Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS.Al-Ahzab:21)

Selasa, 24 Desember 2013

makalah tentang akulturasi islam dan budaya lokal di jawa


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Masyarakat jawa adalah masyarakat yang memiliki populasi terbesar di Indonesia dan pengaruhnya pun begitu besar bagi kehidupan bernegara di indonesia. Masyarakat jawa memegang identitas sebagai salah satu pusat perkembangan peradaban bangsa indonesia, ini dapat dilihat dari mapannya kebudayaan baik itu dalam sendi agama ataupun lainnya.
Dengan populasi terbesar di indonesia dengan sebagian besar masyarakatnya masih memegang begitu kuat tradisi lama menjadi masyarakat jawa salah satu objek kajian menarik dalam mengungkap sisi budaya, adat, dan kehidupan beragamanya. Selain itu, telah begitu banyak catatan sejarah yang menjadikan masyarakat jawa sebagai tokoh utama sejarah itu. Mulai dari sejarah perkembangan hindu-budha, penguasa nusantara pertama yaitu majapahit, islamisasi indonesia hingga pada tataran perjuangan perebutan kemerdekaan dan pengendali utama kehidupan bernegara hingga saat ini.
Tidak dapat dipungkiri masyarakat jawa menjadi hal yang dominan di negeri ini. Dengan corak sebagian besar  masyarakatnya yang mengasih memegang kuat prinsip tradisional maka masyarakat jawa masih kental dengan secratisme yang menarik untuk di pelajari khususnya akulturasinya dengan kaidah kehidupan islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan Teologis masyarakat Jawa ?
2.      Bagaimana pandangan Kosmologis dan Etis masyarakat jawa ?
3.      Apa yang dinamakan islam priyayi ?
4.      Apa yang dinamakan islam santri ?
5.      Apa yang dinamakan islam abangan ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.                PANDANGAN TEOLOGIS
Secara teologis aliran teologi islam yang paling banyak berkembang di Indonesia khususnya jawa sejak awal perkembangan islam adalah aliran teologis Asy’ariyah. Aliran ini adalah aliran yang paling banyak di anut oleh kaum muslim di dunia yang berlandaskan ahlussunah wal jama’ah. Selain teologi ini berkembang pula teologi-teologi lainnya seperti aliran Mu’tazilah namun, teologi ini dalam perkembangannya setelah tidak dijadikan lagi sebagai teologi resmi dinasti Abbasiyah banyak ditinggalkan orang karena terlalu mengedepankan kebebasan berpikir dan berkarya. Teologi Asy’ariyah menekankan ketundukan manusia kepada takdir yangtelah ditetapkan tuhan sejak zaman azali. Meskipun manusia memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginan dan perbuatannya, tetapi perwujudannya tergantung kehendak tuhan.

Teologi Asy’ariyah semakin popular ketika sejumlah ulama banyak yang belajar agama ke timur tengah, terutama di makkah dan madinah kembali lagi keindonesia pada abad ke-17. Mereka mempelajari dan mengikuti aliran teologi Asy’ariyah yang kemudian diajarkan ke Indonesia melalui kitab-kitab yang ditulis oleh mereka kemudian disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia termasuk jawa, melalui dakwah dan pengajaran dilembaga pendidikan.
di Indonesia, perubahan atau pergeseran dari pandangan teologis Asyariah itu dimulai sejak abad ke 18. sejak abad ke 17 mulai berkembang paham neosufisme, yang disebarkan oleh ulama-ulama Indonesia yang baru kembali menuntut ilmu di timur tengah. Yang paling terkenal di antara ulama ini adalah Nur al-Din al Ranriri, Abd al-Ra’uf Singkili (keduanya menjadi multi di Kesultanan Aceh), dan Muhammad Yusuf al-Maqassari (menjadi mufti di Kesultanan Banten). Neosufisme yang mereka anut yang telah dimurnikan dari praktek-praktek yang eksesif dan antinomian, sehingga menjadi lebih selaras dengan tuntunan hukum Islam (syariah atau fiqh).
Teologi jihad yang lain adalah gerakan Diponegoro yang memunculkan perang jawa (1825-1830). teologi jihad melawan colonialis Belanda yang dimunculkan Diponegoro ini berbau sufistik, mahdiis, dan mesianis. Pangeran Diponegoro telah mengalami semacam intensifikasi keislaman dan kesufian melalui pengembaraannya dari satu pesantren ke pesantren lain, menyatakan diri sebagai sultan ngabdulhamid Herucakra Kabiril Mukminin Kalipatullah ing Tanah jawa sayyidin pantogomo, penegak kembali agama Islam di jawa, dan sekaligus sebagai Ratu Adil yang bertugas untuk melenyapakan kekacauan, ketidakadilan, dan penindasan yang dialami kaum muslim di jawa.Teologi radikal lainnya juga muncul dari Syekh Ahmad Rifai, dari Kalisalak, Pekalongan, pada abad ke 19. Setelah belajar belasan tahun di Mekkah, Ahmad Rifai kembali ke desanya. Di sini, ia mengembangkan teologi dan ajaran radikal. Ia dan pengikutnya ‘hijrah’ dari kaum muslim lain dengan membentuk kelompok yang kemudian dikenal sebagai kelompok ‘santri tarjumlah’. Ahmad Rifai sangat tidak setuju adanya penghulu, yakni pejabat agama yang diangkat Belanda untuk mengelola urusan-urusan keagamaan kaum muslim. Menurut Ahmad Rifai tidak sah berimam kepada penghulu yang diangkat oleh penguasa non muslim. Dan tidak sah pula melakukan perkawinan melalui penghulu dan, sebagai konsekuensinya, pernikahan yang dilakukan melalui penghulu harus diulangi kembali. Namun, karena kewaspadaan pemerintah kolonial Belanda inilahyang membuat gerakan initidak berkembang.Jika dilihat semua kasus diatas lebih condong ke teologi khawarij karena lebih menekankan pada kekerasan baik muslim maupun non-muslim yang berbeda pandangan. para pelaku yang terlibat dalam gerakan-gerakan tersebut mungkin menganggap, bahwa mereka tetap berpegang kepada teologi Asyariah, tetapi aktivitas dan gerakan mereka menunjukkan terjadinya pergeseran dari teologi Asy’ariah.
B.     PANDANGAN KOSMOLOGI
Kosmologi adalah ilmu yang berkaitan dengan struktur alam semesta dan kaitan antara ruang dan waktu. Pandangan kosmologi berarti persepsi yang mengaitkan fenomena alam yang di jadikan sebagai suatu keyakinan hubungan  antara alam dan kehidupan.
Masyakarat jawa adalah masyarakat yang memegang kuat prinsip tradisional pemikiran dan persepsi ini dapat dilihat dari kuatnya pengaruh persepsi tradisional dalam kehidupan masyarakatnya. Salah satu persepsi tumbuh mengakar ialah mengenai alam dan hubungannya dengan agama. sebagaimana kita ketahui masyarakat jawa telah memiliki pandangan  hidup yang mapan terutama dalam bidang keagamaan. Jauh sebelum islam datang dan pada masa pra-hindu masyarakat jawa telah memegang keyakinan akan kekuatan adikodrati dalam bentuk kekuatan alam. Keyakinan ini telah mengakar dengan begitu kuat dan menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat jawa serta berasimilasi dengan budaya hindu-budha.
Ketika islam sebagai agama baru singgah pertama kali maka tantangan terbesar dalam proses islamisasi adalah bagaimana mengakulturasi budaya jawa dengan sentuhan prinsip ajaran islam, maka strategi dakwah yang paling memungkinkan adalah dengan pendekatan dan adaptasi islam pada budaya jawa. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana para Wali berdakwah yaitu dengan media budaya khas jawa. Maka pandangan kosmologi khas jawa yang telah mengakar tetap bertahan dan mendapat sentuhan ajaran islam.
Berikut beberapa contoh pandanngan kosmologi masyarakat jawa :
1.              Jagat raya merupakan kesatuan yang harmonis antara jagat gede (alam semesta) dan jagat cilik (alam manusia) dan untuk menjaga keharmonisa ini maka masyarakat sebagai jagat cilik selalu mengadakan upacara ruwatan.
2.              Gunung menjadi simbol kekuatan adikodrati dan sebagai simbol keramahan Tuhan dan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat suku tengger Bromo melakukan upacara Yadha Kusada.
3.              Laut selatan merupakan tempat berkuasanya Nyi Roro Kidul dan sebagai rasa syukur diadakan upacara Larung Sesaji.

C.     PANDANGAN ETIS
Etis atau etika berasala dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti sikap yang menjadi kebiasaan dalam kamus besar bahasa indonesia etika berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta berkaitan dengan hak dan kewajiban.Masyarakat jawa adalah masyarakat yang benar-benar menjunjung tinggi etika dalam setiap interaksi kehidupan. Etika masyarakat jawa bukan tumbuh berasal dari kebudayaan islam, melainkan telah ada dan berkembang dari masa pra-Hindu. Masyarakat jawa memegang dengan kuat prinsip beretika dalam setiap interkasi karena prinsip inilah yang menjadi kunci kerukunan dan kesatuan masyarakata jawa.

Sama halnya seperti pandang kosmologi, pandangan etis pun menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun strategi dakwah para wali. Akulturasi budaya lokal jawa dengan kaidah keislaman menjadi strategi ampuh dalam proses islamisasi masyarakat jawa. Pandangan etis yang menjadi ciri khas dan identitas masyarakat jawa merupakan etika moral berkehidupan sekaligus menjadi simbol akan jatidiri masyarakat jawa.

berikut beberapa contoh pandangan etis masyarakat jawa yang berakulturasi dengan kaidah keislaman:
1.             Masyarakat jawa sangat menghormati orang yang lebih tua terutama kepada orang tua maka dalam prosesi pernikahan selalu diadakan sungkeman
2.             Masyarakat jawa sangat menjunjung tinggi rasa saling memaafkan maka dalam perayaan hari raya idul fitri disimbolkan dengan ketupat (kupat dalam bahasa jawa yang berarti ngaku lepat)
3.             Masyarakat jawa sangat mengutamakan kerukunan dan kebersamaan dalam setiap kehidupan sosial. Pandangan ini kemudian di simbolkan dalam upacara nyadran, gunungan, grebegan.

D.    ISLAM PRIYAYI
1.      Pengertian Priyayi
Secara etimologi kata priyayi berasal dari dua kata dalam bahasa jawa, yaitu para dan yayi yang artinya para adik. Para adik yang dimaksud adalah para adik raja. Dalam kebudayaan jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu pada golongan bangsawan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, priyayi adalah orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat.
Namun sekarang, seorang priyayi tidak selalu orang kaya ataupun bangsawan yang berada pada tingkat sosial yang atas. Saat ini, seseorang yang berwibawa, bertutur kata dengan baik dan memiliki sopan santun sudah bisa disebut sebagai seorang priyayi. Seorang priyayi memiliki pengaruh tertentu kepada masyarakat sekitarnya. Kiprahnya dapat dijadikan panutan bagi sebagian orang serta dengan tutur katanya yang sopan santun membuat mereka lebih dihargai dan disegani dalam masyarakat. Sebagian priyayi ada juga yang menjadi ustadz yang merupakan tokoh yang dijadikan sebagai panutan dalam agama Islam. Dapat dikatakan bahwa seorang santri adalah priyayi, namun seorang priyayi tidak selalu santri.

2.      Islam Priyayi
Islam priyayi adalah paham ke-Islam-an yang dianut oleh para aristokrat.[1]Priyayi asal mulanya hanya diistilahkan bagi kalangan aristokrasi (sebuah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh individu terbaik) yang oleh belanda dipilih dari raja-raja pribumi yang ditaklukkan kemudian diangkat menjadi pegawai sipil yang digaji. Elit pegawai ini yang ujung akarnya terletak pada kraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket kraton yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, sandiwara, musik dan sastra, dan mistisme hindu budha. Islam Priyayi tidak menekankan pada elemen animistis jawa yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tidak pula menekankan pada elemen Islam seperti kaum santri, tetapi menitikberatkan pada elemen Hinduisme.
Kelompok priyayiini, umumnya juga memeluk agama formal, meskipun tentu saja di antara mereka ada yang memeluk kebatinan. Mereka yang memeluk kebatinan atau agama Jawi sama sekali longgar dengan ritus-ritus Islam. Sedangkan mereka  yang formalnya Islam, ternyata juga sama seperti kaum dalam abangan yaitu juga longgar dengan ritus-ritus Islam.


E.      ISLAM SANTRI
1.      Santri golongan sosio-religius
Sebelum membahas pengertian santri dan abangan sebagai golongan-golongan sosio religius, hendaknya orang lebih dulu memperhatikan hubungan yang sangat mendasar antara agama dan masyarakat. Diantara ikatan yang akan menambah keterpaduan sosial bagi suatu kelompok adalah agama.
Keberadaan satuan atau golongan sosio-religius seperti santri disebabkan dan didasarkan pada sikap religius para anggotanya. Dalam hal ini, satu sikap golongan yang diungkapkan dalam sebuah satuan sosial ditentukan oleh dua faktor; yang pertama, peranan tradisi yang berubah dan berkembang sesuai dengan zaman;kedua, penghayatan sesuatu yang suci sebagai dasar untuk sikap religius, apakah secara perseorangan atau secara bersama.
2.      Golongan Santri dalam Stratifikasi Sosial Jawa
Sejauh kita memperhatikan kehidupan suatu komunitas dapat diketahui bahwa stratifiksi suatu masyarakat mungkin tampak tajam, pasti, dan mantap. Berdasarkan penelitian lapangan di Mojokerto, Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi 3 jenis budayawi utama, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Ia membuat perbedaan antara ajaran-ajaran religius. Para santri dikaitkan dengan para pedagang-pedagang di daerah-daerah yang lebih bersifat kota. Istilah santri diterapkan pada kebudayaan para muslimin yang memegang peraturan agama dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam perkampungan dekat dengan masjid.
Berbeda dengan stratifikasi sosial secara horisontal, ada pula klasifikasi masyarakat Jawa yang didasarkan pada ukuran sampai dimana kebaktian agama Islamnya atau ukuran kepatuhan seseorang dalam mengamalkan syariat. Terdapat santri, orang muslim saleh yang memeluk agam Islam dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti menjalankan perintah-perintah agama Islam sebagaimana yang diketahuinya, sambil berusaha membersihkan akidahnya dari syirik yang terdapat didaerahnya. Seorang santri lebih religius dari seorang abangan.
Istilah santri yang mula-mula dan biasanya memang dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam, merupakan perubahan bentuk dari kata Indiashastri yang berarti orang yang tahu kitab-kitab suci. Adapun kata shastri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab suci, atau karya keagamaan atau karya ilmiah. Dalam hubungan ini, kata Jawa pesantren, yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran –an, berarti sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa muslim sebagai model sekolah agama Islam di Jawa.
Para santri lebih memperhatikan ajaran Islam dibandingkan upacaranya. Iman dan amal shaleh melakukan shalat sehari-hari dan shalat Jum’at terbatas pada santri. Pendidikan awal dan dasar dalam agama untuk keluarga semula diberikan selama sepuluh tahun pertama dalam kehidupan anak santri. Sering anak itu mengunjungi seorang guru yang menggunakan rumahnya atau langgarnya sebagai sekolah. Tujuannya pertama-tama adalah belajar membaca dan mengaji al-qur’an. Disamping itu, juga murid-murid juga diberi pelajaran shalat.
Dalam pesantren tradisional, santri tinggal bersama kiyainya yang memberikan sandang pangan kepadanya sambil membimbingnya memasuki ajaran-ajaran rahasia. Sebagai balasan, santri patuh kepada kiyai tanpa syarat dan melayaninya dengan membantu mengerjakan tananhnya atau dengan menjalankan tugas lain mana pun yang dapat dibebankan kepadanya oleh kiyai.
Pesantren pada awal masa berdirinya merupakan pranata keagamaan tradisional yang terbaik guna mempersiapkan pemuda yang sedang muncul dalam masyarakat. Biasanya pesantren terletak di luar paguyuban. Pengasingan secara jasmani ini sebagai perlambang menggambarkan pengunduran diri para santri dari masyarakat. Kesederhanaan adalah pengungkapan kesadaran batin dalam bentuk pengunduran diri santri dari ikatan dan tata tingkat masyarakat Jawa yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan keraton.
3.      Para Santri dan Kelahiran Partai-partai Politik
Dalam membahas golongan santri sebagai kekuatan-kekuatan sosial politik di indonesia masa kini, khususnya di Jawa, perlulah orang meninjau zaman terakhir kekuasaan penjajahan Belanda di Indonesia yang ditandai oleh pertumbuhan cepat kesadaran diri secara politik sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak pendidikan gaya Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam dari Mesir. Zaman itulah yang disebut masa kebangkitan nasional yang dimulai pada pergantian abad. Akibat situasi ini timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan munculnya pemikir-pemikir politik yag sadar diri.
Pentingnya arti santri secara politis pada dasarnya berasal dari kenyataan bahwa dalam Islam batas antara agama dengan politik tipis sekali. Islam adalah agama sekaligus sebagai pandangan hidup.
Selama zaman penjajahan Belanda kewibawaan rohani para santri yang paling menonjol adalah kiyai dan ulama yang menolak menjadi alat kekuasaan kerajaan atau penguasa penjajahan Belanda. Mereka penentang pemerintahan sekuler dan dianggap oleh penguasa sekuler sebagai pengacau.
Para santri membanggakan diri atas kenyataan bahwa gerakan nasional modern pertama yang diorganisasi di Indonesia pada pergantian abad ke-20 telah dipelopori oleh Sarekat Islam, dibawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Perserikatan ini timbul dari pendahulunya, Sarekat Dagang Islam yang didirikan pada tahun 1911 oleh Haji Samanhudi, seorang saudagar dan produsen batik Jawa yang terkemuka di Surakarta. Tujuan sarekat tersebut adalah
1)        Mendorong minat penduduk pribumi terhadap pertanian, perdagangan, kerajinan, kesehatan, dan pendidikan, yang untuk kepentingan tersebut para anggotanya sebaiknya mendirikan perkumpulan koperasi atau perusahaan dagang dan sekolah.
2)        Memajukan tingkat kehidupan sesuai dengan ketentuan Islam dan menghapuskan gambaran-gambaran yang salah mengenai Islam, serta mendorong kehidupan beragama diantara penduduk pribumi.
3)        Mengembangkan rasa persaudaraan dan gotong royong diantara para anggota.

Pertama kali dalam tigapuluh tahun lebih para santri, sebagai kekuatan politik, telah berhasil menunjukkan kekuatannya dan menghentikan campur tangan pemerintah Belanda.



F.       Santri Abangan
Menurut Clifford Greetz berpendapat abangan secara harfiah berarti “yang merah”.Istilah ini mengenai orang muslim jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintah-perintah agama islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agama.Dalam istilah abangan diterapkan pada orang desa,aitu para petani yang kurang dipengaruhi oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain diantara penduduk.Abangan sering dinamakan sebagai “agama jawa”.
           





















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari makalah ini dapatPerbedaan umum antara kedua golongan santri dan abangan dapat dilihat dalam berbagai segi mengenai ajaran dan soal-soal organisasi sosial. Diantara kaum santri perhatian terhadap ajaran Islam hampir seluruhnya mengatasi semua segi upacaranya, lagi pula mereka menegaskan ajaran Islam kedalam kehidupan, sementara para abangan rupanya acuh tak acuh terhadap ajarannya, sebaliknya lebih terpukau oleh perincian upacaranya.
Meskipun orang santri dan abangan memainkan peranan politik yang semakin penting di Jawa, maka persaingan antara kekuatan politik Islam berupa santri dengan kekuasaan politik non-religius berupa abangan menjadi salah satu faktor penentu bagi sejarah sosial dan politik Jawa di Indonesia Merdeka.
Selama awal kemerdekaan, aliran pikiran liberal, demokrat, dan sosialis menyatu dengan aliran nasionalisme dan menghasilkan perumusan oideologi yng terpaksa berhadapan dengan Islam. Sikap-sikap politik golongan santri dan abangan berbeda dibawah pengaruh ideologi-ideologi politik yang berlainan.
           









DAFTAR PUSTAKA
Abuddin, Nata.2001.Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mucharom, Zaini.2002.Islam di Jawa.Jakarta: Grand Wijaya Center.
Annual Conference on Islamic Studies X. 2010. Dinamisasi Ruang Antara Praktik Kosmologi dan Sufisme Dalam Kesenian “Sebuah Model Kearifan Lokal Komunitas Budazza Lereng Merapi”. Banjarmasin : ACIS.


[1] Abuddin Nata,Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2001,hlm. 182.

makalah tentang aliran islam


 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyaknya aliran-aliran dalam islam tak bisa dipungkiri dalam hidup ini. Nabi SAW sendiri bersabda dalam haditsnya bahwa umat islam akan terpecah menjadi beberapa golongan. Sedangkan yang masuk surga hanya satu yaitu aliran ahlussunnah wal jama’ah. Permasalahan ini tidak dapat menutup kemungkinan adanya potensi trurth claim (klaim kebenaran) pada masing-masing aliran. Sehingga masing-masing dari mereka yakin bahwa aliran mereka adalah ahlussunnah waljama’ah dan adalah aliran terbaik. Dari sinilah mulai terjadi kefanatikan aliran pada masing-masing penganut aliran yang kemudian memunculkan potensi meng-“kafir”-kan satu sama lain.
            Adanyan aliran-aliran keislaman tak bisa dipungkiri penambahannya sampai sekarang. Semakin jauh dari masa Nabi SAW. Aliran keislaman akan semakin banyak. Permasalahan ini muncul karena adanya perbedaan persepsi dan paradigma masalah point of view akan ilmu teologi yang kemudian memunculkan suatu pendapat individu yang ingin diakui oleh halayak. Mulai dari keinginan pengakuan kebenaran inilah kemudian muncul beberapa sekte yang masing-masing mengakui kebenaran paradigmanya sampai sekuat-kuatnya sehingga kefanatikan akan aliran muncul begitu saja.
            Sampai saat ini, sebenarnya keberadaan aliran-airan islam yang semakin meningkat jumlahnya kemudian menjadikan faham pluralisme benar-benar ada mempunyai satu faham dan keyakinan yang sama, yaitu penyembahan pada Allah SWT. Tetapi pertikaian antar aliran pun tak dapat dipungkiri karena kurang fahamnya masyarakat akan faham pluralism. Sehingga penyadaran masyarakat sebaiknya lebih ditekankan agar pertikaian akan aliran dapat diminimalisir.
            Dari aliran-aliran inilah kemudin dibutuhkan suatu kajian untuk mengetahui latar belakang serta segala hal yang bertautan dengan beberapa aliran kalam yang eksis di lingkungan masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    MU’TAZILAH
1.      Pengertian Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, berpisah, atau mengasingkan diri.[1] Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu menjauhi sesuatu. Seperti tertera dalam QS. An-Nisa’:90 yang berbunyi:
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
Artinya:
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
2.      Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[2]
Munculnya aliran Mu’tazilah berasal dari dialog antara Hasan al-Bashri dengan muridnya yaitu Washil bin Atha’ mengenai status orang mukmin yang berbuat dosa besar. Hasan Bashri berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin. Namun Washil bin Atho’ berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi berada di posisi di antara keduanya. kemudian Washil memisahkan diri dari halaqoh Hasan Bashri dan membuat halaqoh sendiri. Atas kejadian ini Hasan al-Bashri berkata : “i’tazala anna washil” (Washil memisahkan diri dari kita). Washil dan para pengikutnya inilah yang kemudian dikenal dengan nama golongan mu’tazilah. Golongan ini dikenal juga dengan nama ahlul adl atau ahlut tauhid wal adl (golongan yang mempertahankan keEsaan dan keadilan Tuhan).
3.      Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
a.       Washil bin Atha’
Wasil bin Atha’ adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariyah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran mu’tazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b.      Abu Huzail Al-Allaf
Abu Huzail Al-Allaf (wafat 235H), seorang pengikut Washil bin Atha’, mendirikan sekolah mu'tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran mu'tazilah dikaji dan dikembangkan.
c.       Al-Jubba’i
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan Al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariyah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu  tentang kewajiban manusi, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wajibah syar’iyah)
d.      An-Nazzam
Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim.
e.       Al-Jahiz
Al Jahiz mengusungpaham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum mu'tazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
4.      Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Mu'tazilah memiliki lima pokok ajaran yang di sebut dengan Al-Ushul Al-Khamsah, berikut penjelasannya:
a.       At-tauhid (pengesaan tuhan)
At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaEseaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat.
b.      Al-Adlu (Keadilan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Menurut mu’tazilah keadilan Tuhan mengharuskan Tuhan untuk hanya berbuat yang baik (shalah) dan terbaik (ashlah) dan bukan sebaliknya. Dan tuhan juga tidak melanggar janjiNya. Oleh karena itu Mu'tazilah juga menganut faham Qodariyah yaitu bahwa perbuatan manusia bukan diciptakan oleh Allah, karena tidak mungkin perbuatan buruk manusia disandarkan pada Allah.
c.       Al Wa’du wal Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’du wal wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjiNya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjiNya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk memberi pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.
d.      Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkan aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan pada Tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat Washil bin Atha' (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, Washil bin Atha' dan sahabatnya Amr bin Ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, Hasan al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum taubat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi berada diposisi antara keduanya. Jika ia meninggal dan belum taubat maka ia masuk ke dalam neraka dan kekal di dalamnya tetapi adzabnya lebih ringan dari adzab orang kafir.
e.       Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu anil munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu anil munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.

B.     ASY’ARIYAH
1. Sejarah Berdiri dan Perkembangan Asy’ariyah
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga     
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya.
C.    Pandangan-Pandangan Asy’ariyah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1.      Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2.      Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3.      Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4.      Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5.      Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6.      Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apapun.
7.      Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
D.    QADARIYAH
1.      Sejarah
Aliran Qodariyah lahir pada abad pertama Hijriyah, yaitu semasa Khalifah Abdul Malik Bin Marwan (Khalifah Bani Umayah), di Irak. Pimpinan dari golongan ini bernama Ma’bad Al-Juhaini Al-Bisri, dengan pembantun-pembantunya yang utama Ghilan Dimisyqi dan Ja’ad ibnu Dirham.[3]
Berhubung dengan pendapat-pendapat dan ajaran-ajaran mereka ini sangat bertentangan dengan aqidah Islam yang sebenarnya, maka oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan menjatuhkan hukuman mati terhadap Ma’bad. Sedangkan Ghilan dikenakan hukuman potong tangan dan kakinya oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Dan akhirnya diapun menemukan ajalnya di tiang gantungan. Demikian juga nasib para pemimpin mereka yang lain, semuanya mendapat hukuman mati.
2.      Prinsip-prinsip ajaran Qodariyah
Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri seseorang ataupun makhluk-makhluk yang lain adalah atas kekuasaannya sendiri secara mutlak. Tidak ada camput tangan Allah dalam masalah tersebut. Dan Allah tidak mengetahui atas segala apa yang terjadi. Mereka berpendapat atas dasar firman Allah ;
بِأَنْفُسِهِمْ مَا يُغَيِّرُوا حَتَّىٰ بِقَوْمٍ مَا يُغَيِّرُ لَا اللَّهَ إِنَّ
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akanmerubah keadaan (nasib) sesuatu kaum (seseorang) sehingga mereka (mau berusaha) merubah keadaan yang ada pada (diri) mereka itu.” (Q.S. Ar-Ra’du : 11)
Dari ayat diatas  mereka mengambil kesimpulan bahwa manusia itu mampu menentukan nasibnya sendiri secara mutlak tanpa adanya campur tangan dari Allah, contoh : nasib kaya dan miskin, pintar dan bodoh dan lain sebagainya, adalah merupakan hasil usaha dari pada usaha manusia itu sendiri.
Selain itu, mereka juga memperkuat pendapatnya dengan mengambil firman Allah, yaitu ;
 سَبِيل رَبِّهِ إِلَى اتَّخَذَ شَآءَ فَمَن اً تَذْكِرَةٌ هَـذِهِ إِنَّ
Artinya : “Sesunggunya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki (kebijakan bagi dirinya) niscaya mereka mengambil jalan (yang mendekatkan) kepada Tuhannya”. (Q.S. Al-Insan : 29).
Sayangnya, dalam memahami ayat ini, mereka tidak melihat ayat yang selanjutnya, yaitu ;
اللَّهُ يَشَآءَ أَن إِلاَّ تَشَآءُونَ وَمَا
Artinya : “dan kami tidak menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah”. (Q.S. Al-Insan : 30).
Mereka mengambil kemudian memahami ayat-ayat Alqur’an sepotong-sepotong saja dengan tidak memperhatikan aya-ayat yang selanjutnya (seolah-olah hanya ayat itu saja yang dianggap penting) demi menguatkan paham mereka sendiri, padahal mereka mengetahui itu.
Hal seperti ini yang pernah dipraktekkan oleh orang-orang PKI komunis di abad ke-20 untuk memperkuat paham atheisnya dengan memperalatkan firman Allah, sebagai contoh ayat berikut ;
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
Artinya : “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”. (Q.S. Al-Ma’un : 4)
Mereka menafsirkan ayat tersebut sesuai kepentingan mereka sendiri, yang beranggapan bahwa orang-orang yang shalat (orang beragama Islam) itu nantinya akan masuk neraka. Maka dari itu mereka berpendapat lebih tidak beragama dengan mengikuti faham mereka yang anti agama itu (PKI). Sedangkan ayat selanjutnya tidak mereka singgung, yaitu ;
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Artinya : “Orang-orang yang mendapat kecelakaan tadi yang (mana) mereka itu lalai dari (mangerjakan) shalat”. (Q.S. Al-Ma’un : 5).
Maksud dari ayat di atas, orang-orang yang shalatpun akan masuk neraka kalau mereka melalaikannya. Kita dapat memahami bahwa, kalau orang yang shalat tapi melalai kannya itu masuk neraka, apalagi yang tidak mengerjakan shalat sama sekali. Sudah pasti adzab yang akan mereka terima lebih berat. Nah, pemahaman seperti itu tidak ditanggapi oleh Qodariyah dan PKI.
3.      Akibat yang ditimbulkan dari paham Qodariyah
Aliran Qodariyah ini terlalu berlebih-lebihan dalam memahami ayat ihtiar, sehingga mereka tidak mau mengakui adanya kekuasaan Allah terhadap diri manusia. Maka hal yang sering terjadi adalah :
Kalau mereka sukses dalam usahanya, mereka akan merasa sombong dan angkhuh, bahkan merasa bahwa dirinya berkuasa atas segala hal. Akibatnya lama kelamaan mereka tidak mempercayai adanya Allah dan lebih cenderung kepada faham Atheis, yakni : Tuhan tidak ada. Secara mutlak yang berkuasa dalan manusia sepenuhnya.
Tetapi sebaliknya, kalau mereka gagal dalam usahanya, mereka akan menyesali dirinya sendiri, yang menimbulkan sifat keputusasaan yang berlebihan. Akibatnya mereka mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Padahal telah kita ketahui bahwa itu adalah dosa besar.
E.     JABARIYAH
A.    Pengertian Jabariyyah
Kata Jabariyyah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu, “Jabara” yang berarti memaksa. Dalam munjid juga dijelaskan bahwa kata “Jabara”  mengandung arti memak         sa atau mengharuskan melakukan seseuatu. Kemudian kata jabara menjadi jabariyyah (dengan menambahkan  yaa’ nisbah) yang berate suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syarastani menegaskan bahwa  paham al-Jabr berarti menghilangkan  perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT (dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dengan terpaksa).
Dalam istilah bahasaInggris Jabariyyah disebut dengan fatalism atau fredestination yaitu paham yang berpandangan bahwa perbuatan manusia sudah ditentukan sejak semula oleh qada’ dan qadar Allah SWT. Posisi manusia tidak memiliki kebebasan inisiatif sendiri, akan tetapi terkait mutlak pada kehendak Tuhan. Maka dapat disimpulkan bahwa Aliran Jabariyyah adalah aliran yang dianut oleh sekelompok orang yang memahami bahwa semua perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsure keterpaksaan atas kehendak Tuhan, dikarenakan telah ditentukan oleh qada’ dan qadar Tuhan. Jabariyyah adalah pandangan atau pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawabnya. Manusia disamakan dengan mahluk lain yang bebas dari segala petanggungjawaban atas perbuatannya. Dengan kata lain manusia seperti benda mati yang hanya bergerak dan digerakan oleh Allah, sesuai apa yang diinginkanNya. Manusia diibaratakan seperti bulu yang diterbangkan angin sesuai arah yang dikehendakiNya tanpa ada ikhtiar atau usaha dari dalam diri manusia itu sendiri.
Jabariyyah berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia.[4] Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah dan semua amal perbuatan itu berlaku dengan kodrat dan iradatNya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan manusia sendiri. Kodra dan iradat Allah lah yang membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakikatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya adalah paksaan semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula, sekalipun manusia nantinya memperoleh balasan surga atau neraka. Pembalasan surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya dan balasan kejahatan yang dilakukannya, tetapi surga dan neraka semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan iradatNya.
Sebagian pengikut Jabariyyah beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Hal ini menimbulkan paham “Wihdatul Wujud” atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai  “Manunggaling Kawulo lan Gusti”, bersatunya hamba dengan Tuhannya. Menurut paham Ahlus Sunnah, bahwa segala seseuatu memang dijadikan oleh Allah. Tetapi Allah juga menjadikan ikhtiar dan kasab bagi manusia. Suatu yang diperbuat manusia adalah pertemuan ikhtiar manusia dan takdirNya. Ikhtiar dan kasab hanya sebagai sebab saja, bukan yang mengadakan atau menciptakan seseutau.
B.     Sejarah Kemunculan aliran Jabariyyah
Aliran Jabariyyah Muncul bersamaan dengan munculnya Aliran Qadariyyah dan tampaknya merupakan reaksi daripadanya. Daerah kemunclannya juga tidak berjauhan, Aliran Qadariyyah muncul di Irak dan Aliran Jabariyyah muncul di Khurasan, Persia.[5] Aliran ini muncul kira-kira pada tahun 70 H dengan pimpinannya yang pertama adalah Jahm bin shafwan. Pengikut Al-Ja’d Ibn Dirham, orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyyah di kalangan umat Islam dan orang yang pertama kali menyatakan  barwa Al-Qur’an adalah mahluk serta meniadakan sifat-sifat Allah. Akan tetapi ia terbunuh pada tahun 124 H, sehingga perluasan paham Jabariyyah diteruskan oleh pengikutnya. Aliran jabariyyah juga disebut sebagai aliran Jahmiyah, aliran ini juga menyatakan pengingkaran terhadap ru’ya yaitu, melihat Allah SWT dengan mata kepala kelak di akhirat.  Selain itu sejarah kemunculan Aliran Jabariyyah juga dipengaruhi oleh  beberapa faktor, diantaranya:
1)      Faktor Politik
Pada awalnya, pendapat Jabariyyah diterapkan pada masa dinasti bani Ummayyah (660-750). Yaitu pada masa keamaanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian Muawiyyah dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi serangan dari Muawiyyah. Untuk memperkuat kedudukannya maka Muawiyyah bermain politik yang licik. Ia mendoktrin pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan umat Islam adalah berdasarkan “Qada’ dan Qadar Allah semata” tanpa ada campur tangan dan keterlibatan manusia sama sekali di dalamnya.
2)      Faktor Geografi
Mengenai faktor geografi para ahli sejarah mengkajinya dengan pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahra memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka terhadap alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Dengan keadaan yang demekian, bangsa Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan tersebut menjadi seperti keinginan mereka sendiri. Akhirnya mereka merasa lemah dalam mengahadapi kesukaran-kesukaran hidup dan banyak bergantung pada kehendak alam. Hal inilah yang membawa mereka pada fatalism atau paham Jabariyyah.

            Meskipun kaum Jahmiyah/jabariyyah dan Qadariyyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyyah dan Jabariyyah. Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jabariyyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-Quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala pada hari kiamat. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian pengikut Mu'tazilah adalah Jabariyyah tetapi tidak semua Jabariyyah adalah Mu'tazilah. Karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jabariyyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jabariyyah meyakininya. Akan tetapi, dalam segi-segi tertentu, Jabariyyah dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan pendapat, misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka tidak kekal, Allah tidak dapat dilihat kelak di akhirat, Al-Qur’an adalah mahluk.[6]
C.     Tokoh-Tokoh dan Doktrin Ajaran Jabariyyah
            Menurut Asy-Syahrastani, jabariyyah itu dapat dikelompokan ke dalam dua bagian yaitu: Ekstrem, dimana segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya (misalnya mencuri,perbuatan tersebut bukan terjadi atas kehendak sendiri melainkan karena qada’ dan qadar Tuhan yang menhendaki demikian) dan Moderat. Ada bebrapa tokoh dalam Aliran Jabariyyah beserta ajarannya, yaitu:
1)      Al-Jahmiyah (Jahm bin Shafwan)
     Aliran Jabariyyah Al-Syahrastani disebut dengan istilah Al-Jabariyyah Al-Khalish. Jahm bin Shafwan adalah pendiri dan pemimpin pertamanya (124 H). nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan dan bertempat tinggal di Kuffah. Ia terkenalsebagai orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama.[7] Seorang dai yang fasih dan orator yang lincah, termasuk pula seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah. Sebagai akibatanya, ia ditawan dan dibunuh oleh Muslim Ibn ahwas almazini pada tahun 131 H di akhir dinasti Bani Umayyah. Alirannya ini tersebar di Tirmiz dan di Balk
     Ia dianggap sebagai pengikut Aliran Jabariyyah murni, aliran  ini tidak menentapakan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun. Seluruh tidakan tidak boleh terlepas dari aturan, scenario, dan kehendak Tuhan. Segala akibat baik dan buruk yang diterima manusia dalam perjalanan hidupnya merupakan ketentuan dari Allah SWT, namun hal ini memperlihatkan adanya kecenderungan bahwa Tuhan lebih memperlihatkan sikapNya yang mutlak dan berbuat sekehendakNya. Hal inilah yang dapat menimbulkan kesan tidak adil jika Tuhan menyiksa orang-orang yang berbuat dosa padahal perbuatan tersebut dilakukan atas dasar kehendak dari Tuhan. Berikut adalah doktrin-doktrin yang diajarkan oleh Jahm bin Shafwan:
a.       Menurut Jahm bin Shafwan manusia dalam paham Jabariyyah sangat lemah tidak berdaya terkait dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak memiliki kemauan dan paham bebas sebagaimana paham Jabariyyah. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan lebih terkenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, melihat Tuhan di akhirat.
b.      Surga dan neraka tidak kekal, yang kekal hanyalah Allah.
c.       Iman dan mari’fat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan Murji’ah
d.      Kalam Tuhan (Al-Qur’an) adalah mahluk (Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat).
e.       Tuhan tidak dapat dilihaat ketika di akhirat.
f.       Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
g.      Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.
2)      Al-Ja’d bin Dirham
     Ja’d adalah seorang maulana hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Ia dipercaya mengajar di lingkungan Bani Umayyah, akan tetapi setelah pemikiran-pemikirannya yang kotroversial diketahui, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian ia pergi keKuffah dan bertemu dengan Jahm, yang akhirnya berhasil mentransfer pikirannya ke Jahm untuk  dikembangkan dan disebarluaskan. Ja’d dibunuh dengan cara dipancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri. Dokrin Ja’d secara umum sama dengan doktrin Jahm. Al-Ghurabi menjelaskannya sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an adlah mahluk, oleh karena itu dia baru, sesuatu yang baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b.      Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan mahluk, eperti berbicara, ,elihat, dan mendengar.
c.       Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-segalanya. Mausia bagaikan selemabar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti tajdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati.
d.      Tidak mengakui adanya sebab akibat diantara segala sesuatu terutama manusia dan perbuatannya serta kepribadiannya secara spiritual dan moral. Entah masa depannya bahagia atau sengsara.
e.       Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 164.
f.       Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut surat An-Nisa: 125.
D.    Cirri-Ciri Ajaran Jabariyyah
1)      Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2)      Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3)      Ilmu Allah bersifat Huduts (baru).
4)      Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5)      Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6)      Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7)      Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8)      Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah


BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor lahirnya pemikiran pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al - Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas. Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits.
Namun pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana penilaian sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti. Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin di lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia, dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.
Demikian yang dapat kami jabarkan mengenai aliran – aliran dalam ilmu kalam yang mungkin sebagian dari sekian banyaknya aliran – aliran yang ada, kami sangat mohon maaf jika banyak terdapat kalimat atau kata yang kurang relevan atau kurang benar meliputi materi yang telah dibahas, dan mohon untuk dapat dimaklumi. Serta kami sangat mengharapkan rujukan yang bersifat membangun menyangkut segala apa yang telah kami jabarkan dalam makalah ini sebagai bentuk pengintrofeksian diri hususnya dalam hal pemikiran dan pendapat serta kecermatan pengambilan referensi yang ada.




DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. 1996.  Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam. Jakarta : Logos Publishing House.
Husein, dkk. 1994.  Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Matdawan, M. Noor. 1992. Aqidah dan  Ilmu Pengetahuan dalam Lintas Sejarah Dinamika Budaya Manusia. Yogyakarta: Yayasan Bina Karir.
Nasir, Sahilun. 1994. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasir, Sahilun. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta : UI-Press.
Razak, Abdul. 2009. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia.







[1] Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta, Logos Publishing House,
 1996, hlm.19
[2] A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.
[3] Matdawan, Aqidah dan Ilmu Pengetahuan dalam Lintas Sejarah Dinamika Budaya Manusia, Yogyakarta, Yayasan Bina Karir, 1992, hlm. 68.
[4] Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 134
[5] Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 133
[6] Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 134
[7] Ibid.