BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyaknya aliran-aliran dalam islam tak bisa dipungkiri dalam hidup
ini. Nabi SAW sendiri bersabda dalam haditsnya bahwa umat islam akan terpecah
menjadi beberapa golongan. Sedangkan yang masuk surga hanya satu yaitu aliran
ahlussunnah wal jama’ah. Permasalahan ini tidak dapat menutup kemungkinan
adanya potensi trurth claim (klaim kebenaran) pada masing-masing aliran.
Sehingga masing-masing dari mereka yakin bahwa aliran mereka adalah ahlussunnah
waljama’ah dan adalah aliran terbaik. Dari sinilah mulai terjadi kefanatikan
aliran pada masing-masing penganut aliran yang kemudian memunculkan potensi
meng-“kafir”-kan satu sama lain.
Adanyan
aliran-aliran keislaman tak bisa dipungkiri penambahannya sampai sekarang.
Semakin jauh dari masa Nabi SAW. Aliran keislaman akan semakin banyak.
Permasalahan ini muncul karena adanya perbedaan persepsi dan paradigma masalah point
of view akan ilmu teologi yang kemudian memunculkan suatu pendapat individu
yang ingin diakui oleh halayak. Mulai dari keinginan pengakuan kebenaran inilah
kemudian muncul beberapa sekte yang masing-masing mengakui kebenaran
paradigmanya sampai sekuat-kuatnya sehingga kefanatikan akan aliran muncul
begitu saja.
Sampai saat ini,
sebenarnya keberadaan aliran-airan islam yang semakin meningkat jumlahnya
kemudian menjadikan faham pluralisme benar-benar ada mempunyai satu faham dan
keyakinan yang sama, yaitu penyembahan pada Allah SWT. Tetapi pertikaian antar
aliran pun tak dapat dipungkiri karena kurang fahamnya masyarakat akan faham pluralism.
Sehingga penyadaran masyarakat sebaiknya lebih ditekankan agar pertikaian
akan aliran dapat diminimalisir.
Dari aliran-aliran
inilah kemudin dibutuhkan suatu kajian untuk mengetahui latar belakang serta
segala hal yang bertautan dengan beberapa aliran kalam yang eksis di lingkungan
masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MU’TAZILAH
1.
Pengertian
Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata
“i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan,
berpisah, atau mengasingkan diri.[1]
Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak sepuluh kali yang
kesemuanya mempunyai arti sama yaitu menjauhi sesuatu. Seperti tertera dalam
QS. An-Nisa’:90 yang berbunyi:
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
Artinya:
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian
ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang
berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku
dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al
Hasan Al-Bashri.
2.
Latar
Belakang Kemunculan Mu’tazilah
Aliran ini muncul di kota Bashrah
(Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[2]
Munculnya aliran Mu’tazilah berasal
dari dialog antara Hasan al-Bashri dengan muridnya yaitu Washil bin Atha’
mengenai status orang mukmin yang berbuat dosa besar. Hasan Bashri berpendapat
bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin. Namun Washil bin Atho’ berpendapat bahwa
pelaku dosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi berada di posisi
di antara keduanya. kemudian Washil memisahkan diri dari halaqoh Hasan Bashri
dan membuat halaqoh sendiri. Atas kejadian ini Hasan al-Bashri berkata : “i’tazala
anna washil” (Washil memisahkan diri dari kita). Washil dan para
pengikutnya inilah yang kemudian dikenal dengan nama golongan mu’tazilah.
Golongan ini dikenal juga dengan nama ahlul adl atau ahlut tauhid wal
adl (golongan yang mempertahankan keEsaan dan keadilan Tuhan).
3.
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
a.
Washil bin Atha’
Wasil bin Atha’ adalah orang pertama
yang meletakkan kerangka dasar ajaran mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang
dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah
(yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariyah), dan paham
peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin
ajaran mu’tazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan
sifat-sifat Tuhan.
b.
Abu Huzail Al-Allaf
Abu Huzail Al-Allaf (wafat 235H),
seorang pengikut Washil bin Atha’, mendirikan sekolah mu'tazilah pertama di
kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran mu'tazilah dikaji dan dikembangkan.
c.
Al-Jubba’i
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan
Al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariyah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai
kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai
sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau
dikatakan Tuhan berkuasa berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa,
berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusi, ia membaginya ke
dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui
akalnya (wajibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui
ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wajibah syar’iyah)
d.
An-Nazzam
Pendapatnya yang terpenting adalah
mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk
berlaku zalim.
e.
Al-Jahiz
Al Jahiz mengusungpaham naturalism
atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum mu'tazilah disebut Sunnah
Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah
sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum
alam.
4.
Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Mu'tazilah memiliki lima pokok ajaran yang di sebut dengan
Al-Ushul Al-Khamsah, berikut penjelasannya:
a.
At-tauhid (pengesaan tuhan)
At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan
intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam
memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang
spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti
kemahaEseaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada
satupun yang menyamainya. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan
sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka,
sifat adalah sesuatu yang melekat.
b.
Al-Adlu (Keadilan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua
adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”. Adil ini merupakan sifat yang
paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Ajaran ini bertujuan ingin
menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena
diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Menurut
mu’tazilah keadilan Tuhan mengharuskan Tuhan untuk hanya berbuat yang baik
(shalah) dan terbaik (ashlah) dan bukan sebaliknya. Dan tuhan juga tidak
melanggar janjiNya. Oleh karena itu Mu'tazilah juga menganut faham Qodariyah
yaitu bahwa perbuatan manusia bukan diciptakan oleh Allah, karena tidak mungkin
perbuatan buruk manusia disandarkan pada Allah.
c.
Al Wa’du wal Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat
hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’du wal wa’id berarti janji dan
ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjiNya.
Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjiNya sendiri, yaitu memberi
pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam
dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan
untuk memberi pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.
d.
Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula
melahirkan aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman
(mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah,
khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah
berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan pada
Tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat Washil bin Atha'
(pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara
dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, Washil bin
Atha' dan sahabatnya Amr bin Ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis
gurunya, Hasan al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min
yang melakukan dosa besar dan belum taubat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi
berada diposisi antara keduanya. Jika ia meninggal dan belum taubat maka ia
masuk ke dalam neraka dan kekal di dalamnya tetapi adzabnya lebih ringan dari
adzab orang kafir.
e.
Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu anil munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah
menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al Amru bil Ma’ruf wan
nahyu anil munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan
kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan
keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak
pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
B.
ASY’ARIYAH
1. Sejarah Berdiri dan Perkembangan Asy’ariyah
Asy`ariyah adalah sebuah paham
akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah
Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,
seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya
sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq
Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia
belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i,
salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan
permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal
itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli
Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah
mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar
dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara
dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi
melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah
madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.”
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan
Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh
hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari
Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui
manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela
keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini,
karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada
Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in,
serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari
dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan
ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode
Pertama
Beliau hidup di
bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang
kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode
ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai
pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode
Kedua
Beliau berbalik
pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini
telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan
mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu,
beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik
pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah
beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya
wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya.
Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya
itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya,
mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode
ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang
bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa
takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para
periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki,
betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah,
tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah,
tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki
Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan
kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode
ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di
dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya.
C. Pandangan-Pandangan Asy’ariyah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di
antaranya ialah:
1.
Bahwa Tuhan mempunyai
sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti
yang ada pada makhluk. Artinya
harus ditakwilkan lain.
2.
Al-Qur’an itu qadim, dan
bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3.
Tuhan dapat dilihat kelak
di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4.
Perbuatan-perbuatan
manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5.
Keadilan Tuhan terletak
pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka
menentang konsep janji dan ancaman
(al-wa’d wa al-wa’id).
6.
Mengenai anthropomorfisme,
yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti
apapun.
7.
Menolak konsep tentang
posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir.
Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
D.
QADARIYAH
1.
Sejarah
Aliran
Qodariyah lahir pada abad pertama Hijriyah, yaitu semasa Khalifah Abdul Malik
Bin Marwan (Khalifah Bani Umayah), di Irak. Pimpinan dari golongan ini bernama
Ma’bad Al-Juhaini Al-Bisri, dengan pembantun-pembantunya yang utama Ghilan
Dimisyqi dan Ja’ad ibnu Dirham.[3]
Berhubung dengan pendapat-pendapat dan ajaran-ajaran mereka ini
sangat bertentangan dengan aqidah Islam yang sebenarnya, maka oleh Khalifah
Abdul Malik bin Marwan menjatuhkan hukuman mati terhadap Ma’bad. Sedangkan
Ghilan dikenakan hukuman potong tangan dan kakinya oleh Khalifah Hisyam bin
Abdul Malik. Dan akhirnya diapun menemukan ajalnya di tiang gantungan. Demikian
juga nasib para pemimpin mereka yang lain, semuanya mendapat hukuman mati.
2. Prinsip-prinsip
ajaran Qodariyah
Mereka
berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri seseorang ataupun
makhluk-makhluk yang lain adalah atas kekuasaannya sendiri secara mutlak. Tidak
ada camput tangan Allah dalam masalah tersebut. Dan Allah tidak mengetahui atas
segala apa yang terjadi. Mereka berpendapat atas dasar firman Allah ;
بِأَنْفُسِهِمْ مَا يُغَيِّرُوا حَتَّىٰ بِقَوْمٍ مَا يُغَيِّرُ لَا اللَّهَ إِنَّ
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akanmerubah keadaan (nasib)
sesuatu kaum (seseorang) sehingga mereka (mau berusaha) merubah keadaan yang
ada pada (diri) mereka itu.” (Q.S. Ar-Ra’du : 11)
Dari ayat diatas mereka
mengambil kesimpulan bahwa manusia itu mampu menentukan nasibnya sendiri secara
mutlak tanpa adanya campur tangan dari Allah, contoh : nasib kaya dan miskin,
pintar dan bodoh dan lain sebagainya, adalah merupakan hasil usaha dari pada
usaha manusia itu sendiri.
Selain itu,
mereka juga memperkuat pendapatnya dengan mengambil firman Allah, yaitu ;
سَبِيل رَبِّهِ إِلَى اتَّخَذَ شَآءَ فَمَن اً تَذْكِرَةٌ هَـذِهِ إِنَّ
Artinya
: “Sesunggunya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang
menghendaki (kebijakan bagi dirinya) niscaya mereka mengambil jalan (yang
mendekatkan) kepada Tuhannya”. (Q.S. Al-Insan : 29).
Sayangnya,
dalam memahami ayat ini, mereka tidak melihat ayat yang selanjutnya, yaitu ;
اللَّهُ يَشَآءَ أَن إِلاَّ تَشَآءُونَ وَمَا
Artinya
: “dan kami tidak menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki
Allah”. (Q.S. Al-Insan : 30).
Mereka mengambil kemudian memahami ayat-ayat Alqur’an
sepotong-sepotong saja dengan tidak memperhatikan aya-ayat yang selanjutnya
(seolah-olah hanya ayat itu saja yang dianggap penting) demi menguatkan paham
mereka sendiri, padahal mereka mengetahui itu.
Hal
seperti ini yang pernah dipraktekkan oleh orang-orang PKI komunis di abad ke-20
untuk memperkuat paham atheisnya dengan memperalatkan firman Allah, sebagai
contoh ayat berikut ;
فَوَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ
Artinya
: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”. (Q.S. Al-Ma’un : 4)
Mereka
menafsirkan ayat tersebut sesuai kepentingan mereka sendiri, yang beranggapan
bahwa orang-orang yang shalat (orang beragama Islam) itu nantinya akan masuk
neraka. Maka dari itu mereka berpendapat lebih tidak beragama dengan mengikuti
faham mereka yang anti agama itu (PKI). Sedangkan ayat selanjutnya tidak mereka
singgung, yaitu ;
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Artinya
: “Orang-orang yang mendapat kecelakaan tadi yang (mana) mereka itu lalai dari
(mangerjakan) shalat”. (Q.S. Al-Ma’un : 5).
Maksud dari ayat di atas, orang-orang yang shalatpun akan masuk
neraka kalau mereka melalaikannya. Kita dapat memahami bahwa, kalau orang yang
shalat tapi melalai kannya itu masuk neraka, apalagi yang tidak mengerjakan
shalat sama sekali. Sudah pasti adzab yang akan mereka terima lebih berat. Nah,
pemahaman seperti itu tidak ditanggapi oleh Qodariyah dan PKI.
3. Akibat
yang ditimbulkan dari paham Qodariyah
Aliran Qodariyah ini terlalu berlebih-lebihan dalam memahami ayat
ihtiar, sehingga mereka tidak mau mengakui adanya kekuasaan Allah terhadap diri
manusia. Maka hal yang sering terjadi adalah :
Kalau mereka sukses dalam usahanya, mereka akan merasa sombong dan
angkhuh, bahkan merasa bahwa dirinya berkuasa atas segala hal. Akibatnya lama
kelamaan mereka tidak mempercayai adanya Allah dan lebih cenderung kepada faham
Atheis, yakni : Tuhan tidak ada. Secara mutlak yang berkuasa dalan manusia
sepenuhnya.
Tetapi sebaliknya, kalau mereka gagal dalam usahanya, mereka akan
menyesali dirinya sendiri, yang menimbulkan sifat keputusasaan yang berlebihan.
Akibatnya mereka mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri. Padahal telah kita ketahui bahwa itu adalah dosa besar.
E.
JABARIYAH
A. Pengertian
Jabariyyah
Kata
Jabariyyah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu, “Jabara” yang
berarti memaksa. Dalam munjid juga dijelaskan bahwa kata “Jabara” mengandung arti memak sa atau mengharuskan melakukan seseuatu. Kemudian kata
jabara menjadi jabariyyah (dengan menambahkan
yaa’ nisbah) yang berate suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syarastani menegaskan
bahwa paham al-Jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam
arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT (dengan kata lain
manusia mengerjakan perbuatannya dengan terpaksa).
Dalam
istilah bahasaInggris Jabariyyah disebut dengan fatalism atau fredestination
yaitu paham yang berpandangan bahwa perbuatan manusia sudah ditentukan sejak
semula oleh qada’ dan qadar Allah SWT. Posisi manusia tidak memiliki kebebasan
inisiatif sendiri, akan tetapi terkait mutlak pada kehendak Tuhan. Maka dapat
disimpulkan bahwa Aliran Jabariyyah adalah aliran yang dianut oleh sekelompok
orang yang memahami bahwa semua perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah
unsure keterpaksaan atas kehendak Tuhan, dikarenakan telah ditentukan oleh
qada’ dan qadar Tuhan. Jabariyyah adalah pandangan atau pendapat yang tumbuh
dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawabnya.
Manusia disamakan dengan mahluk lain yang bebas dari segala petanggungjawaban
atas perbuatannya. Dengan kata lain manusia seperti benda mati yang hanya
bergerak dan digerakan oleh Allah, sesuai apa yang diinginkanNya. Manusia
diibaratakan seperti bulu yang diterbangkan angin sesuai arah yang
dikehendakiNya tanpa ada ikhtiar atau usaha dari dalam diri manusia itu
sendiri.
Jabariyyah
berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala
amal perbuatan manusia.[4]
Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah dan semua amal perbuatan
itu berlaku dengan kodrat dan iradatNya. Manusia tidak mencampurinya sama
sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan manusia sendiri. Kodra dan
iradat Allah lah yang membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali.
Pada hakikatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya adalah
paksaan semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula,
sekalipun manusia nantinya memperoleh balasan surga atau neraka. Pembalasan
surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat
manusia sewaktu hidupnya dan balasan kejahatan yang dilakukannya, tetapi surga
dan neraka semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan
iradatNya.
Sebagian
pengikut Jabariyyah beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Hal ini menimbulkan
paham “Wihdatul Wujud” atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai “Manunggaling Kawulo lan Gusti”, bersatunya
hamba dengan Tuhannya. Menurut paham Ahlus Sunnah, bahwa segala seseuatu memang
dijadikan oleh Allah. Tetapi Allah juga menjadikan ikhtiar dan kasab bagi
manusia. Suatu yang diperbuat manusia adalah pertemuan ikhtiar manusia dan
takdirNya. Ikhtiar dan kasab hanya sebagai sebab saja, bukan yang mengadakan
atau menciptakan seseutau.
B. Sejarah
Kemunculan aliran Jabariyyah
Aliran Jabariyyah
Muncul bersamaan dengan munculnya Aliran Qadariyyah dan tampaknya merupakan
reaksi daripadanya. Daerah kemunclannya juga tidak berjauhan, Aliran Qadariyyah
muncul di Irak dan Aliran Jabariyyah muncul di Khurasan, Persia.[5]
Aliran ini muncul kira-kira pada tahun 70 H dengan pimpinannya yang pertama
adalah Jahm bin shafwan. Pengikut Al-Ja’d Ibn Dirham, orang yang pertama kali
mengemukakan paham Jabariyyah di kalangan umat Islam dan orang yang pertama
kali menyatakan barwa Al-Qur’an adalah
mahluk serta meniadakan sifat-sifat Allah. Akan tetapi ia terbunuh pada tahun
124 H, sehingga perluasan paham Jabariyyah diteruskan oleh pengikutnya. Aliran
jabariyyah juga disebut sebagai aliran Jahmiyah, aliran ini juga menyatakan
pengingkaran terhadap ru’ya yaitu, melihat Allah SWT dengan mata kepala kelak
di akhirat. Selain itu sejarah
kemunculan Aliran Jabariyyah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
1) Faktor
Politik
Pada awalnya, pendapat
Jabariyyah diterapkan pada masa dinasti bani Ummayyah (660-750). Yaitu pada
masa keamaanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian Muawiyyah dan Hasan
bin Ali bin Abi Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi serangan dari
Muawiyyah. Untuk memperkuat kedudukannya maka Muawiyyah bermain politik yang
licik. Ia mendoktrin pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala
negara dan umat Islam adalah berdasarkan “Qada’ dan Qadar Allah semata” tanpa
ada campur tangan dan keterlibatan manusia sama sekali di dalamnya.
2) Faktor
Geografi
Mengenai faktor
geografi para ahli sejarah mengkajinya dengan pendekatan geokultural bangsa
Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahra memberikan
pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka terhadap alam
sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Dengan
keadaan yang demekian, bangsa Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan tersebut
menjadi seperti keinginan mereka sendiri. Akhirnya mereka merasa lemah dalam
mengahadapi kesukaran-kesukaran hidup dan banyak bergantung pada kehendak alam.
Hal inilah yang membawa mereka pada fatalism atau paham Jabariyyah.
Meskipun
kaum Jahmiyah/jabariyyah dan Qadariyyah sudah musnah namun ajarannya masih
tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman
tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya
ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam
As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai
yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyyah dan
Jabariyyah. Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang
penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia
kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jabariyyah karena
mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah,
Al-Quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah
dengan mata kepala pada hari kiamat. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa sebagian pengikut Mu'tazilah adalah Jabariyyah tetapi tidak
semua Jabariyyah adalah Mu'tazilah. Karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat
dengan kaum Jabariyyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa).
Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jabariyyah meyakininya. Akan
tetapi, dalam segi-segi tertentu, Jabariyyah dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan
pendapat, misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka tidak kekal, Allah
tidak dapat dilihat kelak di akhirat, Al-Qur’an adalah mahluk.[6]
C. Tokoh-Tokoh
dan Doktrin Ajaran Jabariyyah
Menurut Asy-Syahrastani, jabariyyah itu dapat
dikelompokan ke dalam dua bagian yaitu: Ekstrem, dimana segala perbuatan
manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan
perbuatan yang dipaksakan atas dirinya (misalnya mencuri,perbuatan tersebut
bukan terjadi atas kehendak sendiri melainkan karena qada’ dan qadar Tuhan yang
menhendaki demikian) dan Moderat. Ada bebrapa tokoh dalam Aliran Jabariyyah
beserta ajarannya, yaitu:
1) Al-Jahmiyah
(Jahm bin Shafwan)
Aliran Jabariyyah Al-Syahrastani disebut dengan istilah
Al-Jabariyyah Al-Khalish. Jahm bin Shafwan adalah pendiri dan pemimpin
pertamanya (124 H). nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwan. Ia
berasal dari Khurasan dan bertempat tinggal di Kuffah. Ia terkenalsebagai orang
yang tekun dan rajin menyiarkan agama.[7]
Seorang dai yang fasih dan orator yang lincah, termasuk pula seorang mawali
yang menentang pemerintah Bani Umayyah. Sebagai akibatanya, ia ditawan dan
dibunuh oleh
Muslim Ibn ahwas almazini pada tahun 131 H di akhir dinasti Bani Umayyah.
Alirannya ini tersebar di Tirmiz dan di Balk
Ia dianggap
sebagai pengikut Aliran Jabariyyah murni, aliran ini tidak menentapakan perbuatan atau
kekuasaan sedikitpun. Seluruh tidakan tidak boleh terlepas dari aturan,
scenario, dan kehendak Tuhan. Segala akibat baik dan buruk yang diterima
manusia dalam perjalanan hidupnya merupakan ketentuan dari Allah SWT, namun hal
ini memperlihatkan adanya kecenderungan bahwa Tuhan lebih memperlihatkan
sikapNya yang mutlak dan berbuat sekehendakNya. Hal inilah yang dapat
menimbulkan kesan tidak adil jika Tuhan menyiksa orang-orang yang berbuat dosa
padahal perbuatan tersebut dilakukan atas dasar kehendak dari Tuhan. Berikut
adalah doktrin-doktrin yang diajarkan oleh Jahm bin Shafwan:
a. Menurut
Jahm bin Shafwan manusia dalam paham Jabariyyah sangat lemah tidak berdaya
terkait dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak memiliki kemauan dan paham
bebas sebagaimana paham Jabariyyah. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan lebih
terkenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman,
kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, melihat Tuhan di akhirat.
b. Surga
dan neraka tidak kekal, yang kekal hanyalah Allah.
c. Iman
dan mari’fat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal pendapatnya sama dengan
konsep iman yang diajukan Murji’ah
d. Kalam
Tuhan (Al-Qur’an) adalah mahluk (Allah Mahasuci dari segala sifat dan
keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat).
e. Tuhan
tidak dapat dilihaat ketika di akhirat.
f. Bahwa keharusan mendapatkan ilmu
pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat
mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal
metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia
menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran
mengenai ketuhanan.
g. Iman itu adalah pengetahuan mengenai
kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan
yakni kalbu, lisan dan karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara manusia satu
dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka
sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.
2) Al-Ja’d
bin Dirham
Ja’d adalah seorang maulana hakim, tinggal di Damaskus. Ia
dibesarkan dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Ia
dipercaya mengajar di lingkungan Bani Umayyah, akan tetapi setelah
pemikiran-pemikirannya yang kotroversial diketahui, Bani Umayyah menolaknya.
Kemudian ia pergi keKuffah dan bertemu dengan Jahm, yang akhirnya berhasil
mentransfer pikirannya ke Jahm untuk
dikembangkan dan disebarluaskan. Ja’d dibunuh dengan cara dipancung oleh
Gubernur Kufah yaitu khalid bin
Abdullah El-Qasri. Dokrin Ja’d secara umum sama
dengan doktrin Jahm. Al-Ghurabi menjelaskannya sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
adlah mahluk, oleh karena itu dia baru, sesuatu yang baru tidak dapat
disifatkan kepada Allah.
b. Allah
tidak memiliki sifat yang serupa dengan mahluk, eperti berbicara, ,elihat, dan
mendengar.
c. Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-segalanya. Mausia bagaikan selemabar bulu yang
diterbangkan angin, mengikuti tajdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama
dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati.
d. Tidak
mengakui adanya sebab akibat diantara segala sesuatu terutama manusia dan
perbuatannya serta kepribadiannya secara spiritual dan moral. Entah masa
depannya bahagia atau sengsara.
e. Tidak pernah Allah berbicara dengan
Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 164.
f. Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah
dijadikan Allah kesayangan Nya menurut surat An-Nisa: 125.
D. Cirri-Ciri
Ajaran Jabariyyah
1) Bahwa manusia tidak mempunyai
kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau
baik semata Allah semata yang menentukannya.
2) Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu
apapun sebelum terjadi.
3) Ilmu Allah bersifat Huduts (baru).
4) Iman cukup dalam hati saja tanpa
harus dilafadhkan.
5) Bahwa Allah tidak mempunyai sifat
yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6) Bahwa surga dan neraka tidak kekal,
dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi
hanyalah Allah semata.
7) Bahwa Allah tidak dapat dilihat di
surga oleh penduduk surga.
8) Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan
bukan kalamullah
BAB
III
PENUTUP
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa
Islam telah hadir sebagai pelopor lahirnya pemikiran pemikiran yang hingga
sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga
dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah,
bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber
pada al - Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat
luas. Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang
kesemuanya memiliki titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya
pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang bersumber pada
al-Qur’an dan Hadits.
Namun pendapat mana diantara pendapat-pendapat
tersebut yang paling baik, tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana penilaian
sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti.
Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin di
lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan
peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa
menilai baik tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada
kenyataan yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia,
dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.
Demikian yang dapat kami jabarkan mengenai
aliran – aliran dalam ilmu kalam yang mungkin sebagian dari sekian banyaknya
aliran – aliran yang ada, kami sangat mohon maaf jika banyak terdapat kalimat
atau kata yang kurang relevan atau kurang benar meliputi materi yang telah
dibahas, dan mohon untuk dapat dimaklumi. Serta kami sangat mengharapkan
rujukan yang bersifat membangun menyangkut segala apa yang telah kami jabarkan
dalam makalah ini sebagai bentuk pengintrofeksian diri hususnya dalam hal
pemikiran dan pendapat serta kecermatan pengambilan referensi yang ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. 1996. Aliran
Politik Dan Aqidah Dalam Islam. Jakarta : Logos Publishing House.
Husein, dkk. 1994. Konsep
Kepercayaan dalam Teologi Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Matdawan, M. Noor. 1992. Aqidah dan Ilmu Pengetahuan dalam Lintas Sejarah Dinamika
Budaya Manusia. Yogyakarta: Yayasan Bina Karir.
Nasir, Sahilun. 1994. Pengantar
Ilmu Kalam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasir, Sahilun. 2010. Pemikiran
Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta : UI-Press.
Razak, Abdul.
2009. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia.
[1] Abu Zahrah, Aliran
Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta, Logos Publishing House,
1996, hlm.19
[2] A. Nasir, Sahilun, Pemikiran
Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2010.
[3] Matdawan, Aqidah dan Ilmu Pengetahuan dalam Lintas Sejarah
Dinamika Budaya Manusia, Yogyakarta, Yayasan Bina Karir, 1992, hlm. 68.
[4] Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT.Raja Grafindo
Persada, 1994, hlm. 134
[5] Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT.Raja Grafindo
Persada, 1994, hlm. 133
[6] Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT.Raja Grafindo
Persada, 1994, hlm. 134
[7] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar