MAKALAH
AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL JAWA
Matakuliah : Sejarah Kebudayaan Islam
Dosen
Pengampu : M. Sauki, M.A.
Disusun
oleh :
1. Linda
Ardita Putri
2. Nurul Aisyah
3. Ai Mega Maulida
4. Ayi Muthi Nahdiyanti
5. Dian Munawaroh
6. Fuad Wafa
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar
istilah Islam dan budaya. Islam adalah agama
wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan
berlaku bagi seluruh manusia, di manapun dan kapanpun, yang ajarannya meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia. Sedangkan budaya adalah suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan
dari generasi ke generasi. Kedua
istilah itu berbeda, tetapi dua kata tersebut saling berkaitan.
Pengaruh
kebudayaan Islam
di Jawa telah berakulturasi dan berasimilasi
menjadi suatu kebudayaan baru dalam kehidupan masyarakat Jawa. Banyak orang yang bingung untuk
membedakan antara
budaya dan agama, karenanya perpaduan
budaya
Islam dengan budaya Jawa sangat akrab dikalangan orang Jawa. Dikalangan orang Jawa sering memadukan budaya lokal
mereka ke dalam ajaran keIslaman. Dalam hal ini, Ruslan
Abdulgani (1983:20) berkomentar bahwa Islam datang ke Indonesia tidak dalam
keadaan vakum kultural/peradaban, karena di situ sudah ada kerajaan besar baik
kerajaan Hindu maupun kerajaan Budha. Oleh karena itu, wajarlah jika terjadi
akulturasi dalam bidang budaya dan sinkretisasi dalam bidang akidah, dan
hal-hal tertentu dalam kehidupan masyarakat Jawa. Mengenai budaya apa saja yang sudah diakulturasikan ke
dalam ajaran Islam, untuk itu makalah ini akan membahas masalah tersebut secara
lebih rinci dan mendalam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian akulturasi Islam dan budaya?
2.
Bagaimana akulturasi dalam bidang teologi?
3.
Bagaimana akulturasi dalam bidang tasawuf?
4.
Bagaimana akulturasi dalam bidang kosmologi?
C.
Tujuan
1. Mengetahui pengertian akulturasi Islam dan budaya.
2. Memahami akulturasi dalam
bidang teologi.
3. Memahami akulturasi dalam
bidang tasawuf.
4. Memahami akulturasi dalam
bidang kosmologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Akulturasi
Islam dan Budaya Jawa
Akulturasi
menurut kamus Antropologi adalah pengembalian atau penerimaan satu atau
beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu. Konsep
ini terjadi dengan munculnya kebudayaan asing yang dihadapkan pada satu
kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu sehingga lambat laun kebudayaan
asing tersebut diterima oleh suatu kebudayaan satu kelompok tersebut.
Dalam konsep tersebut Islam diposisikan
sebagai kebudayaan asing dan masyarakat lokal sebagai penerima kabudayaan asing
tersebut. Misalnya masyarakat Jawa yang memiliki tradisi “slametan” yang cukup
kuat, ketika Islam datang maka tradisi tersebut tetap berjalan dengan mengambil
unsur-unsur Islam terutama dalam doa-doa yang dibaca. Wadah slametannya tetap
ada, tetapi isinya mengambil ajaran Islam.
Menurut Koentjaraningrat (1981),
terdapat lima hal dalam proses akulturasi:
1. Keadaan
masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai berjalan;
2. Individu-individu
yang membawa unsur kebudayaan asing itu;
3. Saluran-saluran
yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk ke kebudayaan asing tadi;
4. Reaksi
dari individu yang terkena kebudayaan asing.[1]
Sebelum agama Islam masuk ke Pulau
Jawa, raja-raja Jawa sudah biasa melakukan upacara. Salah satu upacara yang
dilaksanakan oleh raja-raja Jawa adalah upacara sedekah raja kepada rakyatnya.
Upacara raja ini disebut raja wedha atau
raja medha. Raja wedha berarti kitab suci raja. Karena raja-raja Jawa beragama
Hindu, maka kitab sucinya adalah Wedha. Raja medha berarti hewan kurban raja yang diberikan kepada rakyatnya.
Biasanya dilakukan untuk menyambut tahun baru. Pelaksanaannya dipilih hari
Selasa Kliwon atau anggara kasih.[2]
Dalam upacara
tersebut yang terpenting adalah upacara makan bersama, yang biasa dikenal
dengan slametan (ngoko) atau wilujengan (krami). Berbagai upacara
keagamaan yang dilakukan dengan slametan,
oleh orang Jawa dilakukan pada upacara yang terkait dengan hari-hari besar
Islam. Hal yang sangat penting adalah berbagai perilaku keramat, seperti puasa (siyam), tirakat, atau mengendalikan
diri dan dengan sengaja melakukan atau mencari kesukaran, bertapa (tapabrata), dan bersemedi.
Selain itu,
terdapat salah satu temuan studi Muhadjirin Thohir terhadap masyarakat desa
Sukodono dan Senenan, Jepara, menunjukkan adanya satu tindakan ritual (Islam
dan Tradisi Jawa) yang dikaitkan dengan aktifitas ekonomi seperti yang juga nampak
dalam upacara Slametan, yang disebut Rasulan.[3]
Untuk memulai
usaha baru, masyarakat di sana lebih dulu mencari petung hari, tanggal, dan
pasaran secara tepat, menziarahi makam orang tua, wali, dan leluhur desa.
Kemudian melakukan selamatan membuka usaha atau selamatan Rasulan.
2.
Akulturasi Dalam
Bidang Teologi
Istilah teologi, dalam bahasa Yunani
adalah “theologia”. Istilah yang berasal dari gabungan dua kata “theos, Allah”
dan “logos, logika”. Arti dasarnya adalah suatu catatan atau wacana tentang,
para dewa atau Allah. Bagi beberapa orang Yunani, syair-syair seperti karya
Homer dan Hesiod disebut “theologoi”. Syair mereka yang menceritakan tentang
para dewa yang dikategorikan oleh para penulis aliran Stoa (Stoic) ke dalam
“teologi mistis”. Aliran pemikiran Stois yang didirikan oleh Zeno (kira-kira
335-263 SM.)
memiliki pandangan “teologi natural atau rasional”, yang disebut oleh
Aristoteles, dengan istilah “filsafat teologi”, sebutan yang merujuk kepada
filsafat teologi secara umum atau metafisika.
Teologi adalah pengetahuan metodis,
sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara
sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang
Mutlak dan Yang Kudus, yang diakui sebagai sumber segala kehidupan di alam semesta
ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya
oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat
merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah
dimengerti sebagai realitas
yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu
berteologi adalah berfilsafat juga.
Teologi sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran
dasar dari suatu agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak dapat
diombang-ambing oleh peredaran zaman. Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada
umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid.
Masalah teologi dalam tradisi Islam memang mempunyai sejarah yang cukup
panjang. Setelah rasulullah saw wafat terjadi berbagai perselisihan umat
mengenai siapa yang berhak menjadi pengganti/khalifah. Isu paling hebat terjadi
pada masa Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib di mana pada saat itu muncul
berbagai paham teologi yang timbul akibat pergolakan politik. Pada saat itu
muncul paham Qadariah
dan Jabariah, juga
aliran Khawarij.
Setelah masa Ali masalah teologi semakin ramai dipersoalkan, maka kembali
muncullah berbagai paham teologi, seperti aliran Murji’ah, Syiah, dan Mu’tazilah. Selain faktor politis yang
menyebabkan munculnya perbedaan pada paham teologi, ada lagi faktor pertemuan
antara ajaran Islam dengan kebudayaan lain. Faktor lainnya, yaitu berkaitan
dengan pemahaman ayat Al-Qur’an.
Walaupun muncul berbagai aliran dalam
bidang teologi, namun aliran-aliran di atas tetap meyakini konsep monoteisme,
yaitu ajaran agama yang mempercayai adanya satu Tuhan; kepercayaan kepada satu
Tuhan. Aliran-aliran yang ada walaupun saling bertentangan dalam berbagai hal
namun mereka tetap mempercayai bahwa hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa, satu Tuhan Yang Disembah.
Teologi masyarakat Jawa pada zaman Hindu Budha adalah
politeis, atau percaya pada banyak dewa, kemudian Islam datang
dengan paham monoteis, yaitu hanya menyembah kepada satu Tuhan. Akulturasi dari
keduanya adalah konsep mistik Dewaruci,
yang mempunyai dua aliran. Pertama, pandangan
mengenai Tuhan yang bersifat pantheistis, yang menganggap Tuhan sebagai yang
terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta ini, tetapi yang
sebaliknya Tuhan dapat berbentuk kecil sekali
sehingga dapat dimiliki setiap manusia. Kedua,
pandangan monistis, yang menganggap Tuhan sebagai Maha Besar, tetapi
berada di dalam segala bentuk kehidupan di alam semesta ini, termasuk manusia,
yang merupakan makhluk yang sangat kecil saja di antara segala hal yang ada.
Teologi Islam Jawa pun mengalami harmonisasi dengan
sufisme. Hal ini dapat kita lihat dari idiom-idiom Islam Jawa yang antara lain,
“Pangeran iku ana neng endi papan, ana ing siro ugo ono Pangeran, nanging aja
siro ngaku Pangeran”. Artinya, “Tuhan ada dimana-mana, juga ada dalam dirimu,
tetapi janganlah engkau mengaku menjadi Tuhan”.
Statemen ini menunjukkan unsur-unsur teologi Sunni yang bercampur dengan
sufisme praksis (tasawuf ‘amali) Sunni. Jika ditelusuri lebih jauh, idiom-idiom
ini banyak dipengaruhi oleh sufisme al-Ghazali yang berkolaborasi dengan
tasawuf Sunni.
Yang lebih menarik dicermati, nalar teologis Islam
Jawa ternyata sangat pluralistik dan inklusif. Idiom-idiom teologi Jawa
mengatakan, “Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan, langgeng, sing
ngandadeake jagad iki sak isine, dadi sesembahane wong sealam kabeh nganggo
carane dewe-dewe”. Artinya, “Tuhan itu Satu, ada di mana-mana, abadi, pencipta
alam semesta, dan yang disembah oleh seluruh penghuni alam semesta dengan cara
yang berbeda-beda”. Umat Islam, Kristiani, dan Yahudi sejatinya menyembah Tuhan
yang sama, yaitu Allah, meskipun caranya beragam. Dalam konteks masa kini,
spirit pluralistik dan inklusif ini seyogyanya dilestarikan untuk membina
kedamaian dan toleransi di Indonesia yang belakangan diwarnai oleh
tindakan-tindakan intoleran dari kalangan Islam radikal. Nalar teologi Islam
Jawa juga mengajarkan egalitarianisme melalui idiom “Pangeran iku ora
mbedak-mbedakke kawulo-Ne” (Tuhan itu tidak membeda-bedakan hamba-Nya). Spirit
egalitarianisme ini harus ditegakkan kembali di tengah-tengah maraknya
diskriminasi terhadap perempuan dan ketidakadilan hukum yang selalu merugikan
orang-orang lemah.
Nalar teologis Islam Jawa sering dituding menganut
paradigma predestinasi (Jabariyyah) yang mengajarkan kepasrahan total dan
mutlak kepada Tuhan, sehingga bangsa ini mudah dijajah oleh para imperialis
Barat. Etos kerja bangsa kita juga rendah karena dicekoki oleh idiom nerimo ing
pandum (menerima apa adanya) tanpa mau berusaha memaksimalkan potensi anak
bangsa. Akibatnya, bangsa kita mudah terjajah oleh kapitalisme Barat dan
menjadi negera dengan budaya konsumerisme yang akut. Teologi predestinasi Islam
Jawa ini harus diluruskan dengan teologi yang mendorong etos kerja yang
terdapat dalam idiom Jawa “Pasrah marang pangeran iku ora ateges ora gelem
nyambut gawe,
nanging percoyo yen Pangeran iku Maha Kuoso”. Artinya, “Pasrah kepada Tuhan
bukan berarti tidak mau bekerja, tetapi percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa menolong
hamba-Nya”. Namun bermodalkan etos kerja saja tidak mencukupi, sebab pemerintah
kita tidak menyediakan lahan pekerjaan yang luas dan kelayakan gaji, sehingga tidak aneh jika
banyak anak negeri yang memilih menjadi TKI meskipun berisiko tinggi,
seperti penganiayaan yang dialami oleh Sumiati.
Nalar teologis Islam Jawa yang diusung oleh para
leluhur memperingatkan kita akan pentingnya mencari rezeki yang halal. Idiom
teologi ekonomi Jawa menyatakan, “Bandha kang resik iku kang nyambut gawe, saka
pametu kang ora ngrusakake liyan” (harta yang bersih itu diperoleh dari kerja
keras dan dari sumber yang tidak merusak orang lain). Dengan demikian, korupsi
merupakan kejahatan yang keji yang harus diperangi secara nyata oleh penegak
hukum dan tidak cukup hanya melalui retorika belaka dalam politik pecintraan
ala SBY. Kasus Century dan mafia pajak yang melibatkan Gayus sebagai aktornya
memperlihatkan betapa mahalnya kejujuran dalam mengemban amanat di negeri ini.
Kita seharusnya malu dengan leluhur bangsa yang senantiasa menganjurkan mencari
“bondho resik”.
Islam bukanlah produk budaya, tetapi ajaran
Islam mampu mewarnai berbagai aspek kebudayaan. Dalam implementasi ajarannya,
Islam memerlukan media untuk mentransformasikan nilai-nilai universalnya ke
dalam tataran praksis kehidupan. Dari sinilah muncul keragaman budaya Islam,
yang disebabkan adanya perbedaan penafsiran dan pembumian ajaran Islam. Maka
ajaran Islam sesungguhnya merupakan hasil perpaduan antara ajaran Islam yang
dipahami masyarakat dengan kebudayaannya, atau penerjemahan universalitas
ajaran Islam ke dalam lokalitas kebudayaan.
3.
Akulturasi Dalam
Bidang Tasawuf
Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui
bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan
batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf merupakan gerakan zuhud
(menjauhi hal duniawi) dalam Islam. .
Pola
berpikir sufistik membawa kepada paham ruh aktif, yang menyimpang dari ajaran Islam yang menganut paham ruh pasif.
Bahwa ruh orang
yang telah meninggal tidak
dapat beramal lagi. Menurut Al-Ghazali, dengan jalan
tasawuf para sufi bisa langsung membaca suratan nasib di lauh mahfuzh. Dengan
demikian, tanpa belajar mereka bisa menguasai segala ilmu yang tertulis di lauh
mahfuzh. Bahkan para sufi bisa mengetahui apa yang akan terjadi dikemudian
hari, yakni lantaran ngerti
sedurungwinarah.
Dari fakta sejarah kemunduran alam
pikiran Islam
ternyata mulai terjadi sejak abad ke-13 M
hingga abad ke-20 M.
Kerena itu, munculnya teori semacam yang diketangahan oleh Abdul Hakim Hasan
merupakan hal yang cukup menarik.
Segolongan pengkaji tasawuf berpendapat
bahwa berkembangnya ajaran tasawuf itu berkaitan erat dengan sejarah kemunduran
suatu masyarakat. Tasawuf memang
fenomena umum dalam kehidupan setiap masyarakat, yang timbul dari fitrah
kehidupan masyarakat sebagai masyarakat bukan sebagai individu. Maka umat ini
menurut tabiatnya berpaling untuk merenungkan penyempurnaan ruhani dan
makrifat, yakni ada kemerosotan dan kemunduran dalam kehidupan keduniaan mereka.
Demikian pula, ketika kekuasaan
raja-raja Jawa
di runtuhkan oleh pemerintah kolonial Belanda,
kompensasi bagi kebudayaan Jawa
adalah coraknya yang makin bersifat mistik. Dengan demikian, mistisme menjadi
nilai paling berharga bagi masyarakat Jawa
zaman penjajahan.
Hidup orang Jawa yang menekankan
ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap
segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat
dan masyarakat dibawah semesta alam. Konsep hidup nrima ing pandum (ora
ngoyo), selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu
berambisi.Usaha dalam upaya perubahan adalah sebuah improvisasi atas kehidupan
yang lebih baik dari sebelumnya. Orang Jawa pra Islam mewujudkan hal tersebut dalam bentuk tapa, puasa, maupun sekedar menjaga
diri dari perbuatan yang tidak baik. Hal ini bisa menggambarkan bahwa orang
Jawa memahami dan menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk
mendapatkan sesuatu yang bersifat materialistik atau menahan hawa nafsu. Hal
tersebut dipercaya bahwa melakukannya dapat menyucikan dan menenangkan jiwa, serta bisa mendekatkan diri dengan
Tuhan Yang Maha Kuasa.
4.
Akulturasi Dalam
Bidang Kosmologi
Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam
semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal
mula dan evolusi dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi, dan
kosmogoni . Dalam akulturasi
mengenai kosmologi atau hal penciptaan alam dan peenciptaan manusia, atau
kosmogoni dan kosmologi Jawa, keduanya
percaya bahwa alam semesta dan manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam islam Tuhan menciptakan alam semesta dalam waktu tujuh hari, Tuhan menciptakan Adam sebagai makhluk pertama, dan
sebelum menciptakan alam. Sedangkan dalam kepercayaan Jawa
pra Islam yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu Budha
percaya bahwa Brahma yang menciptakan bumi dan Wisnu yang menciptakan manusia.
Ritual dalam hal kosmik orang Jawa, misalnya adalah slametan, sekaten, bersih desa, dan sebagainya dengan berbagai atribut, bentuk, dimensi
dan maknanya, selalu diupayakan bagi kesinambungan dan harmonisasi kosmik ini.
Hubungan akulturasi kosmologi antara Islam
dan Jawa salah satunya dalam kosmologi Islam ,hubungan jiwa, badan dan Allah sering dijelaskan
dengan merujuk pada simbolisme Ka’bah dan ritus-ritus ibadah haji. Ka’bah juga
menjadi titik yang sangat menonjol dalam kosmologi Islam
yang mempresentasikan bumi dari singgasana Allah. Di Jawa penyamaan Ka’bah
dengan hati secara harfiah sudah ada. Serat Wirid, teks Surakarta abad ke-19
menyatakan bahwa Ka’bah masing-masing terletak di kepala, dada,
dan kemaluan. Budi, suksmo, nepsu, rasa dan esensi Illahi terletak di
kepala dan dada, sementara rasa, esensi Illahi , dan kekuatan kreatif terletak
di kemaluan (Hadiwijono dalam Woodward,1999:279). Salah satu contoh mudah kita
temukan dalam hal astronomi adalah orang Jawa
memiliki kecakapan hidup seperti memanfaatkan rasi bintang sebagai patokan
permulaan masa tanam atau bertani. Dalam ilmu astronomi Islam posisi bintang
atau Rasi digunakan untuk penanggalan dan sebagainya. Tampak
dari situ terdapat hubungan meskipun hanya sedikit. Setelah kedatangan Islam akulturasi antar
budaya atau pun ilmu pada bidang kosmologi terjadi bersamaan dengan peralihan
kepercayaan dari Jawa pra Islam ke Jawa Islam.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
1.
Akulturasi
menurut kamus Antropologi adalah pengembalian atau penerimaan satu atau
beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu. Dalam
konsep tersebut Islam diposisikan sebagai kebudayaan asing dan masyarakat lokal
sebagai penerima kabudayaan asing tersebut.
2.
Teologi adalah pengetahuan metodis,
sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Akulturasi teologis Islam Jawa yang diusung oleh para leluhur memperingatkan kita
akan pentingnya mencari rezeki yang halal.
3.
Tasawuf
adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan
akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Konsep tasawuf dalam Islam dan Jawa adalah tekun beribadah,
memutuskan hubungan dari selain Tuhan, menjauhi kemewahan dan kegemerlapan
duniawi, meninggalkan kelezatan harta dan tahta yang sering dikejar kebanyakan
manusia dan mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah.
4.
Kosmologi adalah ilmu yang
mempelajari struktur dan sejarah alam
semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal
mula dan evolusi dari suatu subjek. Setelah kedatangan Islam akulturasi antar budaya atau pun
ilmu pada bidang kosmologi terjadi bersamaan dengan peralihan kepercayaan dari
Jawa pra Islam ke Jawa Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Sudarto, Ed. Darori Amin. 2002. “Interelasi Nilai Jawa dalam Pewayangan”
dalam Islam dan Kebudayaan Jawa.Yogyakarta:
Gama Media.
Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa.
Yogyakarta : LKiS.
Yusuf,
Mundzirin dkk. 2005. Islam dan Budaya
Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka
http://inilahrisalahislam.blogspot.com/p/about-this-blog.html (18 Desember 2013, pukul 22.00)
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
(18 Desember 2013, pukul 23.00)
[1] Mundzirin Yusuf, dkk, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Suka,
2005), hlm. 16
[2] Mundzirin Yusuf, dkk, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Suka,
2005), hlm. 129
[3] Mundzirin Yusuf, dkk, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Suka,
2005), hlm. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar