Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS.Al-Ahzab:21)

Selasa, 24 Desember 2013

makalah tentang aliran islam


 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyaknya aliran-aliran dalam islam tak bisa dipungkiri dalam hidup ini. Nabi SAW sendiri bersabda dalam haditsnya bahwa umat islam akan terpecah menjadi beberapa golongan. Sedangkan yang masuk surga hanya satu yaitu aliran ahlussunnah wal jama’ah. Permasalahan ini tidak dapat menutup kemungkinan adanya potensi trurth claim (klaim kebenaran) pada masing-masing aliran. Sehingga masing-masing dari mereka yakin bahwa aliran mereka adalah ahlussunnah waljama’ah dan adalah aliran terbaik. Dari sinilah mulai terjadi kefanatikan aliran pada masing-masing penganut aliran yang kemudian memunculkan potensi meng-“kafir”-kan satu sama lain.
            Adanyan aliran-aliran keislaman tak bisa dipungkiri penambahannya sampai sekarang. Semakin jauh dari masa Nabi SAW. Aliran keislaman akan semakin banyak. Permasalahan ini muncul karena adanya perbedaan persepsi dan paradigma masalah point of view akan ilmu teologi yang kemudian memunculkan suatu pendapat individu yang ingin diakui oleh halayak. Mulai dari keinginan pengakuan kebenaran inilah kemudian muncul beberapa sekte yang masing-masing mengakui kebenaran paradigmanya sampai sekuat-kuatnya sehingga kefanatikan akan aliran muncul begitu saja.
            Sampai saat ini, sebenarnya keberadaan aliran-airan islam yang semakin meningkat jumlahnya kemudian menjadikan faham pluralisme benar-benar ada mempunyai satu faham dan keyakinan yang sama, yaitu penyembahan pada Allah SWT. Tetapi pertikaian antar aliran pun tak dapat dipungkiri karena kurang fahamnya masyarakat akan faham pluralism. Sehingga penyadaran masyarakat sebaiknya lebih ditekankan agar pertikaian akan aliran dapat diminimalisir.
            Dari aliran-aliran inilah kemudin dibutuhkan suatu kajian untuk mengetahui latar belakang serta segala hal yang bertautan dengan beberapa aliran kalam yang eksis di lingkungan masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    MU’TAZILAH
1.      Pengertian Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, berpisah, atau mengasingkan diri.[1] Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu menjauhi sesuatu. Seperti tertera dalam QS. An-Nisa’:90 yang berbunyi:
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
Artinya:
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
2.      Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[2]
Munculnya aliran Mu’tazilah berasal dari dialog antara Hasan al-Bashri dengan muridnya yaitu Washil bin Atha’ mengenai status orang mukmin yang berbuat dosa besar. Hasan Bashri berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin. Namun Washil bin Atho’ berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi berada di posisi di antara keduanya. kemudian Washil memisahkan diri dari halaqoh Hasan Bashri dan membuat halaqoh sendiri. Atas kejadian ini Hasan al-Bashri berkata : “i’tazala anna washil” (Washil memisahkan diri dari kita). Washil dan para pengikutnya inilah yang kemudian dikenal dengan nama golongan mu’tazilah. Golongan ini dikenal juga dengan nama ahlul adl atau ahlut tauhid wal adl (golongan yang mempertahankan keEsaan dan keadilan Tuhan).
3.      Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
a.       Washil bin Atha’
Wasil bin Atha’ adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariyah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran mu’tazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b.      Abu Huzail Al-Allaf
Abu Huzail Al-Allaf (wafat 235H), seorang pengikut Washil bin Atha’, mendirikan sekolah mu'tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran mu'tazilah dikaji dan dikembangkan.
c.       Al-Jubba’i
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan Al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariyah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu  tentang kewajiban manusi, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wajibah syar’iyah)
d.      An-Nazzam
Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim.
e.       Al-Jahiz
Al Jahiz mengusungpaham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum mu'tazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
4.      Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Mu'tazilah memiliki lima pokok ajaran yang di sebut dengan Al-Ushul Al-Khamsah, berikut penjelasannya:
a.       At-tauhid (pengesaan tuhan)
At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaEseaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat.
b.      Al-Adlu (Keadilan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Menurut mu’tazilah keadilan Tuhan mengharuskan Tuhan untuk hanya berbuat yang baik (shalah) dan terbaik (ashlah) dan bukan sebaliknya. Dan tuhan juga tidak melanggar janjiNya. Oleh karena itu Mu'tazilah juga menganut faham Qodariyah yaitu bahwa perbuatan manusia bukan diciptakan oleh Allah, karena tidak mungkin perbuatan buruk manusia disandarkan pada Allah.
c.       Al Wa’du wal Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’du wal wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjiNya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjiNya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk memberi pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.
d.      Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkan aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan pada Tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat Washil bin Atha' (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, Washil bin Atha' dan sahabatnya Amr bin Ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, Hasan al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum taubat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi berada diposisi antara keduanya. Jika ia meninggal dan belum taubat maka ia masuk ke dalam neraka dan kekal di dalamnya tetapi adzabnya lebih ringan dari adzab orang kafir.
e.       Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu anil munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu anil munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.

B.     ASY’ARIYAH
1. Sejarah Berdiri dan Perkembangan Asy’ariyah
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga     
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya.
C.    Pandangan-Pandangan Asy’ariyah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1.      Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2.      Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3.      Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4.      Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5.      Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6.      Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apapun.
7.      Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
D.    QADARIYAH
1.      Sejarah
Aliran Qodariyah lahir pada abad pertama Hijriyah, yaitu semasa Khalifah Abdul Malik Bin Marwan (Khalifah Bani Umayah), di Irak. Pimpinan dari golongan ini bernama Ma’bad Al-Juhaini Al-Bisri, dengan pembantun-pembantunya yang utama Ghilan Dimisyqi dan Ja’ad ibnu Dirham.[3]
Berhubung dengan pendapat-pendapat dan ajaran-ajaran mereka ini sangat bertentangan dengan aqidah Islam yang sebenarnya, maka oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan menjatuhkan hukuman mati terhadap Ma’bad. Sedangkan Ghilan dikenakan hukuman potong tangan dan kakinya oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Dan akhirnya diapun menemukan ajalnya di tiang gantungan. Demikian juga nasib para pemimpin mereka yang lain, semuanya mendapat hukuman mati.
2.      Prinsip-prinsip ajaran Qodariyah
Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri seseorang ataupun makhluk-makhluk yang lain adalah atas kekuasaannya sendiri secara mutlak. Tidak ada camput tangan Allah dalam masalah tersebut. Dan Allah tidak mengetahui atas segala apa yang terjadi. Mereka berpendapat atas dasar firman Allah ;
بِأَنْفُسِهِمْ مَا يُغَيِّرُوا حَتَّىٰ بِقَوْمٍ مَا يُغَيِّرُ لَا اللَّهَ إِنَّ
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akanmerubah keadaan (nasib) sesuatu kaum (seseorang) sehingga mereka (mau berusaha) merubah keadaan yang ada pada (diri) mereka itu.” (Q.S. Ar-Ra’du : 11)
Dari ayat diatas  mereka mengambil kesimpulan bahwa manusia itu mampu menentukan nasibnya sendiri secara mutlak tanpa adanya campur tangan dari Allah, contoh : nasib kaya dan miskin, pintar dan bodoh dan lain sebagainya, adalah merupakan hasil usaha dari pada usaha manusia itu sendiri.
Selain itu, mereka juga memperkuat pendapatnya dengan mengambil firman Allah, yaitu ;
 سَبِيل رَبِّهِ إِلَى اتَّخَذَ شَآءَ فَمَن اً تَذْكِرَةٌ هَـذِهِ إِنَّ
Artinya : “Sesunggunya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki (kebijakan bagi dirinya) niscaya mereka mengambil jalan (yang mendekatkan) kepada Tuhannya”. (Q.S. Al-Insan : 29).
Sayangnya, dalam memahami ayat ini, mereka tidak melihat ayat yang selanjutnya, yaitu ;
اللَّهُ يَشَآءَ أَن إِلاَّ تَشَآءُونَ وَمَا
Artinya : “dan kami tidak menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah”. (Q.S. Al-Insan : 30).
Mereka mengambil kemudian memahami ayat-ayat Alqur’an sepotong-sepotong saja dengan tidak memperhatikan aya-ayat yang selanjutnya (seolah-olah hanya ayat itu saja yang dianggap penting) demi menguatkan paham mereka sendiri, padahal mereka mengetahui itu.
Hal seperti ini yang pernah dipraktekkan oleh orang-orang PKI komunis di abad ke-20 untuk memperkuat paham atheisnya dengan memperalatkan firman Allah, sebagai contoh ayat berikut ;
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
Artinya : “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”. (Q.S. Al-Ma’un : 4)
Mereka menafsirkan ayat tersebut sesuai kepentingan mereka sendiri, yang beranggapan bahwa orang-orang yang shalat (orang beragama Islam) itu nantinya akan masuk neraka. Maka dari itu mereka berpendapat lebih tidak beragama dengan mengikuti faham mereka yang anti agama itu (PKI). Sedangkan ayat selanjutnya tidak mereka singgung, yaitu ;
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Artinya : “Orang-orang yang mendapat kecelakaan tadi yang (mana) mereka itu lalai dari (mangerjakan) shalat”. (Q.S. Al-Ma’un : 5).
Maksud dari ayat di atas, orang-orang yang shalatpun akan masuk neraka kalau mereka melalaikannya. Kita dapat memahami bahwa, kalau orang yang shalat tapi melalai kannya itu masuk neraka, apalagi yang tidak mengerjakan shalat sama sekali. Sudah pasti adzab yang akan mereka terima lebih berat. Nah, pemahaman seperti itu tidak ditanggapi oleh Qodariyah dan PKI.
3.      Akibat yang ditimbulkan dari paham Qodariyah
Aliran Qodariyah ini terlalu berlebih-lebihan dalam memahami ayat ihtiar, sehingga mereka tidak mau mengakui adanya kekuasaan Allah terhadap diri manusia. Maka hal yang sering terjadi adalah :
Kalau mereka sukses dalam usahanya, mereka akan merasa sombong dan angkhuh, bahkan merasa bahwa dirinya berkuasa atas segala hal. Akibatnya lama kelamaan mereka tidak mempercayai adanya Allah dan lebih cenderung kepada faham Atheis, yakni : Tuhan tidak ada. Secara mutlak yang berkuasa dalan manusia sepenuhnya.
Tetapi sebaliknya, kalau mereka gagal dalam usahanya, mereka akan menyesali dirinya sendiri, yang menimbulkan sifat keputusasaan yang berlebihan. Akibatnya mereka mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Padahal telah kita ketahui bahwa itu adalah dosa besar.
E.     JABARIYAH
A.    Pengertian Jabariyyah
Kata Jabariyyah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu, “Jabara” yang berarti memaksa. Dalam munjid juga dijelaskan bahwa kata “Jabara”  mengandung arti memak         sa atau mengharuskan melakukan seseuatu. Kemudian kata jabara menjadi jabariyyah (dengan menambahkan  yaa’ nisbah) yang berate suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syarastani menegaskan bahwa  paham al-Jabr berarti menghilangkan  perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT (dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dengan terpaksa).
Dalam istilah bahasaInggris Jabariyyah disebut dengan fatalism atau fredestination yaitu paham yang berpandangan bahwa perbuatan manusia sudah ditentukan sejak semula oleh qada’ dan qadar Allah SWT. Posisi manusia tidak memiliki kebebasan inisiatif sendiri, akan tetapi terkait mutlak pada kehendak Tuhan. Maka dapat disimpulkan bahwa Aliran Jabariyyah adalah aliran yang dianut oleh sekelompok orang yang memahami bahwa semua perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsure keterpaksaan atas kehendak Tuhan, dikarenakan telah ditentukan oleh qada’ dan qadar Tuhan. Jabariyyah adalah pandangan atau pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawabnya. Manusia disamakan dengan mahluk lain yang bebas dari segala petanggungjawaban atas perbuatannya. Dengan kata lain manusia seperti benda mati yang hanya bergerak dan digerakan oleh Allah, sesuai apa yang diinginkanNya. Manusia diibaratakan seperti bulu yang diterbangkan angin sesuai arah yang dikehendakiNya tanpa ada ikhtiar atau usaha dari dalam diri manusia itu sendiri.
Jabariyyah berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia.[4] Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah dan semua amal perbuatan itu berlaku dengan kodrat dan iradatNya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan manusia sendiri. Kodra dan iradat Allah lah yang membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakikatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya adalah paksaan semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula, sekalipun manusia nantinya memperoleh balasan surga atau neraka. Pembalasan surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya dan balasan kejahatan yang dilakukannya, tetapi surga dan neraka semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan iradatNya.
Sebagian pengikut Jabariyyah beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Hal ini menimbulkan paham “Wihdatul Wujud” atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai  “Manunggaling Kawulo lan Gusti”, bersatunya hamba dengan Tuhannya. Menurut paham Ahlus Sunnah, bahwa segala seseuatu memang dijadikan oleh Allah. Tetapi Allah juga menjadikan ikhtiar dan kasab bagi manusia. Suatu yang diperbuat manusia adalah pertemuan ikhtiar manusia dan takdirNya. Ikhtiar dan kasab hanya sebagai sebab saja, bukan yang mengadakan atau menciptakan seseutau.
B.     Sejarah Kemunculan aliran Jabariyyah
Aliran Jabariyyah Muncul bersamaan dengan munculnya Aliran Qadariyyah dan tampaknya merupakan reaksi daripadanya. Daerah kemunclannya juga tidak berjauhan, Aliran Qadariyyah muncul di Irak dan Aliran Jabariyyah muncul di Khurasan, Persia.[5] Aliran ini muncul kira-kira pada tahun 70 H dengan pimpinannya yang pertama adalah Jahm bin shafwan. Pengikut Al-Ja’d Ibn Dirham, orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyyah di kalangan umat Islam dan orang yang pertama kali menyatakan  barwa Al-Qur’an adalah mahluk serta meniadakan sifat-sifat Allah. Akan tetapi ia terbunuh pada tahun 124 H, sehingga perluasan paham Jabariyyah diteruskan oleh pengikutnya. Aliran jabariyyah juga disebut sebagai aliran Jahmiyah, aliran ini juga menyatakan pengingkaran terhadap ru’ya yaitu, melihat Allah SWT dengan mata kepala kelak di akhirat.  Selain itu sejarah kemunculan Aliran Jabariyyah juga dipengaruhi oleh  beberapa faktor, diantaranya:
1)      Faktor Politik
Pada awalnya, pendapat Jabariyyah diterapkan pada masa dinasti bani Ummayyah (660-750). Yaitu pada masa keamaanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian Muawiyyah dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi serangan dari Muawiyyah. Untuk memperkuat kedudukannya maka Muawiyyah bermain politik yang licik. Ia mendoktrin pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan umat Islam adalah berdasarkan “Qada’ dan Qadar Allah semata” tanpa ada campur tangan dan keterlibatan manusia sama sekali di dalamnya.
2)      Faktor Geografi
Mengenai faktor geografi para ahli sejarah mengkajinya dengan pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahra memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka terhadap alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Dengan keadaan yang demekian, bangsa Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan tersebut menjadi seperti keinginan mereka sendiri. Akhirnya mereka merasa lemah dalam mengahadapi kesukaran-kesukaran hidup dan banyak bergantung pada kehendak alam. Hal inilah yang membawa mereka pada fatalism atau paham Jabariyyah.

            Meskipun kaum Jahmiyah/jabariyyah dan Qadariyyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyyah dan Jabariyyah. Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jabariyyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-Quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala pada hari kiamat. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian pengikut Mu'tazilah adalah Jabariyyah tetapi tidak semua Jabariyyah adalah Mu'tazilah. Karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jabariyyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jabariyyah meyakininya. Akan tetapi, dalam segi-segi tertentu, Jabariyyah dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan pendapat, misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka tidak kekal, Allah tidak dapat dilihat kelak di akhirat, Al-Qur’an adalah mahluk.[6]
C.     Tokoh-Tokoh dan Doktrin Ajaran Jabariyyah
            Menurut Asy-Syahrastani, jabariyyah itu dapat dikelompokan ke dalam dua bagian yaitu: Ekstrem, dimana segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya (misalnya mencuri,perbuatan tersebut bukan terjadi atas kehendak sendiri melainkan karena qada’ dan qadar Tuhan yang menhendaki demikian) dan Moderat. Ada bebrapa tokoh dalam Aliran Jabariyyah beserta ajarannya, yaitu:
1)      Al-Jahmiyah (Jahm bin Shafwan)
     Aliran Jabariyyah Al-Syahrastani disebut dengan istilah Al-Jabariyyah Al-Khalish. Jahm bin Shafwan adalah pendiri dan pemimpin pertamanya (124 H). nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan dan bertempat tinggal di Kuffah. Ia terkenalsebagai orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama.[7] Seorang dai yang fasih dan orator yang lincah, termasuk pula seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah. Sebagai akibatanya, ia ditawan dan dibunuh oleh Muslim Ibn ahwas almazini pada tahun 131 H di akhir dinasti Bani Umayyah. Alirannya ini tersebar di Tirmiz dan di Balk
     Ia dianggap sebagai pengikut Aliran Jabariyyah murni, aliran  ini tidak menentapakan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun. Seluruh tidakan tidak boleh terlepas dari aturan, scenario, dan kehendak Tuhan. Segala akibat baik dan buruk yang diterima manusia dalam perjalanan hidupnya merupakan ketentuan dari Allah SWT, namun hal ini memperlihatkan adanya kecenderungan bahwa Tuhan lebih memperlihatkan sikapNya yang mutlak dan berbuat sekehendakNya. Hal inilah yang dapat menimbulkan kesan tidak adil jika Tuhan menyiksa orang-orang yang berbuat dosa padahal perbuatan tersebut dilakukan atas dasar kehendak dari Tuhan. Berikut adalah doktrin-doktrin yang diajarkan oleh Jahm bin Shafwan:
a.       Menurut Jahm bin Shafwan manusia dalam paham Jabariyyah sangat lemah tidak berdaya terkait dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak memiliki kemauan dan paham bebas sebagaimana paham Jabariyyah. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan lebih terkenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, melihat Tuhan di akhirat.
b.      Surga dan neraka tidak kekal, yang kekal hanyalah Allah.
c.       Iman dan mari’fat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan Murji’ah
d.      Kalam Tuhan (Al-Qur’an) adalah mahluk (Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat).
e.       Tuhan tidak dapat dilihaat ketika di akhirat.
f.       Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
g.      Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.
2)      Al-Ja’d bin Dirham
     Ja’d adalah seorang maulana hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Ia dipercaya mengajar di lingkungan Bani Umayyah, akan tetapi setelah pemikiran-pemikirannya yang kotroversial diketahui, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian ia pergi keKuffah dan bertemu dengan Jahm, yang akhirnya berhasil mentransfer pikirannya ke Jahm untuk  dikembangkan dan disebarluaskan. Ja’d dibunuh dengan cara dipancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri. Dokrin Ja’d secara umum sama dengan doktrin Jahm. Al-Ghurabi menjelaskannya sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an adlah mahluk, oleh karena itu dia baru, sesuatu yang baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b.      Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan mahluk, eperti berbicara, ,elihat, dan mendengar.
c.       Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-segalanya. Mausia bagaikan selemabar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti tajdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati.
d.      Tidak mengakui adanya sebab akibat diantara segala sesuatu terutama manusia dan perbuatannya serta kepribadiannya secara spiritual dan moral. Entah masa depannya bahagia atau sengsara.
e.       Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 164.
f.       Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut surat An-Nisa: 125.
D.    Cirri-Ciri Ajaran Jabariyyah
1)      Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2)      Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3)      Ilmu Allah bersifat Huduts (baru).
4)      Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5)      Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6)      Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7)      Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8)      Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah


BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor lahirnya pemikiran pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al - Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas. Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits.
Namun pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana penilaian sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti. Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin di lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia, dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.
Demikian yang dapat kami jabarkan mengenai aliran – aliran dalam ilmu kalam yang mungkin sebagian dari sekian banyaknya aliran – aliran yang ada, kami sangat mohon maaf jika banyak terdapat kalimat atau kata yang kurang relevan atau kurang benar meliputi materi yang telah dibahas, dan mohon untuk dapat dimaklumi. Serta kami sangat mengharapkan rujukan yang bersifat membangun menyangkut segala apa yang telah kami jabarkan dalam makalah ini sebagai bentuk pengintrofeksian diri hususnya dalam hal pemikiran dan pendapat serta kecermatan pengambilan referensi yang ada.




DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. 1996.  Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam. Jakarta : Logos Publishing House.
Husein, dkk. 1994.  Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Matdawan, M. Noor. 1992. Aqidah dan  Ilmu Pengetahuan dalam Lintas Sejarah Dinamika Budaya Manusia. Yogyakarta: Yayasan Bina Karir.
Nasir, Sahilun. 1994. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasir, Sahilun. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta : UI-Press.
Razak, Abdul. 2009. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia.







[1] Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta, Logos Publishing House,
 1996, hlm.19
[2] A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.
[3] Matdawan, Aqidah dan Ilmu Pengetahuan dalam Lintas Sejarah Dinamika Budaya Manusia, Yogyakarta, Yayasan Bina Karir, 1992, hlm. 68.
[4] Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 134
[5] Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 133
[6] Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 134
[7] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar