CIVIL
SOCIETY, PROBLEM DAN SOLUSI
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata
Kuliah Pengantar Studi Islam
Dosen
Pengampu: Fatimus Zahro’ Jihan Fitri, Sos. I, M.Pd.I
Disusun
Oleh:
1. Ahmad
saiful anam (11690001)
2. Nur
Arviyanto H (13690012)
3. Miffa
Aulita R (13690014)
4. Yuni
Kusumawati (13690016)
5. Muhammad
Fadlulloh (13690017)
6. Rohmatun
Ni’mah (13690024)
7. Sri
Wahyuningsih S (13690028)
8. Ayi
Muthi Nahdiyanti (13690053)
JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013/ 2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B.
Rumusan
Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Masyarakat Madani (Civil
Society)
B. Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani
C. Karakterisitik Masyarakat Madani
D. Syarat Terbentuknya Masyarakat Madani
E. Problematika Dan Solusi Menuju
Masyarakat Madani
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Civil society
atau sering di sebut dengan masyarakat madani, istilah ini adalah penerjemahan
dari konsep civil society yang pertama kali di gulirkan oleh Dato Seri Anwar
Ibrahim pada acara festival 26 September 1995 di Jakarta. Konsep ini menunjukan
bahwa masyarakat ideal adalah sistem social
yang subur yang di asaskan kepada prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat atau bisa
di sebut kelompok yang memiliki peradaban maju.
Konsep masyarakat madani
adalah sebuah gagasan yang menggambarkan masyarakat beradab yang mengacu pada
nilai-nilai kebijakan dengan mengembangkan dan menerapkan prisip interaksi
social kondusif bagi penciptaan tatanan demokratis dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Civil Society (Masyarakat Madani)?
2.
Bagaimana
Sejarah pemikiran Civil Society (Masyarakat Madani)?
3.
Bagaimana
karakter masyarakat madani?
4.
Apa
saja syarat terbentuknya Masyarakat Madani?
5.
Bagaimana
Problematika dan Solusi menuju Masyarakat Madani?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masyarakat Madani
Dalam perspektif Islam, Civil Society lebih
mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata Aldin yang umumnya diterjemahkan
sebagai agama, berkaitan dengan makna Al-Tamaddun atau peradaban. Keduanya
menyatu kedalam pengertian Almadinah yang artinya kota, dengan demikian, maka
Civil Society di terjemahkan sebagai masyarakat madani yang mengandung tiga hal
yaitu: Agama, peradaban dan perkotaan
Secara
etimologi, Madinah adalah derivat kata Bahasa Arab yang mempunyai dua
pengertian
1. Madinah berarti kota atau disebut dengan
masyarakat kota. Yang dalam bahasa yunani disebut Polis dan politica yang
kemudian menjadi dasar kata policy dan politic
2. Masyarakat berperadaban karena Madinah juga
derivat dari kata Tamaddun atau Madaniah yang berarti peradaban yang dalam
bahasa Inggris disebut civility
Di Indonesia Masyarakat Madani umumnya dikenal
dengan istilah masyarakat sipil. Pada pemerintahan Presiden Habibie terbentuk
sebuah Tim. Tim tersebut membahas masalah-masalah pokok yang harus disiapkan
untuk
1.
menghidupkan pemikiran tentang transformasi ekonomi, politik, hukum
sosial dan budaya
2.
Merumuskan rekomendasi serta pemikiran tentang upaya untuk mendorong
transformasi bangsa menuju masyarakat madani
Yang perlu kita garis bawahi dalam pengertian masyarakat madani ini
adalah bahwa masyarakat tersebut mempunyai cita-cita agar rakyatnya aman,
nyaman dan sejahtera, serta system yang di gunakan cukup baik karena setiap
orang tidak harus menggantungkan dirinya kepada orang lain.
B. Sejarah
terbentuknya Masyarakat Madani
Sejarah
Masyarakat Madani[1]
Ahmad
Hatta, menyatakan bahwa secara terminologi masyarakat madani adalah komunitas
muslim pertama di kota Madinah dengan Nabi Muhammad sendiri sebagai pemimpinnya
dan diteruskan sampai masa keempat Khulafaurrasyidin. Madinah merupakan negara
yang didirikan sebagai peradaban baru. Para sejarawan sepakat bahwa Madani
adalah kota tujuan Rosululloh SAW. untuk berhijrah (Madinah), pada saat itu
masih benama Yatsrib. Nabi mengubah nama kota tersebut dari Yatsrib (dulunya)
menjadi Madinah merupakan sebuah pernyataan sikap, niat, proklamasi atau
deklarasi, bahwa Nabi SAW. hendak mendirikan dan membangun sebuah masyarakat
beradab yang terdiri dari Muhajirin dan Anshor
yang natinya akan terbentuk masyarakat yang berperaturan sebagaimana
masyarakat pada dasarnya.
Negara
baru yang terbentuk di Madinah ini bukanlah negara yang terbatasi oleh
sekat-sekat geografis, karena negara ini terbentuk atas dasar ideologi Islam
yang menjadikan bersifat universal. Artinya negara ini dapat didirikan
dimanapun, hanya saja Allah telah
berkehendak negara ini didirikan di kota Madinah. Inilah konsep baru yang
ditawarkan Nabi SAW., sebuah negara tanpa batas geografis sebab negara ini
berdiri berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan bukan atas dasar nasionalisme,
suku, ras atau pertalian darah. Dalam
surat Al-Baqarah ayat 256, yang artinya “Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”. Untuk itu, negara yang ditawarkan Islam benar-benar baru
dan orisinil, karena negara menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia,
tidak lain karena konsep yang dianutnya merupakan sebuah keyakinan. Dengan ini
orang bisa berbicara tentang persamaan dan kebersamaan
serta hak dan tanggung jawab.
Negara
yang berdiri di Madinah tersebut
merupakan manifesto dari gerakan 13 tahun sebelumnya, yaitu dakwah yang
Rosululloh lakukan di Makkah. Yang mana beliau mengajarkan Islam sebagai
pedoman kehidupan individu, sehingga Islam dapat diterima kemudian sebagai
pedoman dalam masyrakat.
Istilah
Madani sebelumnya sudah ada Pada masa ini (Aristoteles,
384-322 SM) Civil Society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan
istilah koinoniah politike, yakni sebuah komunitas politik tempat
warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonom-politik dan
pengambian keputusan. Istilah ini juga dipergunakan untuk menggambarkan
suatu masyarakat politik dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan
sama di depan hukum. Hanya saja istilah
tersebut belum poluler dimasa Aristoteles.
Istilah Civil society[2] terus dikembangkan oleh para tokoh G.W.F
Hegel (1770-1831 M), Karl Mark (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Di Indonesia, masyarakat madani sebagai terjemahan
dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu
Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium
Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995
Jakarta.
Bahkan pada saat pemerintahan Presiden Habiebie telah membentuk satu tim
dengan Keputusan Peresiden Republik Indonesia, nomor 198 tahun 1998, tentang
Pebentukan Tim Nasional Reformasi Menuju Nasyarakat Madani. Tim tersebut diberi
tugas untuk membahas masalah-masalah pokok yang harus disiapkan untuk membangun
masyarakat madani Indonesia, yaitu diantaranya:
Pertama,
menghimpun pemikiran tentang transformasi ekonomi, politik, hukum, sosial dan
budaya serta perkiraan dampak globalisasi terhadap berbegai aspek kehidupan
bangsa (pada tugas pertama).
Kedua, merumuskan rekomendasi serta pemikiran tentang upaya untuk
mendorong tranaformasi bangsa menuju masyarakat madani.
C. Karakteristik
Masyarakat Madani[3]
Istilah masyarakat
madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society pertama kali
dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis yang identik dengan negara.
Dalam perkembangannya istilah civil society dipahami sebagai organisasi
masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi
berhadapan dengan negara serta keterkaitan dengan nilai-nilai atau norma hukum
yang dipatuhi masyarakat.
Karakteristik masyarakat madani adalah:
1.
Free
public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu
masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak
melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul, serta mempublikasikan informasi kepada publik.
2.
Demokratisasi,
yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga mewujudkan
masyarakat yang demokratis. Untuk menunbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan
anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta
kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada oarng lain dan menerima perlakuan
demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan
pilar-pilar demokrasi yang meliputi:
a. Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM)
b. Pres
yang bebas
c. Supremasi
Hukum
d. Perguruan
Tinggi
e. Partai
Politik
3.
Toleransi,
yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap
sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati
pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4.
Pluralisme,
yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk disertai
dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan
rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5.
Keadilan
Sosial (social justice), yaitu keseimbangan
dan pembagian yang proposional antara hak dan kewajiabn, serta tanggung jawab
individu terhadap lingkungannya.
6.
Partisipasi
Sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang
benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak
lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang
bertanggungjawab.
7.
Supremasi
hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan
terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap
oranf memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa terkecuali.
D.
Syarat Terbentuknya
Masyarakat Madani
Persyaratan
Terwujudnya Masyarakat Madani
Sebuah gagasan tentang sistem
kehidupan masyarakat madani, tentu tidaklah mudah untuk dicapai begitu saja,
perlu adanya kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi. Ada beberapa
perysaratan yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat madani, yaitu :
a)
Pemahaman yang sama
(One Standard)
Pada
level awal dalam mewujudkan sistem kehidupan madani diperlukan pemahaman
bersama dikalangan masyarakat, tentang apa dan bagaimana karakteristik sebuah
masyarakat madani. Dimana masyarakat
harus memahami lebih dahulu mekanisme sistem yang terdapat dalam masyarakat
madani itu dalam dinamika kehidupan.
b)
Keyakinan (Confidence)
dan saling percaya (Social Trust)
Perlu
menumbuhkan dan mengkondisikan keyakinan dikalangan masyarakat bahwa masyarakat
madani adalah bentuk masyarakat yang ideal, masyarakat pilihan yang terbaik
dalam mewujudkan suatu sistem sosial
yang dicita-citakan. Disamping itu penanaman rasa saling percaya antar komponen
yang terdapat dalam masyarakat sangat diperlukan.
c)
Satu hati dan saling
tergantung
Apabila
telah terbentuk saling kepercayaan dikalangan masyarakat, tahap berikutnya
diperlukan juga kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaaan dalam
menentukan arah kehidupan yang dicita-citakan. Dari kondisi kesepakatan, satu
hati dan kebersamaan akan tergambar dengan semakin menguatnya rasa saling
tergantung antara individu dengan kelompok dalam masyarakat.
d)
Kesamaan Pandangan
tentang tujuan dan misi
Kesamaan
pandangan baik mengenai tujuan dan misi menjadi lebih mudah untuk dapat
mewujudkan, karena lapisan segmen masyarakat ingin mewujudkan cita-cita yang
sama dalam kehidupan masyarakat.
E.
Problematika dan Solusi
Menuju Masyarakat Madani
Untuk mencapai suatu masyarakat
Madani pastinya dibutuhkan berbagai usaha yang keras untuk mewujudkannya. Demokrasi
sebagai produk bangsa barat tidaklah cukup, karena diperlukan kesediaan bersama
untuk memahami sekaligus memformulasi ulang makna civil society berkaitan
dengan karakter suatu masyarakat tertentu[4]. Tentunya banyak kendala
yang menghadang untuk dipecahkan. Setidaknya ada dua kendala besar dalam
mewujudkan masyarakat Madani sebagai berikut[5] :
- Kendala Struktural
Masih sangat kuatnya
dominasi negara dan birokrasi kekuasaan sehingga wilayah masyarakat madani
terdesak. Kondisi ini sebagai akibat budaya politik yang ditinggalkan orde
baru. Karena selama ini pemerintahan orde baru telah menciptakan suatu
kehidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Pemerintahan orde
baru cenderung represif sehingga menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang
tertekan, tidak kritis, yang bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur
kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil masyarakat
Indonesia.
Selama 32 tahun
kehidupan demokrasi telah dipasung sehingga tidak ada kebebasan berpendapat.
Pikiran manusia diarahkan hanya untuk mempertahankan satu kebenaran yaitu
struktur kekuasaan yang ada. Kebijakan pemerintah yang otoriter menyebabkan
oeganisasi-organisasi kemasyarakatan tidak memiliki kemandirian dan kekuatan
untuk mengontrol jalannya pemerintahan, termasuk partai-partai politik
Hanya ada beberapa
organisasi keagamaan yang sedikit memiliki kemandirian dan kekuatan dalam
mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani seperti Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama. Bahkan pengaruh politik tokoh dan organisasi sosial
keagamaan ini lebih besar daripada partai politik yang sejak semula memang
telah terkooptasi oleh pemerintahan orde baru. Ketika pemerintahan orde baru
berakhir, muncul pemerintahan reformasi dibawah kepemimpinan Presiden Habibie
yang memiliki komintmen kuat untuk mendorong untuk terwujudnya masyarakat
madani di Indonesia.
Dengan komitmen
tersebut kaum cendekiawan dan akademis ada keinginan untuk mewujudkan suatu
masyarakat dimana kedudukan negara dan masyarakat berada dalam status
berimbang. Masyarakat Indonesia perlahan-lahan berupaya meninggalkan pola-pola
kehidupan pada masa orde baru menuju masyarakat baru yaitu masyarakat madani
melalui reformasi. Namun itu tidak mudah sebab berbagai pola kehidupan
masyarakat di masa orde baru telah begitu kuat melekat dan tidak bisa begitu
saja dihilangkan dari kehidupan masyarakat. Untuk menjadi masyarakat madani
juga tidak mudah karena pola kehidupan tersebut perlu disosialisasikan kepada
masyarakat.
- Secara Kultural
a. Pluralitas
Tantangan yang cukup
berat untuk membentuk masyarakat madani adalah pluralitas. Meskipun bangsa
Indonesia telah merdekan lebih dari 68 tahun, namun pluralitas masyarakat masih kurang dimanfaatkan sebagai potensi untuk
memacu pembangunan. Selama ini kebijakan politik pembangunan terkesan
menjadikan masyrakat Indonesia yang majemuk menjadi suatu masyarakat yang
mengarah pada bentuk uniformitas (menyeragamkan) sehingga melahirkan rasa
kedaerahan yang menonjol.
Kondisi ini dapat
dilihat dari semakin ramainya perdebatan tentang putra daerah utuk diangkat
menjadi pejabat. Sehingga masyarakat kurang begitu percaya dengan pemimpin dari
daerah lain yang dapat membawa kesejahteraan bagi diri dan daerah mereka. Sifat
inilah yang manjadi kendala serius dalam mewujudkan masyarakat madani.
Akhir-akhir ini terkesan solidaritas sosial mulai menipis. Masyarakat seolah
tidak peduli lagi dengan kehidupan orang lain.
Masyarakat Indonesia
dulu dipandang sebagai masyarakat yang kuat solidaritasnya, namun sekarang
menjadi masyarakat yang mementingkan diri sendiri. Egoisme yang semakin menebal
itu telah menjadikan mentalitas masyarakat Indonesia tidak muda untuk mengakui
keunggulan masyarakat bangsa lain. Selain itu, rasa percaya diri pada
masyarakat semakin menurun. Hal ini berkaitan erat dengan sejarah orde baru
yang menanamkan rasa curiga pada awal kekuasaannya. Maka dapat disimpulkan
besarnya hamabatan untuk menuju masyarakat madani, sebab salah satu pilar yang
penting bagi terwujudnya masyarakat madani adalah adanya solidaritas sosial dan
rasa percaya sesama masyarakat.
b.
Sosial dan Ekonomi
Selama ini pertumbuhan
ekonomi hanya dinikmati oleh pulau Jawa terutama Jakarta atau para penguasa dan
sekelompok orang yang berada di lingkungan kekuasaan. Struktur kemiskinan
menunjukkan adanya kepincangan, angka 89 % penduduk tidak miskin sebenarnya
mayoritas dari mereka berada disekitar batas garis kemiskinan. Ini memunculkan
adanya kelas-kelas sosial dan ekonomi dalam masyarakat.
Banyak tindakan pemerintah yang dirasa kurang bijaksana seperti penggusuran
tanah secara paksa ditengah-tengah kondisi
ekonomi yang belum stabil.
Walaupun pertumbuhan
ekonomi di Indonesa menigkat, tetapi juga diikuti dengan melebarnya jarak
antara penduduk kaya dengan miskin. Selain itu krisis ekonomi yang terjadi
telah menimbulkan lumpuhnya sejumlah aktivitas produksi yang berakibat semakin
sempitnya lapangan pekerjaan terutama di sektor swasta dan masalah PHK yang
menyebabkan angka pengangguran semakin tinggi dan angka kemiskinan melonjak
tiga kali lipat Kondisi tersebut menyebabkan banyak orang kehilangan identitas
atau krisis identitas diri. Kerusuhan dan penjarahan terjadi dimana-mana, upaya
keras untuk membongkar praktik KKN belum juga menampakkan hasil yang berarti
padahal semua penjarahan, kerusuhan dan main hakim sendiri bertentangan dengan
nilai masyarakat sendiri yang ingin diwujudkan.
Pendapatan
perkapita di Indonesia memang tergolong rendah dibandingkan dengan pendapatan
perkapita negara lain. Letak geografi yang berbeda tiap daerah juga memengaruhi pertumbuhan berbagai sektor
ekonomi. Ini berimbas pada ketersediaan lapangan pekerjaan yang terbatas sehingga tingginya angkatan kerja yang belum terserap secara maksimal.
Dengan
adanya permasalahan seperti itu, diharapakan semua elemen masyarakat bekerja
sama untukm membuka lapangan kerja, memberikan
pelatihan kerja, menyalurkan
calon tenaga kerja, memberikan
pinjaman untuk usaha kecil dan menengah dengan bunga yang relatif kecil, mempunyai sikap tidak membedakan antara yang
satu dengan yang lain, menumbuhkan
keberanian moral yang tinggi, memberikan
bantuan kepada yang kurang mampu, membangun hubungan berupa koperasi, Rukun Warga, Rukun Tetangga, dll.
c. Persoalan politik dan
keamanan
Pada era reformasi
timbul praktik kehidupan masyarakat berupa kerusuhan, perkelahian, dan
penjarahan yang diiringi dengan tindakan kekerasan. Seorang pelaku kejahatan
yang kebetulan tertangkap langsung akan dibunuh atau dibakar hidup-hidup.
Masyarakat menjadi main hakim sendiri tanpa mengingat apa yang dilakukan itu
melanggar hak asasi manusia. Secara politis, negara dan bangsa kita sedang
berhadapan dengan ancaman disintegrasi melalui gerakan separatisme seperti
gerakan di Aceh, Irian Jaya, dan Maluku yang telah terjadi tragedi kemanusiaan
berupa pertikaian antara masyarakat yang berbau suku, agama, ras, dan antar
golongan (SARA). Penyebabnya adalah lemahnya pengetahuan tentang, manusia,
alam, dan Tuhan serta kurangnya kemampuan untuk tanggap dan melakukan
antisipasi masalah-masalah kontemporer yang muncul di sekeliling kita[6].
Solidaritas,
persaudaraan, persatuan, kerukunan antar umat beragama, hukum serta hak asasi manusia telah
hancur berantakan. Kondisi ini menjadi hambatan untuk menyamakan pandangan dalam mewujudkan
masyarakat madani. Sebab pilar penting bagi terwujudnya masyarakat madani
adalah pemerintahan yang bersih, demokratis, ekonomi yang stabil, masyarakat
yang damai, saling percaya dan terbuka, mengedepankan hukum dan keadilan,
menghargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan dan solidaritas sosial yang
kuat.
Sehingga untuk
mengatasi masalah tersebut perlu adanya reformasi sistem politik dan mengedepankan integrasi nasional karena sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam
masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Para penegak hukum juga perlu dibina ulang karena melihat kenyataan yang
ada selama ini ulah mereka sangat miris sekali. Selain itu
diperlukan peran tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk menjaga stabilitas
politik dan keamanan.
d. Pendidikan dan Budaya
Harus diakui bahwa pendidikan yang berjalan di
Indonesia saat ini masih sebatas pada sosialisasi nilai dengan pola hafalan,
dengan kata lain hanya sekedar mengantarkan peserta didik dan masyarakat pada
batas mengetahui dan memahami sebuah konsep sementara upaya internalisasi atas
nilai belum bisa dilakukan dengan baik misalnya peserta didik mengetahui
nilai-nilai kejujuran, adil, kreatif, tepat waktu, dan sebagainya. Namun dalam
praktiknya, hal-hal tersebut belum dapat diterapkan, hanya sebagai
symbol-simbol saja.
Akibatnya gaya hidup
mereka kurang jujur, kurang adil dan pola hidup konsumtif tanpa dibarengi
dengan perubahan sikap mental dan cara pandang. Pelaksanaan birokrasi
pendidikan terkesan diatur dengan aturan birokarasi yang sangat ketat seperti
fakultas, jurusan, program studi dan kurikulum sehingga memberikan kebebasan
kepada masyarakat untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan tuntutan alam
dan zaman. Selain itu, kebijakan pendidikan belum jelas ganti kebijakan setiap
terjadi pergantian menteri atau pejabat negara sudah merupakan hal yang biasa.
Kemudian pelaksanaan
pendidikan di Indonesia adalah pendidikan status quo yaitu hanya berorientasi
oada selembar ijazah. Kondisi ini didukung dengan pemakai lulusan yang tidak
pernah menanyakan kemampuan atau keterampilan yang dimiliki seorang pelamar
kerja, tetapi yang ditanyakan adalah ijazah yang dimiliki. Inilah problem
mendasar dunia pendidikan Indonesia dewasa ini, untuk itu perlu mencari model
atau pendidikan alternative yang mempunyai visi dan kebijakan untuk membangun
manusia dan masyarakat madani Indonesi yang mempunyai identitas berdasrkan
budaya Indonesia.
Masalah pendidikan dan budaya di indonesia
memang sangat komplek, dalam hal budaya masih adanya budaya atau kultur
masyarakat yang tidak sesuai dengan demokrasi, antara lain: masih adanya sikap
partenalistik yang melekat pada masyarakat, sikap masyarakat yang belum bisa
menerima perbedaan di masyarakat, dan masih kurangnya rasa nasionalisme dalam
diri masyarakat indonesia. Ada berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk
mengatasi masalah masalah tersebut diantaranya: membiasakan untuk menghormati
dan menerima perbedaan pendapat diantara masyarakat karena,masyarakat indonesia
adalah masyarakat yang mejemuk yang terdiri dari berbagai
wilayah,budaya,bahasa,agama,ras yang tidak mungkin diadakannya satu pendapat,
saling menghormati antar umat beragama karena pada dasarnya agama mengajarkan
dan mengajak pada kebenaran, ketika bermusyawarah ambilah keputusan dengan
sikap rela dan ikhlas yang tidak memihak kelompok tertentu, kemudian jadikanlah
kehidupan sehari-hari dengan demokrasi.
Dalam bidang Pendidikan pun tidak luput dari berbagai masalah yang
ada. salah satu masalah yang paling mendasar adalah tingkat pendidikan
masyarakat indonesia yang masih rendah, masalah ini muncul disebabkan oleh
beberapa faktor seperti: masih banyak masyarakat yang berada digaris kemiskinan
sehingga mereka tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya ditengah biaya
pendidikan yang semakin mahal dewasa ini, masih rendahnya kesadaran orangtua
akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka menganggap pendidikan
hanya membuang uang saja, mereka lebih memilih mencari uang daripada anaknya
dapat merasakan bangku pendidikan. Namun tidak ada masalah yang tidak bisa
diatasi. Diantara upaya-upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
menerapkan program wajib belajar sembilan tahun, dengan begitu setiap anak
wajib melaksanakan pendidikan dari SD-SMP, mengadakan program BOS (bantuan
operasional sekolah) untuk membantu masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi
dalam menyekolahkan anak-anaknya, kemudian memberikan beasiswa kepada siswa
yang berprestasi yang harapannya mereka yang berprestasi bisa melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi tanpa harus memikirkan masalah biaya.
Upaya-upaya tersebut adalah untuk melaksanakan
cita-cita sesuai amanat UUD 1945 dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam
pasal 31 UUD 1945 telah di cantumkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan, wajib mendapatkan pendidikan dasar dan pemerintah berkewajiban
membiayainya seperti dalam pasal berikut:
1.
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
2.
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.
3.
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara sertab dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan
nasional.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan
agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya
dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus
dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang
ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita.
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang
ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan
kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya
kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan
bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta
ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada
zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat madani
kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya
di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita
untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang dimiliki
oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula
hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang
kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh
karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui
latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
Adapun di dalam Islam mengenal yang
namanya zakat, zakat memiliki dua fungsi baik untuk yang menunaikan zakat
maupun yang menerimanya. Dengan zakat ini kita dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat higga mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain zakat,
ada pula yang namanya wakaf. Wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga
dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang muslim dengan muslim
lainnya. Jadi wakaf mempunyai dua fungsi yakni fungsi ibadah dan fungsi sosial.
Maka diharapkan kepada kita semua baik
yang tua maupun yang muda agar dapat mewujudkan masyarakat madani di negeri
kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni melalui peningkatan kualiatas
sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi, serta menerapkan budaya
zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan
baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.
Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat kami sampaikan pada kesempatan
kali ini semoga di dalam penulisan ini dapat dimengerti kata-katanya sehingga
tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, Andy dkk,
2005, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta
: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Mansur, Hamdan. 2004. Materi
Instrusional Pendidikan Agama Islam. Depag RI: Jakarta.
Saefuddin, AM., 1996, Fenomena Kemasyarakatan Refleksi Cendekiawan
Muslim, Yogyakarta : Dinamika.
Sanaky, Hujair AH.,
2003, Paradigma Pendidikan Islam :
Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta : Safiria Insania Press.
Suharto, Edi. 2002. Masyarakat
Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan
Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.
Suito, Deny. 2006. Membangun
Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia: Jakarta.
Sosrosoediro, Endang Rudiatin.
2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.
Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi
Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat: Bandung.
Tim Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Prenada Media: Jakarta.
Usman, Widodo, dkk. 2000. Membongkar Mitos Masyarakat
Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[2] http://wahyuagungriyadiblog.blogspot.com/2011/06/sejarah-dan-perkembangan-civil-society.html
[3] http://buku-boeboerusutan.blogspot.com/2012/07/makalah-masyarakat-madani.html
[4] Andy
Darmawan dkk, Pengantar Studi Islam,
Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm. 141
[5] Hujair
AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam :
Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta : Safiria Insania Press,
2003, hlm. 69
[6] AM.
Saefuddin, Fenomena Kemasyarakatan
Refleksi Cendekiawan Muslim, Yogyakarta : Dinamika, 1996, hlm. 47-48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar