Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS.Al-Ahzab:21)

Selasa, 24 Desember 2013

makalah tentang akulturasi islam dan budaya lokal di jawa


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Masyarakat jawa adalah masyarakat yang memiliki populasi terbesar di Indonesia dan pengaruhnya pun begitu besar bagi kehidupan bernegara di indonesia. Masyarakat jawa memegang identitas sebagai salah satu pusat perkembangan peradaban bangsa indonesia, ini dapat dilihat dari mapannya kebudayaan baik itu dalam sendi agama ataupun lainnya.
Dengan populasi terbesar di indonesia dengan sebagian besar masyarakatnya masih memegang begitu kuat tradisi lama menjadi masyarakat jawa salah satu objek kajian menarik dalam mengungkap sisi budaya, adat, dan kehidupan beragamanya. Selain itu, telah begitu banyak catatan sejarah yang menjadikan masyarakat jawa sebagai tokoh utama sejarah itu. Mulai dari sejarah perkembangan hindu-budha, penguasa nusantara pertama yaitu majapahit, islamisasi indonesia hingga pada tataran perjuangan perebutan kemerdekaan dan pengendali utama kehidupan bernegara hingga saat ini.
Tidak dapat dipungkiri masyarakat jawa menjadi hal yang dominan di negeri ini. Dengan corak sebagian besar  masyarakatnya yang mengasih memegang kuat prinsip tradisional maka masyarakat jawa masih kental dengan secratisme yang menarik untuk di pelajari khususnya akulturasinya dengan kaidah kehidupan islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan Teologis masyarakat Jawa ?
2.      Bagaimana pandangan Kosmologis dan Etis masyarakat jawa ?
3.      Apa yang dinamakan islam priyayi ?
4.      Apa yang dinamakan islam santri ?
5.      Apa yang dinamakan islam abangan ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.                PANDANGAN TEOLOGIS
Secara teologis aliran teologi islam yang paling banyak berkembang di Indonesia khususnya jawa sejak awal perkembangan islam adalah aliran teologis Asy’ariyah. Aliran ini adalah aliran yang paling banyak di anut oleh kaum muslim di dunia yang berlandaskan ahlussunah wal jama’ah. Selain teologi ini berkembang pula teologi-teologi lainnya seperti aliran Mu’tazilah namun, teologi ini dalam perkembangannya setelah tidak dijadikan lagi sebagai teologi resmi dinasti Abbasiyah banyak ditinggalkan orang karena terlalu mengedepankan kebebasan berpikir dan berkarya. Teologi Asy’ariyah menekankan ketundukan manusia kepada takdir yangtelah ditetapkan tuhan sejak zaman azali. Meskipun manusia memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginan dan perbuatannya, tetapi perwujudannya tergantung kehendak tuhan.

Teologi Asy’ariyah semakin popular ketika sejumlah ulama banyak yang belajar agama ke timur tengah, terutama di makkah dan madinah kembali lagi keindonesia pada abad ke-17. Mereka mempelajari dan mengikuti aliran teologi Asy’ariyah yang kemudian diajarkan ke Indonesia melalui kitab-kitab yang ditulis oleh mereka kemudian disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia termasuk jawa, melalui dakwah dan pengajaran dilembaga pendidikan.
di Indonesia, perubahan atau pergeseran dari pandangan teologis Asyariah itu dimulai sejak abad ke 18. sejak abad ke 17 mulai berkembang paham neosufisme, yang disebarkan oleh ulama-ulama Indonesia yang baru kembali menuntut ilmu di timur tengah. Yang paling terkenal di antara ulama ini adalah Nur al-Din al Ranriri, Abd al-Ra’uf Singkili (keduanya menjadi multi di Kesultanan Aceh), dan Muhammad Yusuf al-Maqassari (menjadi mufti di Kesultanan Banten). Neosufisme yang mereka anut yang telah dimurnikan dari praktek-praktek yang eksesif dan antinomian, sehingga menjadi lebih selaras dengan tuntunan hukum Islam (syariah atau fiqh).
Teologi jihad yang lain adalah gerakan Diponegoro yang memunculkan perang jawa (1825-1830). teologi jihad melawan colonialis Belanda yang dimunculkan Diponegoro ini berbau sufistik, mahdiis, dan mesianis. Pangeran Diponegoro telah mengalami semacam intensifikasi keislaman dan kesufian melalui pengembaraannya dari satu pesantren ke pesantren lain, menyatakan diri sebagai sultan ngabdulhamid Herucakra Kabiril Mukminin Kalipatullah ing Tanah jawa sayyidin pantogomo, penegak kembali agama Islam di jawa, dan sekaligus sebagai Ratu Adil yang bertugas untuk melenyapakan kekacauan, ketidakadilan, dan penindasan yang dialami kaum muslim di jawa.Teologi radikal lainnya juga muncul dari Syekh Ahmad Rifai, dari Kalisalak, Pekalongan, pada abad ke 19. Setelah belajar belasan tahun di Mekkah, Ahmad Rifai kembali ke desanya. Di sini, ia mengembangkan teologi dan ajaran radikal. Ia dan pengikutnya ‘hijrah’ dari kaum muslim lain dengan membentuk kelompok yang kemudian dikenal sebagai kelompok ‘santri tarjumlah’. Ahmad Rifai sangat tidak setuju adanya penghulu, yakni pejabat agama yang diangkat Belanda untuk mengelola urusan-urusan keagamaan kaum muslim. Menurut Ahmad Rifai tidak sah berimam kepada penghulu yang diangkat oleh penguasa non muslim. Dan tidak sah pula melakukan perkawinan melalui penghulu dan, sebagai konsekuensinya, pernikahan yang dilakukan melalui penghulu harus diulangi kembali. Namun, karena kewaspadaan pemerintah kolonial Belanda inilahyang membuat gerakan initidak berkembang.Jika dilihat semua kasus diatas lebih condong ke teologi khawarij karena lebih menekankan pada kekerasan baik muslim maupun non-muslim yang berbeda pandangan. para pelaku yang terlibat dalam gerakan-gerakan tersebut mungkin menganggap, bahwa mereka tetap berpegang kepada teologi Asyariah, tetapi aktivitas dan gerakan mereka menunjukkan terjadinya pergeseran dari teologi Asy’ariah.
B.     PANDANGAN KOSMOLOGI
Kosmologi adalah ilmu yang berkaitan dengan struktur alam semesta dan kaitan antara ruang dan waktu. Pandangan kosmologi berarti persepsi yang mengaitkan fenomena alam yang di jadikan sebagai suatu keyakinan hubungan  antara alam dan kehidupan.
Masyakarat jawa adalah masyarakat yang memegang kuat prinsip tradisional pemikiran dan persepsi ini dapat dilihat dari kuatnya pengaruh persepsi tradisional dalam kehidupan masyarakatnya. Salah satu persepsi tumbuh mengakar ialah mengenai alam dan hubungannya dengan agama. sebagaimana kita ketahui masyarakat jawa telah memiliki pandangan  hidup yang mapan terutama dalam bidang keagamaan. Jauh sebelum islam datang dan pada masa pra-hindu masyarakat jawa telah memegang keyakinan akan kekuatan adikodrati dalam bentuk kekuatan alam. Keyakinan ini telah mengakar dengan begitu kuat dan menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat jawa serta berasimilasi dengan budaya hindu-budha.
Ketika islam sebagai agama baru singgah pertama kali maka tantangan terbesar dalam proses islamisasi adalah bagaimana mengakulturasi budaya jawa dengan sentuhan prinsip ajaran islam, maka strategi dakwah yang paling memungkinkan adalah dengan pendekatan dan adaptasi islam pada budaya jawa. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana para Wali berdakwah yaitu dengan media budaya khas jawa. Maka pandangan kosmologi khas jawa yang telah mengakar tetap bertahan dan mendapat sentuhan ajaran islam.
Berikut beberapa contoh pandanngan kosmologi masyarakat jawa :
1.              Jagat raya merupakan kesatuan yang harmonis antara jagat gede (alam semesta) dan jagat cilik (alam manusia) dan untuk menjaga keharmonisa ini maka masyarakat sebagai jagat cilik selalu mengadakan upacara ruwatan.
2.              Gunung menjadi simbol kekuatan adikodrati dan sebagai simbol keramahan Tuhan dan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat suku tengger Bromo melakukan upacara Yadha Kusada.
3.              Laut selatan merupakan tempat berkuasanya Nyi Roro Kidul dan sebagai rasa syukur diadakan upacara Larung Sesaji.

C.     PANDANGAN ETIS
Etis atau etika berasala dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti sikap yang menjadi kebiasaan dalam kamus besar bahasa indonesia etika berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta berkaitan dengan hak dan kewajiban.Masyarakat jawa adalah masyarakat yang benar-benar menjunjung tinggi etika dalam setiap interaksi kehidupan. Etika masyarakat jawa bukan tumbuh berasal dari kebudayaan islam, melainkan telah ada dan berkembang dari masa pra-Hindu. Masyarakat jawa memegang dengan kuat prinsip beretika dalam setiap interkasi karena prinsip inilah yang menjadi kunci kerukunan dan kesatuan masyarakata jawa.

Sama halnya seperti pandang kosmologi, pandangan etis pun menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun strategi dakwah para wali. Akulturasi budaya lokal jawa dengan kaidah keislaman menjadi strategi ampuh dalam proses islamisasi masyarakat jawa. Pandangan etis yang menjadi ciri khas dan identitas masyarakat jawa merupakan etika moral berkehidupan sekaligus menjadi simbol akan jatidiri masyarakat jawa.

berikut beberapa contoh pandangan etis masyarakat jawa yang berakulturasi dengan kaidah keislaman:
1.             Masyarakat jawa sangat menghormati orang yang lebih tua terutama kepada orang tua maka dalam prosesi pernikahan selalu diadakan sungkeman
2.             Masyarakat jawa sangat menjunjung tinggi rasa saling memaafkan maka dalam perayaan hari raya idul fitri disimbolkan dengan ketupat (kupat dalam bahasa jawa yang berarti ngaku lepat)
3.             Masyarakat jawa sangat mengutamakan kerukunan dan kebersamaan dalam setiap kehidupan sosial. Pandangan ini kemudian di simbolkan dalam upacara nyadran, gunungan, grebegan.

D.    ISLAM PRIYAYI
1.      Pengertian Priyayi
Secara etimologi kata priyayi berasal dari dua kata dalam bahasa jawa, yaitu para dan yayi yang artinya para adik. Para adik yang dimaksud adalah para adik raja. Dalam kebudayaan jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu pada golongan bangsawan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, priyayi adalah orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat.
Namun sekarang, seorang priyayi tidak selalu orang kaya ataupun bangsawan yang berada pada tingkat sosial yang atas. Saat ini, seseorang yang berwibawa, bertutur kata dengan baik dan memiliki sopan santun sudah bisa disebut sebagai seorang priyayi. Seorang priyayi memiliki pengaruh tertentu kepada masyarakat sekitarnya. Kiprahnya dapat dijadikan panutan bagi sebagian orang serta dengan tutur katanya yang sopan santun membuat mereka lebih dihargai dan disegani dalam masyarakat. Sebagian priyayi ada juga yang menjadi ustadz yang merupakan tokoh yang dijadikan sebagai panutan dalam agama Islam. Dapat dikatakan bahwa seorang santri adalah priyayi, namun seorang priyayi tidak selalu santri.

2.      Islam Priyayi
Islam priyayi adalah paham ke-Islam-an yang dianut oleh para aristokrat.[1]Priyayi asal mulanya hanya diistilahkan bagi kalangan aristokrasi (sebuah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh individu terbaik) yang oleh belanda dipilih dari raja-raja pribumi yang ditaklukkan kemudian diangkat menjadi pegawai sipil yang digaji. Elit pegawai ini yang ujung akarnya terletak pada kraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket kraton yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, sandiwara, musik dan sastra, dan mistisme hindu budha. Islam Priyayi tidak menekankan pada elemen animistis jawa yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tidak pula menekankan pada elemen Islam seperti kaum santri, tetapi menitikberatkan pada elemen Hinduisme.
Kelompok priyayiini, umumnya juga memeluk agama formal, meskipun tentu saja di antara mereka ada yang memeluk kebatinan. Mereka yang memeluk kebatinan atau agama Jawi sama sekali longgar dengan ritus-ritus Islam. Sedangkan mereka  yang formalnya Islam, ternyata juga sama seperti kaum dalam abangan yaitu juga longgar dengan ritus-ritus Islam.


E.      ISLAM SANTRI
1.      Santri golongan sosio-religius
Sebelum membahas pengertian santri dan abangan sebagai golongan-golongan sosio religius, hendaknya orang lebih dulu memperhatikan hubungan yang sangat mendasar antara agama dan masyarakat. Diantara ikatan yang akan menambah keterpaduan sosial bagi suatu kelompok adalah agama.
Keberadaan satuan atau golongan sosio-religius seperti santri disebabkan dan didasarkan pada sikap religius para anggotanya. Dalam hal ini, satu sikap golongan yang diungkapkan dalam sebuah satuan sosial ditentukan oleh dua faktor; yang pertama, peranan tradisi yang berubah dan berkembang sesuai dengan zaman;kedua, penghayatan sesuatu yang suci sebagai dasar untuk sikap religius, apakah secara perseorangan atau secara bersama.
2.      Golongan Santri dalam Stratifikasi Sosial Jawa
Sejauh kita memperhatikan kehidupan suatu komunitas dapat diketahui bahwa stratifiksi suatu masyarakat mungkin tampak tajam, pasti, dan mantap. Berdasarkan penelitian lapangan di Mojokerto, Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi 3 jenis budayawi utama, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Ia membuat perbedaan antara ajaran-ajaran religius. Para santri dikaitkan dengan para pedagang-pedagang di daerah-daerah yang lebih bersifat kota. Istilah santri diterapkan pada kebudayaan para muslimin yang memegang peraturan agama dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam perkampungan dekat dengan masjid.
Berbeda dengan stratifikasi sosial secara horisontal, ada pula klasifikasi masyarakat Jawa yang didasarkan pada ukuran sampai dimana kebaktian agama Islamnya atau ukuran kepatuhan seseorang dalam mengamalkan syariat. Terdapat santri, orang muslim saleh yang memeluk agam Islam dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti menjalankan perintah-perintah agama Islam sebagaimana yang diketahuinya, sambil berusaha membersihkan akidahnya dari syirik yang terdapat didaerahnya. Seorang santri lebih religius dari seorang abangan.
Istilah santri yang mula-mula dan biasanya memang dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam, merupakan perubahan bentuk dari kata Indiashastri yang berarti orang yang tahu kitab-kitab suci. Adapun kata shastri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab suci, atau karya keagamaan atau karya ilmiah. Dalam hubungan ini, kata Jawa pesantren, yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran –an, berarti sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa muslim sebagai model sekolah agama Islam di Jawa.
Para santri lebih memperhatikan ajaran Islam dibandingkan upacaranya. Iman dan amal shaleh melakukan shalat sehari-hari dan shalat Jum’at terbatas pada santri. Pendidikan awal dan dasar dalam agama untuk keluarga semula diberikan selama sepuluh tahun pertama dalam kehidupan anak santri. Sering anak itu mengunjungi seorang guru yang menggunakan rumahnya atau langgarnya sebagai sekolah. Tujuannya pertama-tama adalah belajar membaca dan mengaji al-qur’an. Disamping itu, juga murid-murid juga diberi pelajaran shalat.
Dalam pesantren tradisional, santri tinggal bersama kiyainya yang memberikan sandang pangan kepadanya sambil membimbingnya memasuki ajaran-ajaran rahasia. Sebagai balasan, santri patuh kepada kiyai tanpa syarat dan melayaninya dengan membantu mengerjakan tananhnya atau dengan menjalankan tugas lain mana pun yang dapat dibebankan kepadanya oleh kiyai.
Pesantren pada awal masa berdirinya merupakan pranata keagamaan tradisional yang terbaik guna mempersiapkan pemuda yang sedang muncul dalam masyarakat. Biasanya pesantren terletak di luar paguyuban. Pengasingan secara jasmani ini sebagai perlambang menggambarkan pengunduran diri para santri dari masyarakat. Kesederhanaan adalah pengungkapan kesadaran batin dalam bentuk pengunduran diri santri dari ikatan dan tata tingkat masyarakat Jawa yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan keraton.
3.      Para Santri dan Kelahiran Partai-partai Politik
Dalam membahas golongan santri sebagai kekuatan-kekuatan sosial politik di indonesia masa kini, khususnya di Jawa, perlulah orang meninjau zaman terakhir kekuasaan penjajahan Belanda di Indonesia yang ditandai oleh pertumbuhan cepat kesadaran diri secara politik sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak pendidikan gaya Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam dari Mesir. Zaman itulah yang disebut masa kebangkitan nasional yang dimulai pada pergantian abad. Akibat situasi ini timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan munculnya pemikir-pemikir politik yag sadar diri.
Pentingnya arti santri secara politis pada dasarnya berasal dari kenyataan bahwa dalam Islam batas antara agama dengan politik tipis sekali. Islam adalah agama sekaligus sebagai pandangan hidup.
Selama zaman penjajahan Belanda kewibawaan rohani para santri yang paling menonjol adalah kiyai dan ulama yang menolak menjadi alat kekuasaan kerajaan atau penguasa penjajahan Belanda. Mereka penentang pemerintahan sekuler dan dianggap oleh penguasa sekuler sebagai pengacau.
Para santri membanggakan diri atas kenyataan bahwa gerakan nasional modern pertama yang diorganisasi di Indonesia pada pergantian abad ke-20 telah dipelopori oleh Sarekat Islam, dibawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Perserikatan ini timbul dari pendahulunya, Sarekat Dagang Islam yang didirikan pada tahun 1911 oleh Haji Samanhudi, seorang saudagar dan produsen batik Jawa yang terkemuka di Surakarta. Tujuan sarekat tersebut adalah
1)        Mendorong minat penduduk pribumi terhadap pertanian, perdagangan, kerajinan, kesehatan, dan pendidikan, yang untuk kepentingan tersebut para anggotanya sebaiknya mendirikan perkumpulan koperasi atau perusahaan dagang dan sekolah.
2)        Memajukan tingkat kehidupan sesuai dengan ketentuan Islam dan menghapuskan gambaran-gambaran yang salah mengenai Islam, serta mendorong kehidupan beragama diantara penduduk pribumi.
3)        Mengembangkan rasa persaudaraan dan gotong royong diantara para anggota.

Pertama kali dalam tigapuluh tahun lebih para santri, sebagai kekuatan politik, telah berhasil menunjukkan kekuatannya dan menghentikan campur tangan pemerintah Belanda.



F.       Santri Abangan
Menurut Clifford Greetz berpendapat abangan secara harfiah berarti “yang merah”.Istilah ini mengenai orang muslim jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintah-perintah agama islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agama.Dalam istilah abangan diterapkan pada orang desa,aitu para petani yang kurang dipengaruhi oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain diantara penduduk.Abangan sering dinamakan sebagai “agama jawa”.
           





















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari makalah ini dapatPerbedaan umum antara kedua golongan santri dan abangan dapat dilihat dalam berbagai segi mengenai ajaran dan soal-soal organisasi sosial. Diantara kaum santri perhatian terhadap ajaran Islam hampir seluruhnya mengatasi semua segi upacaranya, lagi pula mereka menegaskan ajaran Islam kedalam kehidupan, sementara para abangan rupanya acuh tak acuh terhadap ajarannya, sebaliknya lebih terpukau oleh perincian upacaranya.
Meskipun orang santri dan abangan memainkan peranan politik yang semakin penting di Jawa, maka persaingan antara kekuatan politik Islam berupa santri dengan kekuasaan politik non-religius berupa abangan menjadi salah satu faktor penentu bagi sejarah sosial dan politik Jawa di Indonesia Merdeka.
Selama awal kemerdekaan, aliran pikiran liberal, demokrat, dan sosialis menyatu dengan aliran nasionalisme dan menghasilkan perumusan oideologi yng terpaksa berhadapan dengan Islam. Sikap-sikap politik golongan santri dan abangan berbeda dibawah pengaruh ideologi-ideologi politik yang berlainan.
           









DAFTAR PUSTAKA
Abuddin, Nata.2001.Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mucharom, Zaini.2002.Islam di Jawa.Jakarta: Grand Wijaya Center.
Annual Conference on Islamic Studies X. 2010. Dinamisasi Ruang Antara Praktik Kosmologi dan Sufisme Dalam Kesenian “Sebuah Model Kearifan Lokal Komunitas Budazza Lereng Merapi”. Banjarmasin : ACIS.


[1] Abuddin Nata,Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2001,hlm. 182.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar