BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Polemik masalah gender tak juga usai dibahas dalam beberapa forum
seminar ataupun diskusi hingga saat ini. Posisi antara laki-laki dan perempuan
masih saja didikotomi antara keduanya. Konon katanya, posisi wanita seringkali
direndahkan jika dibandingkan dengan posisi laki-laki.
Dalam beberapa kasus, posisi wanita memang hampir tidak ada. Wanita
yang menduduki kursi pemerintahan dalam perwakilan rakyat pun ada setelah
digemborkannya masalah gender. Dahulu dalam kursi pemerintahan hanya bisa
ditempati oleh laki-laki. Kita bisa melihat Uni soviet (sebelum bubar)
misalnya, meskipun telah mendeklarasi kesetaraan jenis kelamin lebih dari
setengah abad yang lampau, tetap saja status politik tinggi secara eksklusif
masih menjadi dunia laki-laki. Pola yang sama juga berlaku di dunia-dunia barat
yang mengaku demokratis. Di skandavia, perempuan yang menjadi anggota parlemen
hanya 25%, di prancis 5%, di Amerika Serikat 5%, di Selandia Baru 4%, dan di
Inggris 4%.[1]
Dikotomi masalah gender di Indonesia pun telah lama eksis. Dengan
adanya bukti sejarah dalam adat Jawa yang menyatakan bahwa tugas perempuan
hanya dalam lingkup 3M yaitu Masak, Macak, dan Manak serta tidak boleh
mengenyam bangku pendidikan menjadi bukti sejarah tersendiri akan adanya
diskriminasi kaum perempuan di Indonesia.
Agama islam sendiri pun tidak pernah mendiskriminasi keberadaan
perempuan. Justru agama islamlah yang membebaskan perempuan dari kebudayaan
jahiliyah dimasa lampau. Seperti yang kita tahu tentang kondisi perempuan pada
masa jahiliyah. Apabila suatu masyarakat melahirkan seorang perempuan maka itu
merupakan suatu aib sehingga perempuan terkadang harus dibunuh hidup-hidup oleh
orang tuanya sendiri. Berlanjut dengan eksistensi Nabi SAW yang membawa rahmat
bagi seluruh alam. Posisi perempuan menjadi terselamatkan dan dijunjung harkat
dan martabatnya. Ini lah yang patut menjadi refleksi bagi kita sebagai muslimin
muslimat untuk menjaga ajaran yang dilakukan oleh utusan Tuhan kita yaitu Nabi
SAW yang tidak pernah melakukan diskriminasi ataupun dikotomi negatif terhadap
perempuan.
Walaupun keberadaan gender seolah telah terselamatkan, tapi sampai
saat ini masih ada masyarakat yang pola pikirnya masih sempit. Seperti orang
tua yang mau menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. Orang tua yang masih
berpikiran tradisional dan sempit akan melarang anaknya untuk melanjutkan
bangku pendidikannya. Sebagai contoh kita mengambil adat Jawa, masih ada
perempuan yang dilarang oleh orang tuanya untuk melanjutkan ke perguruan
tinggi. Para orang tua melarang anaknya dengan embel-embel kalimat “ora elok
wadon sekolah duwur-duwur” (perempuan tidak baik kalau sekolah
tinggi-tinggi).
Dari fenomena di atas, dikira sangat perlu sekali untuk menerapkan
kesadaran kepada masyarakat akan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
terutama jika dilihat dari segi pendidikan, lapangan kerja, dan
kebebasan-kebebasan yang lain. Sehingga masyarakat tidak lagi salah persepsi
tentang keberadaan perempuan, lebih lagi orang tua tidak lagi menyempitkan
paradigma akan aktifitas anak perempuannya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
definisi ‘gender’?
2.
Bagaimana
pandangan gender menurut beberapa tokoh?
3.
Bagaimana
alasan biasnya gender dalam islam?
4.
Bagaimana
sejarah perjuangan perempuan menuju kesetaraan ?
5.
Bagaimana
konsep gender dalam islam?
6.
Bagaimana
posisi perempuan dalam islam?
7.
Bagaimana
kesetaraan hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam islam?
C. Tujuan
Dalam
proses penulisan makalah ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut;
1.
Untuk
mengetahui definisi dari istilah ‘gender’.
2.
Untuk
mengetahui pandangan gender menurut beberapa tokoh.
3.
Untuk
mengetahui alasan biasnya gender.
4.
Untuk
mengetahui sejarah perjuangan perempuan menuju kesetaraan.
5.
Untuk
mengetahui konsep gender dalam islam.
6.
Untuk
mengetahui posisi perempuan dalam islam.
7.
Untuk
mengetahui kesetaraan hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Gender
Dari
segi etimologi, kata gender berasal dari bahasa inggris “gender” yang berarti
jenis kelamin. Berdasarkan arti kata tersebut, gender sama dengan seks yang
juga berarti jenis kelamin. Namun, banyak dari para ahli yang meralat definisi
ini. Artinya, kata “gender” tidak hanya mencakup masalah jenis kelamin. tapi
lebih dari itu, analisis gender lebih menekankan pada lingkungan yang membentuk
pribadi seseorang. Berikut ini pendapat dari para ahli tentang definisi gender.
Dalam
Webster’s New World Dictionary,
gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dari segi
nilai dan perilaku. Dalam Women’s Studies
Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep budaya pada suatu
masyarakat tertentu yang berupaya membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal
peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional yang berkembang dalam
masyarakat tersebut. Menurut Ivan Illich, gender merupakan sesuatu yang lebih
dari sekedar jenis kelamin. Gender mencakup segala hal tentang pebedaan
laki-laki dan perempuan yang bersumber pada tempat, waktu, lingkungan, serta
kebudayaan.
Mansoer
Fakih berpendapat bahwa gender adalah sifat/karakter yang yang telah tertanam
dalam diri manusia (laki-laki dan perempuan) yang dikonstruksikan secara sosial
dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan
berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep
yang mengkaji tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil
dari pembentukan kepribadian yang berasal dari masyarakat (kondisi sosial,
adat-istiadat dan kebudayaan yang berlaku). Misalnya, dalam suatu masyarakat
terkenal suatu prinsip bahwa seorang laki-laki harus kuat, mampu menjadi
pemimpin, rasional, dan segala sifat lainnya. Sementara itu, seorang perempuan
dikenal sebagai sosok yang lemah lembut, penuh keibuan, peka terhadap keadaan,
dll. Dan pembentukan
sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat yang lain.
Jadi,
istilah perbedaan gender sangat tergantung pada kondisi lingkungan
masyarakatnya. Dengan kata lain, perbedaan gender dibentuk oleh masyarakat
setempat. Berbeda dengan seks, yang mengkaji perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dari segi fisik tubuh (biologis).
B.
Pandangan Gender Menurut Beberapa
Tokoh
1.
John
M. Echols & Hasan Sadhily mengemukakan bahwa kata gender berasal dari
bahasa inggris yang berarti jenis kelamin (Rahmawati,2004:19). Secara umum,
pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.
2.
Fakih(2006:71)
mengemukakan bahwa gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara social maupun kultural.
Perubahan ciri dan sifat yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat lainnya disebut konsep gender.
3.
Santrock(2003:365)
mengemukakan bahwa istilah gender dan seks memiliki perbedaan dari segi
dimensi. Istilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang
laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi social budaya
seorang laki-laki dan perempuan.
4.
Moore(Abdulloh,2003:19)
mengemukakan bahwa gender berbeda dari seks dan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan yang bersifat biologis.
5.
Baron
(2000: 188) mengartikan gender bahea gender merupakan sebagian dari konsep diri
yang melibatkan identifikasi individu sebagai seorang laki-laki atau perempuan.
Istilah gender dikemukakan oleh para ilmuwan
social dengan maksud untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang
mempunyai sifat bawaan (ciptaan tuhan)dan bentukan budaya (konstruksi sosial).
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan yang merupakan hasil konstruksi social dan dapat berubah sesuai
dengan perkembangan jaman.
Setelah
mengkaji beberapa definisi gender yang dikemukakan para ahli, dapat dipahami
bahwa yang dimaksud gender adalah karakteristik laki-laki dan perempuan berdasarkan
dimensi social kultural yang tampak dari nilai dan tingkah laku.
C.
Perempuan
dalam Konsep Islam
a. Perempuan sebagai individu
Al-qur’an menyoroti perempuan sebagai individu. Dalam hal ini
terdapat perbedaan antara perempuan dalam kedudukannya sebagai individu dengan perempuan
sebagai anggota masyarakat. Al-qur’an memperlakukan baik individu perempuan dan
laki-laki adalah sama, karena hal ini berhubungan antara Allah dan individu
perempuan dan laki-laki tersebut, sehingga terminologi kelamin(sex) tidak diungkapkan
dalam masalah ini. Pernyataan-pernyataan al-Qur’an tentang posisi dan kedudukan
perempuan dapat dilihat dalam beberapa ayat sebagaimana berikut:
1.
Perempuan
adalah makhluk ciptaan Allah yang mempunyai kewajiban samauntuk beribadat
kepadaNya sebagaimana termuat dalam Q.S. Adz-Dzariyat ayat 56.
2.
Perempuan
adalah pasangan bagi kaum laki-laki termuat dalam Q.S. An-naba’ayat 8.
3.
Perempuan
bersama-sama dengan kaum laki-laki juga akan mempertanggungjawabkan secara
individu setiap perbuatan dan pilihannya termuat dalam Q. S. Maryam ayat 93-95.
4.
Sama
halnya dengan kaum laki-laki mukmin, para perempuan mukminat yang beramal saleh
dijanjikan Allah untuk dibahagiakan selama hidup di dunia danabadi di surga.
Sebagaimana termuat dalam Q.S. An-Nahl ayat 97.
5.
Sementara
itu Rasulullah juga menegaskan bahwa kaum perempuan adalah saudara kandung kaum
laki-laki dalam H.R. Ad-Darimy dan Abu Uwanah.
Dalam ayat-ayat-Nya bahkan Al-qur’an tidak menjelaskan secara tegas
bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam, sehingga karenanya kedudukan
dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu prinsip al-Qur’an terhadap kaum
laki-laki dan perempuan adalah sama dimana hak istri adalah diakui secara adil(equal)
dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas
perempuan,dan kaum perempuan juga memiliki hak dan kewajiban atas laki-laki.
Karena hal tersebutlah maka Al-Qur’an dianggap memiliki pandangan yang
revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak antara
laki-laki dan perempuan.
b. Perempuan dan Hak Kepemilikan
Dalam Mansour Fakih (ed), Membincang Feminisme Diskursu Gender
Persfektif Islam, Islam sesungguhnya lahir dengan suatu konsepsi hubungan
manusia yang berlandaskan keadilan atas kedudukan laki-laki dan perempuan.
Selain dalam hal pengambilan keputusan, kaum perempuan dalam Islam juga
memiliki hak-hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaannya sendiri,
sehingga dan tidak suami ataupun bapaknya dapat mencampuri hartanya. Hal
tersebut secara tegas disebutkan dalam An-Nisa’ayat 32 yang artinya: “Dan
janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkanAllah kepada
sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki adabagian dari
apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dariapa yang
mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.Sungguh, Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kepemilikan atas kekayaannya tersebut termasuk yang didapat melalui
warisan ataupun yang diusahakannya sendiri. Oleh karena itu mahar atau maskawin
dalam Islam harus dibayar untuknya sendiri, bukan untuk orang tua dan tidak
bisadiambil kembali oleh suami.Sayyid Qutb menegaskan bahwa tentang kelipatan
bagian kaum pria dibanding kaum perempuan dalam hal harta warisan, sebagaimana
yang tertulisdalam Al-Qur’an, maka rujukannya adalah watak kaum pria dalam
kehidupan, ia menikahi wanita dan bertanggung jawab terhadap nafkah keluarganya
selain ia jugabertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan
keluarganya itu.Itulah sebabnya ia berhak memperoleh bagian sebesar bagian
untuk dua orang,sementara itu kaum wanita, bila ia bersuami, maka seluruh
kebutuhannya ditanggungoleh suaminya, sedangkan bila ia masih gadis atau sudah
janda, maka kebutuhannya terpenuhi dengan harta warisan yang ia peroleh,
ataupun kalau tidak demikian, iabisa ditanggung oleh kaum kerabat laki-lakinya.
Jadi perebedaan yang ada di sini hanyalah perbedaan yang muncul karena
karekteristik tanggung jawab mereka yang mempunyai konsekwensi logis dalam pembagian
warisan. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa Islam memberikan jaminan yang
penuhkepada kaum wanita dalam bidang keagamaan, pemilikan dan pekerjaan, dan realisasinya
dalam jaminan mereka dalam masalah pernikahan yang hanya boleh diselenggarakan
dengan izin dan kerelaan wanita-wanita yang akan dinikahkan itutanpa melalui
paksaan. “Janganlah menikahkan janda sebelum diajak musyawarah,dan janganlah
menikahkan gadis perawan sebelum diminta izinnya, dan izinnyaadalah sikap
diamnya” (HR. Bukhari Muslim).
Bahkan Islam memberi jaminan semua hak kepada kaum wanita dengan semangat
kemanusiaan yang murni, bukan disertai dengan tekanan ekonomis atau materialis.
Islam justru memerangi pemikiran yang mengatakan bahwa kaum wanita hanyalah
sekedar alat yang tidak perlu diberi hak-hak. Islam memerangi kebiasan penguburan
hidup anak-anak perempuan, dan mengatasinya dengan semangat kemanusiaan yang
murni, sehingga ia mengharamkan pembunuhan seperti itu.
c. Perempuan dan Pendidikan
Islam memerintahkan baik laki-laki maupun perempuan agar berilmu pengetahuan
dan tidak menjadi orang yang bodoh. Allah sangat mengecam orang-orang yang
tidak berilmu pengetahuan, baik laki-laki maupun perempuan.Sebagaimana dalam
Q.S. Az-Zumar ayat 9. Kewajiban menuntut ilmu juga ditegaskan nabi dalam hadis
yang artinya,“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap laki-laki dan perempuan”(HR.Muslim).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam justru menumbangkan suatusistem
sosial yang tidak adil terhadap kaum perempuan dan menggantikannya dengan
sistem yang mengandung keadilan. Islam memandang perempuan adalah sama dengan
laki-laki dari segi kemanusiannya. Islam memberi hak-hak kepada perempuan
sebagaimana yang diberikan kepada kaum laki-laki dan membebankan kewajiban yang
sama kepada keduanya.
D.
Alasan
Biasnya Gender
Berikut dijelaskan sebab-sebab biasnya gender:[2]
1.
Ketidaktahuan
bahwa perempan memiliki kebebasan.
Ketidaktahuan selalu menjadi substansial dalam kehidupan manusia.
Sebenarnya sejarah telah mengajarkan bahwa jauh sebelum islam datang, wanita
telah memainkan peran yang cukup signifikan dalam bidang sosial ekonomi
sebagaimana kita lihat dalam sosok konglomerat wanita Khadijah r.a, istri
pertama Nabi Muhammad SAW. Kita smua tahu bahwa sebelum menjadi Nabi, Nabi
Muhammad bekerja untuk Khadijah. Sehingga sulit dipahami bila islam tidak
memiliki gambaran wanita bekerja.
Seperti yang dikemukakan N.M. Shaikh dalam bukunya Woman in
Muslim Sociaty menjelaskan bahwa “wanita juga bebas berpartisipasi dalam
aktivitas industri. Istri Abdullah Ibnu Mas’ud menjalankan sebuah perusahaan
dengan sangat sukses dan dia dapat menopang suami dan anak-anaknya dengan
income yang diperoleh”
Istri-istri Nabi, tertama Aisyah, telah menjalankan peran politik
penting. Umar bin Khotob pernah melihat Aisyah berjalan-jalan disekitar garis
peperangan di seberang parit (ketika terjadi perang khandak). Selain aisyah ada
Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laylah al-Ghaffariyah, dll
2.
Kemandekan
tafsir ayat Al-qur’an dan Hadits Nabi SAW
Kemandekan tafsir terhadap ayat al-qur’an (surat an-nisa:34) yang
disinyalir berisi konsep kepemimpinan keluarga. Opini yang sementara ini
dianggap mapan dikalangan umat islam adalah bahwa laki-laki adalah pemimpin
keluarga sehinggi wajar kalau istri harus taat pada suami.
Tafsir itu telah digugat Dr. Zaitunah Subhan, misalnya yang
cenderung mengartikan kata “qawwamuna” dengan ayat tersebut dengan makna
penopang, pengayom, dan penegak, penanggung jawab dan penjamin, ini bila
dikaitkan dengan kewajiban memberi nafkah.
Selanjutnya Zaitunah juga menggugat makna kata “al-rijal”.
Menurutnya kata ini bukan semata-mata bentuk jamak (plural) dari “rajul”, tapi
bisa juga dari kata “rijil” (kaki) dan “rajil” yang merujuk pada makna “orang
yang berusaha, mencari rizki”.
3.
Pengabaian
konteks sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) dan disabdakannya hadits (asbabul
wurud)
4.
Normalisasi
relasi jender yang bersifat patriarkis.
E.
Sejarah
Perjuangan Perempuan Menuju Kesetaraan
1.
Sejarah perjuangan perempuan menuju kesetaraan di dunia Internasional
Kesetaraan
gender dalam dunia internasional dimulai dengan dikumandangkannya emansipasi di
tahun 1950-1960. Setelah itu tahun 1963 muncul
gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan
ekonomi sosial PBB. Kesetaraan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan
deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, dengan tema Women In Development (WID) yang memprioritaskan pembangunan
bagi perempuan yang dikembangkan dengan mengintegrasi perempuan dalam pembangunan.
Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang
memperhatikan pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an
berbagai studi menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada
kuantitas, maka tema WID diubah menjadi Women
and Development (WAD).
Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan
rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki
maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan
alasan tersebut maka dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip
hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki.
Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan 'The Millenium
Development Goals' (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan,
kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan
berkelanjutan.
2.
Sejarah perjuangan perempuan menuju kesetaraan di Indonesia
Perempuan
Indonesia juga memiliki catatan sejarah tersendiri dalam memperjuangkan hak
gender di Indonesia. Berikut adalah
penjelasannya :
a.
Sebelum perang dunia II
R.A
Kartini (21 April 1879-17 september 1904) oleh kaum indonesia dianggap sebagai
kaum pelopor. Terbukti dengan surat-surat Habis Gelap Terbitlah Terang
tentang cita-citanya seputar perempuan indonesia.
b.
Sesudah perang dunia II
Banyak organisasi-organisasi perempuan
yang yang ditujukan untuk membantu proses kemerdekaan RI. Contohnya Kowani
(Kongres Wanita Indonesia) dan KPI (Kongres Perempuan Indonesia) yang
mendiskusikan tentang RUU Perkawinan yang berkeadilan[3]
F.
Konsep
Jender Menurut Islam
Persepsi masyarakat mengenai status dan
peran perempuan masih belum sepenuhnya sama. Ada yang berpendapat bahwa
perempuan harus berada di rumah, mengabdi pada suami, dan mengasuh
anak-anaknya.Namun ada juga yang berpendapat bahwa perempuan harus ikut
berperan aktif dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bebas melakukan sesuai
dengan haknya. Fenomena ini terjadi akibat belum dipahaminya konsep relasi
Jender.
Dalam
Agama Islam juga timbul perbedaan pandangan karena terdapat perbedaan dalam
memahami teks-teks Al-Qur’an tentang Jender.Nabi Muhammad SAW,datang membawa
ajaran yang menempatkan wanita pada tempat terhormat,setara dengan
laki-laki.Beberapa ayat-ayat Al-Qur’an menyebutkan bahwa wanita sejajar dengan
laki-laki seperti :
“Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka akan Kami berikan mereka kehidupan yang baik dan akan Kami berikan balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka
lakukan.”(Q.S. Al-Nahl:97)
“Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal yang dilakukan oleh kamu sekalian, kaum laki-laki dan
perempuan.”(Q.S.Ali Imran:195)
Seharusnya dapat
dipahami bahwa Allah SWT tidak mendiskriminasi hamba-Nya. Siapapun yang beriman
dan beramal saleh akan mendapat ganjaran yang sama atas amalnya.Dalam konteks
ini laki-laki tidak boleh melecehkan wanita atau bahkan menindasnya.
Pada dasarnya wanita memiliki kesamaan
dalam berbagai hak dengan laki-laki,namun wanita memang diciptakan Allah dengan
suatu keterbasan dibanding laki-laki. Maka dari itu tugas kenabian dan
kerasulan tidak dibebankan kepada wanita karena perasaan sensitif yang dimiliki
wanita.Dalam suatu ayat dijelaskan
“Kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).”(Q.S. Al-Nisa’:34)
Secara
teologis, Allah menciptakan wanita dari “unsur” pria (wa khalaqa minha zaujaha)(Hasbi Indra,2004:5).Sehingga pada
dasarnya laki-laki memililiki kelebihan daripada wanita.Kelebihan ini selanjutnya
menjadi tanggung jawab laki-laki untuk membela dan melindungi wanita.Namun
segala kekurangan yang ada dalam wanita tidak menjadi alasan wanita kehilangan
derajatnya dalam kesetaraan Jender.
Walaupun demikian,wanita juga tidak boleh melupakan kodratnya sebagai wanita.Dalam Islam kodrat wanita adalah :
Walaupun demikian,wanita juga tidak boleh melupakan kodratnya sebagai wanita.Dalam Islam kodrat wanita adalah :
1. Menjadi
Kepala Rumah Tangga
Dalam suatu riwayat
disebutkan :
“Setiap
manusia keturunan Adama adalah kepala, maka seorang pria adalah kepala
keluarga, sedangkan wanita adalah kepala rumah tangga.”(HR Abu Hurairah)
Artinya kodrat wanita
sebagai istri kelak akan menjadi kepala rumah tangga yang mana seorang istri
melakukan tugas-tugas yang tidak dapat dilakukan suami seperti : memasak,
mencuci, mengurus rumah tangga,mengasuh anak-anak dan lain-lain.Selain tugas
wanita menjadi seorang istri yang mengabdi kepada suami,juga beribadah kepada
Allah.Pada dasarnya beribadah inilah merupakan tugas utama.
2. Sebagai
Ibu dari Anak-Anaknya
Salah satu kodrat
wanita yang cukup berat adalah saat wanita harus mengandung dan melahirkan.Bahkan
karena sangat susah payahnya wanita dalam melahirkan hingga sampai bertaruh
nyawa Allah menjanjikan pahala yang sama seperti para syuhada.Kedua hal ini
merupakan kodrat wanita yang sangat mulia.Namun tidak berhenti cukup
disitu,peran yang sebenarnya adalah dikala wanita menjadi ibu yang dapat
mendidik anaknya menjadi anak yang cerdas,berakhlak dan taat dalam agamanya.
G.
Kesetaraan
Hubungan antara Perempuan dan Laki-laki dalam Islam
Pada dasarnya semangat hubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam Islam bersifat adil (equal).
Oleh karena itu subordinasi terhadap kaum perempuan merupakan suatu keyakinan
yang berkembang di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
semangat keadilan yang diajarkan Islam.
Konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan
dalam al- Qur’an, antara lain sebagai berikut:
Pertama, laki
laki dan perempuan adalah sama-sama sebagai hamba.
Dalam alqur’an (Az- Zariyat: 56) disebutkan : ‘’Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku’’. Dalam kapasitasnya sebagai hamba, tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan
peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa
diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqin).
Kedua,
Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi.
Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah
di samping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada
Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi, sebagaimana tersurat dalam Alqur’an
(Al-An’am: 165) : “Dan dialah yang
menjadikan kalian penguasa penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian yang lain beberapa
derjat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepada kalian. Sesungguhnya
Tuhan kalian amat cepat siksaanNya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Juga dalam Alqur’an (al-Baqarah: 30) disebutkan : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat: Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi orang yang membuat
kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami selalu senantiasa bertasbih kepadaMu dan mensucikan Mu. Tuhan
berfirman, sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kalian ketahui:”.
Ketiga,
Laki-laki dan Perempuan menerima perjanjian primordial.
Menjelang sorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia
terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya. Disebutkan dalam
Alqur’an (Al-A’raf: 172): “Dan ingatlah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman) Bukankah
Aku ini TuhanMu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.(Kami lakukan). Sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Dalam Islam tanggung jawab individual dan kemandirian
berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah
manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi kelamin. Laki-laki dan
perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
Keempat,
Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.
Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk
meraih peluang prestasi. Disebutkan dalam Alquran (Al-Nisa: 124) : “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal
saleh, baik laki-laki maupun wanita
sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun”. Juga (Al-Nahl: 97):
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Juga (al-Mu’min:40):
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi
melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal yang
saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka
mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab”.
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan yang
ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang
spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh satu
jenis kelamin saja.
Menurut Nasaruddin Umar, Islam memang mengakui adanya
perbedaan (distincion) antara
laki-laki dan perempuan, tetapi bukan pembedaan (discrimination). Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi
fisik-biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda dengan laki-laki, namun
perbedaan tersebut tidak dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan
yang lainnya.
Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan faktor-faktor
perbedaan laki-laki dan perempuan, tetapi lebih memandang kedua insan tersebut
secara utuh. Antara satu dengan lainnya secara biologis dan sosio kultural
saling memerlukan dan dengan demikiann antara satu dengan yang lain
masing-masing mempunyai peran. Boleh jadi dalam satu peran dapat dilakukan oleh
keduanya, seperti perkerjaan kantoran, tetapi dalam peran-peran tertentu hanya
dapat dijalankan oleh satu jenis, seperti; hamil, melahirkan, menyusui anak,
yang peran ini hanya dapat diperankan oleh wanita. Di lain pihak ada
peran-peran tertentu yang secara manusiawi lebih tepat diperankan oleh kaum
laki-laki seperti pekerjaan yang memerlukan tenaga dan otot lebih besar.
Dengan demikian dalam perspektif normativitas Islam,
hubungan antara lakilaki dan perempuan adalah setara. Tinggi rendahnya kualitas
seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan
ketakwaannya kepada Allah swt. Allah memberikan penghargaan yang sama dan
setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan
atas semua amal yang dikerjakannya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Gender
adalah suatu konsep yang mengkaji tentang perbedaan antara laki-laki dan
perempuan sebagai hasil dari pembentukan kepribadian yang berasal dari
masyarakat (kondisi sosial, adat-istiadat dan kebudayaan yang berlaku).
2.
Pandangan
beberapa tokoh mengenai gender yakni merupakan perbedaan peran, fungsi, dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
social dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Adapun karakteristik laki-laki dan perempuan tersebut berdasarkan dimensi
social kultural yang tampak dari nilai dan tingkah laku.
3. Perempuan
dalam konsep islam adalah perempuan sebagai individu yang memiliki kedudukan
yang sama dengan laki-laki dan memiliki peran masing-masing. Memiliki hak-hak
ekonomi dan kewajiban menuntut ilmu.
4. Alasan
biasnya jender yaitu karena ketidaktahuan perempuan akan kebebasan yang
dimilikinya, sehingga menghalangi dalam gerak langkahnya. Selain itu, juga
dikarenakan olek kemandekan tafsir ayat Al-Qur’an dan Hadits terhadap kedudukan
laki-laki sebagai pemimpin yang menjadikan perempuan harus taat kepadanya. Biasnya jender juga disebabkan karena pengabaian
konteks sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) dan disabdakannya hadits (asbabul
wurud), serta normalisasi relasi jender yang bersifat patriarkis.
5. Kesetaraan
jender bagi perempuan sangat diperjuangkan. Hal ini terlihat dari sejarah
perjuangan perempuan menuju kesetaraan baik di dunia internasional maupun
nasional (Indonesia). Di dunia internasional perjuangan perempuan dibuktikan
dengan dihasilkannya 'The
Millenium Development Goals' (MDGs) pada konferensi PBB tahun 2000 yang
mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif
untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi
pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Di Indonesia perjuangan
perempuan dipelopori oleh R.A Kartini dengan surat-suratnya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Selain itu
juga banyak organisasi-organisasi
perempuan yang yang ditujukan untuk membantu proses kemerdekaan RI, contohnya
seperti Kowani (Kongres Wanita Indonesia) dan KPI (Kongres Perempuan Indonesia)
yang mendiskusikan tentang RUU Perkawinan yang berkeadilan.
6. Konsep
jender menurut Islam memiliki pandangan yang berbeda-beda. Laki-laki diciptakan
dengan kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh wanita. Kelebihan ini
selanjutnya menjadi tanggung jawab laki-laki untuk membela dan melindungi
wanita. Namun segala kekurangan yang ada dalam wanita tidak menjadi alasan wanita
kehilangan derajatnya dalam kesetaraan Jender. Pada dasarnya, laki-laki dan
perempuan memiliki kesamaan dalam berbagai hak. Akan tetapi, dalam kesamaan hak
tersebut perempuan tetap harus mengingat kodratnya sebagai perempuan, yakni
perempuan yang menjadi kepala rumah tangga, dan sebagai ibu dari anak-anaknya.
7. Kesetaraan
jender menurut Islam dipandang dari segi sosio biologis dan tingkat ketaqwaan.
Secara bilogis dan sosio kultural laki-laki dan perempuan saling
memerlukan sehingga ada peran
masing-masing diantara keduanya. Sementara itu, kesetaraan jender juga dilihat
dari tingkat pengabdian dan ketaqwaannya kepada Allah, bahwa Allah tidak
membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan melainkan dari tinggi rendahnya
kualitas pengabdian dan ketaqwaan hambanya.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Abdul.
2009. Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta: Gama Media
Zuhrah,
Fatimah. . Konsep Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam. Yogyakarta :
IAIN-SUKA
Hamka. 1998. Kedudukan
Perempuan dalam Islam. Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas
Hasan, Hamka. 2009. Tafsir Jender. Badan litbang dan diklat
Departemen Agama RI
judul
buku: KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
pengarang:
FATIMAH ZUHRAH, MA
Peneliti
dari IAIN-SU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar