonesia, perubahan atau pergeseran dari pandangan teologis Asyariah itu
dimulai sejak abad ke 18. sejak abad ke 17 mulai berkembang paham neosufisme,
yang disebarkan oleh ulama-ulama Indonesia yang baru kembali menuntut ilmu di
timur tengah. Yang paling terkenal di antara ulama ini adalah Nur al-Din al
Ranriri, Abd al-Ra’uf Singkili (keduanya menjadi multi di Kesultanan Aceh), dan
Muhammad Yusuf al-Maqassari (menjadi mufti di Kesultanan Banten). Neosufisme
yang mereka anut yang telah dimurnikan dari praktek-praktek yang eksesif dan
antinomian, sehingga menjadi lebih selaras dengan tuntunan hukum Islam (syariah
atau fiqh).
Teologi
jihad yang lain adalah gerakan Diponegoro yang memunculkan perang jawa
(1825-1830). teologi jihad melawan colonialis Belanda yang dimunculkan
Diponegoro ini berbau sufistik, mahdiis, dan mesianis. Pangeran Diponegoro
telah mengalami semacam intensifikasi keislaman dan kesufian melalui
pengembaraannya dari satu pesantren ke pesantren lain, menyatakan diri sebagai
sultan ngabdulhamid Herucakra Kabiril Mukminin Kalipatullah ing Tanah jawa
sayyidin pantogomo, penegak kembali agama Islam di jawa, dan sekaligus sebagai
Ratu Adil yang bertugas untuk melenyapakan kekacauan, ketidakadilan, dan
penindasan yang dialami kaum muslim di jawa.Teologi radikal lainnya juga muncul
dari Syekh Ahmad Rifai, dari Kalisalak, Pekalongan, pada abad ke 19. Setelah
belajar belasan tahun di Mekkah, Ahmad Rifai kembali ke desanya. Di sini, ia
mengembangkan teologi dan ajaran radikal. Ia dan pengikutnya ‘hijrah’ dari kaum
muslim lain dengan membentuk kelompok yang kemudian dikenal sebagai kelompok
‘santri tarjumlah’. Ahmad Rifai sangat tidak setuju adanya penghulu, yakni
pejabat agama yang diangkat Belanda untuk mengelola urusan-urusan keagamaan
kaum muslim. Menurut Ahmad Rifai tidak sah berimam kepada penghulu yang
diangkat oleh penguasa non muslim. Dan tidak sah pula melakukan perkawinan
melalui penghulu dan, sebagai konsekuensinya, pernikahan yang dilakukan melalui
penghulu harus diulangi kembali. Namun, karena kewaspadaan pemerintah kolonial
Belanda inilahyang membuat gerakan initidak berkembang.Jika dilihat semua kasus
diatas lebih condong ke teologi khawarij karena lebih menekankan pada kekerasan
baik muslim maupun non-muslim yang berbeda pandangan. para pelaku yang terlibat
dalam gerakan-gerakan tersebut mungkin menganggap, bahwa mereka tetap berpegang
kepada teologi Asyariah, tetapi aktivitas dan gerakan mereka menunjukkan
terjadinya pergeseran dari teologi Asy’ariah.
B. PANDANGAN
KOSMOLOGI
Kosmologi
adalah ilmu yang berkaitan dengan struktur alam semesta dan kaitan antara ruang
dan waktu. Pandangan kosmologi berarti persepsi yang mengaitkan fenomena alam
yang di jadikan sebagai suatu keyakinan hubungan antara alam dan kehidupan.
Masyakarat
jawa adalah masyarakat yang memegang kuat prinsip tradisional pemikiran dan
persepsi ini dapat dilihat dari kuatnya pengaruh persepsi tradisional dalam
kehidupan masyarakatnya. Salah satu persepsi tumbuh mengakar ialah mengenai
alam dan hubungannya dengan agama. sebagaimana kita ketahui masyarakat jawa
telah memiliki pandangan hidup yang
mapan terutama dalam bidang keagamaan. Jauh sebelum islam datang dan pada masa
pra-hindu masyarakat jawa telah memegang keyakinan akan kekuatan adikodrati
dalam bentuk kekuatan alam. Keyakinan ini telah mengakar dengan begitu kuat dan
menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat jawa serta berasimilasi dengan budaya
hindu-budha.
Ketika
islam sebagai agama baru singgah pertama kali maka tantangan terbesar dalam
proses islamisasi adalah bagaimana mengakulturasi budaya jawa dengan sentuhan
prinsip ajaran islam, maka strategi dakwah yang paling memungkinkan adalah
dengan pendekatan dan adaptasi islam pada budaya jawa. Hal ini dapat dilihat
dari bagaimana para Wali berdakwah yaitu dengan media budaya khas jawa. Maka
pandangan kosmologi khas jawa yang telah mengakar tetap bertahan dan mendapat
sentuhan ajaran islam.
Berikut
beberapa contoh pandanngan kosmologi masyarakat jawa :
1.
Jagat raya merupakan kesatuan yang
harmonis antara jagat gede (alam
semesta) dan jagat cilik (alam
manusia) dan untuk menjaga keharmonisa ini maka masyarakat sebagai jagat cilik selalu mengadakan upacara ruwatan.
2.
Gunung menjadi simbol kekuatan
adikodrati dan sebagai simbol keramahan Tuhan dan sebagai bentuk rasa syukur
masyarakat suku tengger Bromo melakukan upacara Yadha Kusada.
3.
Laut selatan merupakan tempat
berkuasanya Nyi Roro Kidul dan sebagai rasa syukur diadakan upacara Larung Sesaji.
C. PANDANGAN
ETIS
Etis atau etika berasala dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti sikap yang menjadi
kebiasaan dalam kamus besar bahasa indonesia etika berarti ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk serta berkaitan dengan hak dan
kewajiban.Masyarakat jawa adalah masyarakat yang benar-benar menjunjung tinggi
etika dalam setiap interaksi kehidupan. Etika masyarakat jawa bukan tumbuh
berasal dari kebudayaan islam, melainkan telah ada dan berkembang dari masa
pra-Hindu. Masyarakat jawa memegang dengan kuat prinsip beretika dalam setiap
interkasi karena prinsip inilah yang menjadi kunci kerukunan dan kesatuan
masyarakata jawa.
Sama halnya seperti pandang kosmologi, pandangan
etis pun menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun strategi dakwah para
wali. Akulturasi budaya lokal jawa dengan kaidah keislaman menjadi strategi
ampuh dalam proses islamisasi masyarakat jawa. Pandangan etis yang menjadi ciri
khas dan identitas masyarakat jawa merupakan etika moral berkehidupan sekaligus
menjadi simbol akan jatidiri masyarakat jawa.
berikut beberapa contoh pandangan etis masyarakat
jawa yang berakulturasi dengan kaidah keislaman:
1.
Masyarakat jawa sangat menghormati orang
yang lebih tua terutama kepada orang tua maka dalam prosesi pernikahan selalu
diadakan sungkeman
2.
Masyarakat jawa sangat menjunjung tinggi
rasa saling memaafkan maka dalam perayaan hari raya idul fitri disimbolkan
dengan ketupat (kupat dalam bahasa jawa yang berarti ngaku lepat)
3.
Masyarakat jawa sangat mengutamakan
kerukunan dan kebersamaan dalam setiap kehidupan sosial. Pandangan ini kemudian
di simbolkan dalam upacara nyadran,
gunungan, grebegan.
D. ISLAM
PRIYAYI
1.
Pengertian Priyayi
Secara etimologi kata priyayi berasal dari dua kata
dalam bahasa jawa, yaitu para dan yayi yang artinya para adik. Para adik yang
dimaksud adalah para adik raja. Dalam kebudayaan jawa, istilah priyayi atau
berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu pada golongan
bangsawan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, priyayi adalah orang yang
termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat.
Namun sekarang, seorang priyayi tidak selalu orang
kaya ataupun bangsawan yang berada pada tingkat sosial yang atas. Saat ini,
seseorang yang berwibawa, bertutur kata dengan baik dan memiliki sopan santun
sudah bisa disebut sebagai seorang priyayi. Seorang priyayi memiliki pengaruh
tertentu kepada masyarakat sekitarnya. Kiprahnya dapat dijadikan panutan bagi
sebagian orang serta dengan tutur katanya yang sopan santun membuat mereka
lebih dihargai dan disegani dalam masyarakat. Sebagian priyayi ada juga yang
menjadi ustadz yang merupakan tokoh yang dijadikan sebagai panutan dalam agama
Islam. Dapat dikatakan bahwa seorang santri adalah priyayi, namun seorang
priyayi tidak selalu santri.
2.
Islam Priyayi
Islam priyayi adalah paham ke-Islam-an yang dianut
oleh para aristokrat.[1]Priyayi
asal mulanya hanya diistilahkan bagi kalangan aristokrasi (sebuah sistem
pemerintahan yang dipimpin oleh individu terbaik) yang oleh belanda dipilih
dari raja-raja pribumi yang ditaklukkan kemudian diangkat menjadi pegawai sipil
yang digaji. Elit pegawai ini yang ujung akarnya terletak pada kraton
Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket kraton
yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, sandiwara, musik
dan sastra, dan mistisme hindu budha. Islam Priyayi tidak menekankan pada
elemen animistis jawa yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tidak pula
menekankan pada elemen Islam seperti kaum santri, tetapi menitikberatkan pada
elemen Hinduisme.
Kelompok priyayiini, umumnya juga memeluk agama formal, meskipun tentu saja di antara
mereka ada yang memeluk kebatinan. Mereka yang memeluk kebatinan atau agama Jawi
sama sekali longgar dengan ritus-ritus Islam. Sedangkan mereka yang
formalnya Islam, ternyata juga sama seperti kaum dalam abangan yaitu juga
longgar dengan ritus-ritus Islam.
E.
ISLAM SANTRI
1.
Santri golongan
sosio-religius
Sebelum membahas pengertian santri dan abangan sebagai
golongan-golongan sosio religius, hendaknya orang lebih dulu memperhatikan
hubungan yang sangat mendasar antara agama dan masyarakat. Diantara ikatan yang
akan menambah keterpaduan sosial bagi suatu kelompok adalah agama.
Keberadaan satuan atau golongan sosio-religius seperti santri
disebabkan dan didasarkan pada sikap religius para anggotanya. Dalam hal ini,
satu sikap golongan yang diungkapkan dalam sebuah satuan sosial ditentukan oleh
dua faktor; yang pertama, peranan tradisi yang berubah dan berkembang sesuai
dengan zaman;kedua, penghayatan sesuatu yang suci sebagai dasar untuk sikap
religius, apakah secara perseorangan atau secara bersama.
2.
Golongan Santri
dalam Stratifikasi Sosial Jawa
Sejauh kita memperhatikan kehidupan suatu komunitas dapat diketahui
bahwa stratifiksi suatu masyarakat mungkin tampak tajam, pasti, dan mantap.
Berdasarkan penelitian lapangan di Mojokerto, Clifford Geertz membagi
masyarakat Jawa menjadi 3 jenis budayawi utama, yaitu abangan, santri, dan
priyayi. Ia membuat perbedaan antara ajaran-ajaran religius. Para santri
dikaitkan dengan para pedagang-pedagang di daerah-daerah yang lebih bersifat
kota. Istilah santri diterapkan pada kebudayaan para muslimin yang memegang
peraturan agama dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam
perkampungan dekat dengan masjid.
Berbeda dengan stratifikasi sosial secara horisontal, ada pula
klasifikasi masyarakat Jawa yang didasarkan pada ukuran sampai dimana kebaktian
agama Islamnya atau ukuran kepatuhan seseorang dalam mengamalkan syariat.
Terdapat santri, orang muslim saleh yang memeluk agam Islam dengan
sungguh-sungguh dan dengan teliti menjalankan perintah-perintah agama Islam
sebagaimana yang diketahuinya, sambil berusaha membersihkan akidahnya dari
syirik yang terdapat didaerahnya. Seorang santri lebih religius dari seorang
abangan.
Istilah santri yang mula-mula dan biasanya memang dipakai untuk
menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam, merupakan perubahan bentuk dari
kata Indiashastri yang berarti orang yang tahu kitab-kitab suci. Adapun
kata shastri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab suci, atau
karya keagamaan atau karya ilmiah. Dalam hubungan ini, kata Jawa pesantren,
yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran –an,
berarti sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para
siswa muslim sebagai model sekolah agama Islam di Jawa.
Para santri lebih memperhatikan ajaran Islam dibandingkan
upacaranya. Iman dan amal shaleh melakukan shalat sehari-hari dan shalat Jum’at
terbatas pada santri. Pendidikan awal dan dasar dalam agama untuk keluarga
semula diberikan selama sepuluh tahun pertama dalam kehidupan anak santri.
Sering anak itu mengunjungi seorang guru yang menggunakan rumahnya atau
langgarnya sebagai sekolah. Tujuannya pertama-tama adalah belajar membaca dan
mengaji al-qur’an. Disamping itu, juga murid-murid juga diberi pelajaran
shalat.
Dalam pesantren tradisional, santri tinggal bersama kiyainya yang
memberikan sandang pangan kepadanya sambil membimbingnya memasuki ajaran-ajaran
rahasia. Sebagai balasan, santri patuh kepada kiyai tanpa syarat dan
melayaninya dengan membantu mengerjakan tananhnya atau dengan menjalankan tugas
lain mana pun yang dapat dibebankan kepadanya oleh kiyai.
Pesantren pada awal masa berdirinya merupakan pranata keagamaan
tradisional yang terbaik guna mempersiapkan pemuda yang sedang muncul dalam
masyarakat. Biasanya pesantren terletak di luar paguyuban. Pengasingan secara
jasmani ini sebagai perlambang menggambarkan pengunduran diri para santri dari
masyarakat. Kesederhanaan adalah pengungkapan kesadaran batin dalam bentuk
pengunduran diri santri dari ikatan dan tata tingkat masyarakat Jawa yang
banyak dipengaruhi oleh kebudayaan keraton.
3.
Para Santri dan
Kelahiran Partai-partai Politik
Dalam membahas golongan santri sebagai kekuatan-kekuatan sosial
politik di indonesia masa kini, khususnya di Jawa, perlulah orang meninjau
zaman terakhir kekuasaan penjajahan Belanda di Indonesia yang ditandai oleh
pertumbuhan cepat kesadaran diri secara politik sebagai hasil
perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak pendidikan gaya Barat, serta
gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam dari Mesir. Zaman itulah yang disebut
masa kebangkitan nasional yang dimulai pada pergantian abad. Akibat situasi ini
timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan munculnya pemikir-pemikir
politik yag sadar diri.
Pentingnya arti santri secara politis pada dasarnya berasal dari
kenyataan bahwa dalam Islam batas antara agama dengan politik tipis sekali.
Islam adalah agama sekaligus sebagai pandangan hidup.
Selama zaman penjajahan Belanda kewibawaan rohani para santri yang
paling menonjol adalah kiyai dan ulama yang menolak menjadi alat kekuasaan
kerajaan atau penguasa penjajahan Belanda. Mereka penentang pemerintahan
sekuler dan dianggap oleh penguasa sekuler sebagai pengacau.
Para santri membanggakan diri atas kenyataan bahwa gerakan nasional
modern pertama yang diorganisasi di Indonesia pada pergantian abad ke-20 telah
dipelopori oleh Sarekat Islam, dibawah pimpinan Haji Oemar Said
Tjokroaminoto. Perserikatan ini timbul dari pendahulunya, Sarekat Dagang
Islam yang didirikan pada tahun 1911 oleh Haji Samanhudi, seorang saudagar
dan produsen batik Jawa yang terkemuka di Surakarta. Tujuan sarekat tersebut
adalah
1)
Mendorong minat
penduduk pribumi terhadap pertanian, perdagangan, kerajinan, kesehatan, dan
pendidikan, yang untuk kepentingan tersebut para anggotanya sebaiknya
mendirikan perkumpulan koperasi atau perusahaan dagang dan sekolah.
2)
Memajukan
tingkat kehidupan sesuai dengan ketentuan Islam dan menghapuskan
gambaran-gambaran yang salah mengenai Islam, serta mendorong kehidupan beragama
diantara penduduk pribumi.
3)
Mengembangkan
rasa persaudaraan dan gotong royong diantara para anggota.
Pertama kali dalam tigapuluh tahun
lebih para santri, sebagai kekuatan politik, telah berhasil menunjukkan
kekuatannya dan menghentikan campur tangan pemerintah Belanda.
F. Santri Abangan
Menurut Clifford
Greetz berpendapat abangan secara harfiah berarti “yang merah”.Istilah ini
mengenai orang muslim jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintah-perintah
agama islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agama.Dalam
istilah abangan diterapkan pada orang desa,aitu para petani yang kurang
dipengaruhi oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain diantara
penduduk.Abangan sering dinamakan sebagai “agama
jawa”.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari makalah ini dapatPerbedaan umum antara kedua golongan santri dan abangan dapat
dilihat dalam berbagai segi mengenai ajaran dan soal-soal organisasi sosial.
Diantara kaum santri perhatian terhadap ajaran Islam hampir seluruhnya mengatasi
semua segi upacaranya, lagi pula mereka menegaskan ajaran Islam kedalam
kehidupan, sementara para abangan rupanya acuh tak acuh terhadap ajarannya,
sebaliknya lebih terpukau oleh perincian upacaranya.
Meskipun orang santri dan abangan memainkan peranan politik yang
semakin penting di Jawa, maka persaingan antara kekuatan politik Islam berupa
santri dengan kekuasaan politik non-religius berupa abangan menjadi salah satu
faktor penentu bagi sejarah sosial dan politik Jawa di Indonesia Merdeka.
Selama awal kemerdekaan, aliran pikiran liberal, demokrat, dan
sosialis menyatu dengan aliran nasionalisme dan menghasilkan perumusan
oideologi yng terpaksa berhadapan dengan Islam. Sikap-sikap politik golongan
santri dan abangan berbeda dibawah pengaruh ideologi-ideologi politik yang
berlainan.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin, Nata.2001.Peta
Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mucharom, Zaini.2002.Islam
di Jawa.Jakarta: Grand Wijaya Center.
Annual Conference on Islamic Studies X. 2010. Dinamisasi Ruang Antara Praktik Kosmologi
dan Sufisme Dalam Kesenian “Sebuah Model Kearifan Lokal Komunitas Budazza
Lereng Merapi”. Banjarmasin : ACIS.
[1] Abuddin Nata,Peta Keragaman
Pemikiran Islam di Indonesia,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2001,hlm.
182.