BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Dalam
wacana pendidikan ada dua hal yang dibutuhkan yakni teori dan praktik. Semua
teori akan diturunkan dari teori yang ada pada tiga kategori ilmu, yaitu
humaniora, ilmu alam, dan ilmu social. Ada tiga prinsip yang merupakan definisi
pembelajaran, yaitu: pertama, belajar menghasilkan perubahan perilaku anak
didik yang permanen. Kedua, anak didik memiliki potensi dan kemampuan yang
merupakan benih kodrati yang mampu dikembangkan tanpa henti. Ketiga, perubahan
dan pencapaian kualitas ideal itu tidak akan tumbuh linear sejalan dengan
proses kehidupan.
Untuk
memahami teori dan implementasinya dalam dunia pendidikan, ada empat konsep
yang saling terkait yaitu teaching, learning, instruction, dan curriculum.
Dengan merujuk pada keempat hal tersebut dalam CTL guru berperan sebagai
fasilitator, yakni membantu siswa menemukan makna (pengetahuan). Setiap materi
disajikan memiliki makna yang beragam, yakni dengan menghubungkan materi dengan
lingkungan.
Pembelajaran dan pengajaran kontekstual (CTL,
Contextual Teaching and Learning) adalah salah satu topic hangat dalam dunia
pensisikan saat ini. CTL memiliki potensi untuk menjadi lebih dari sekedar
noktah pada praktik di ruang kelas. CTL menawarkan jalan yang dapat diikuti
oleh seluruh siswa menuju keunggulan akademis. Hal ini karena CTL sesuai dengan
cara kerja otak dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang mendukung system
kehidupan. CTL justru menyatukan konsep dan praktik.
Penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana cara
pandang baru yang muncul dari pengetahuan, mengubah sikap kita dari pendidikan.
Pendidikan tradisional menekankan pada penguasaan dan manipulasi isi. Para
siswa menghapalkan fakta, angka, nama , tanggal, tampat, dan kejadian;
mempelajari mata pelajaran secara terpisah satu sama lain; dan berlatih dengan
cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar dan berhitung.
Oleh karena itu pada abad ke-20 yang beranggapan
bahwa kenyataan ada dalam hubungan-hubungan yang melihat bahwa suatu kesatuan
melebihi jumlah dari bagian-bagiannya, para pendidik sekarang merasa perlu
berpikir ulang tentang cara mengajar. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual
sebagai sebuah system mengajar didasarkan pada pikiran bahwa makna muncul dari
hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberikan makna pada isi. Semakin
banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin
bermaknalah isinya bagi mereka. Jadi, sebagian besar tugas seorang guru adalah
menyediakan konteks. Semakin mampu siswa mengaitkan pelajaran-pelajaran
akademis dengan konteks ini, semakin banyak siswa mendapatkan makna dari
pelajaran tersebut. Pencarian makna merupakan hal ilmiah. Seperti sebuah system
kerja otak yang terus menerus mencari makna dan menyimpan hal-hal yang
bermakna, proses mengajar harus melibatkan siswa dalam pencarian makna. [1]
BAB II
ISI
A.
Pengertian
Contextual Teaching Learnng merupakan suatu proses pembelajaran
holistik yang bertujuan untuk membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan
ajar secara bermakna (meaningfull)
yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan dengan lingkungan
pribadi, agama, social, ekonomi maupun kultural. Sehingga peserta didik memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang dapat dapat diaplikasikan dan ditransfer dari satu konteks
permasalahan yang satu kepermasalahan lainnya.
Tokoh Teori kontekstual
Contextual
teaching and learning banyak dipengaruhi oleh filsafat
konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya
dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari
pemikiran epistimologi Giambatista Vico (Suparno, 1997). Vico mengungkapkan:
“Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaannya.”
Mengetahui, menurut Vico, berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu.
Artinya, seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat menjelaskan
unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Vico,
pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan
merupakan struktur konsep dari subyek yang mengamati. Selanjutnya, pandangan
filsafat kontruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang
proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, melainkan proses
mengkontruksikan pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil
“pemberian” dari orang lain seperti guru, tetapi hasil proses mengkonstruksi
yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari pemberian tidak akan
menjadi pengetahuan yang bermakna.
Pandangan pakar pedagogi tentang teori
perkembangan kontekstual:
1.
Dun Hull
Penerapan kaidah
pembelajaran yang berangkat dari toeri perkembangan kontekstual memberikan
implikasi positif terhadap keterlibatan siswa dalam sekolah. Efektifitas
pembelajaran meningkat secara signifikan ketika mereka diajarkan mengapa mereka
mempelajari konsep dan bagaimana konsep-konsep dapat digunakan diluar kelas,
dan akan semakin efektif ketika mereka diizinkan untuk bekerja sama dengan yang
lain dalam kelompok atau tim.
- John Dewey
Menurut John Derwey,
rancangan formula kurikulum akan lebih maksimal jika kerangka formula tersebut
mengambil titik acuan berupa perkembangan kontekstual yaitu Kurikulum dan
metode pembelajaran yang terkait dengan pengalaman dan minat anak.
- Howard
Gardner
Implikasi dari konsep
perkembangan kontekstual mengarah pada definisi belajar sebagai proses yang
kompleks yang tidak dapat ditangani secara memadai melalui drill-oriented
(metode stimulus atau respon).
- Geoffrey
Caine
Teori Perkembangan
kontekstual akan mengarahkan sasaran dan metode pembelajran dengan
karakteristik pencarian makna melalui hubungan yang masuk akal dan cocok dengan
pengalaman masa lalu sebagai hakikat pembelajarannya.
- Jonassen
Jonassen menawarkan
konsep belajar yang berangkat dari teori perkembangan kontekstual yaitu belajar
dari tugas yang terletak dibeberapa tugas dalam dunia nyata, atau dirangsang
melalui beberapa lingkungan belajar berbasis kasus atau berbasis masalah.
- D.A. Kolb
Suasana belajar yang
mengambil teori perkembangan kontekstual sebagai basisnya yaitu suasana
pelajaran yang melibatkan berbagai pengalaman yang mungkin dalam konteks
sosial, budaya, fisikal dan psikologi.
B. Pandangan
Belajar Menurut Pendekatan Kontekstual
1. Proses
Belajar
a. Belajar
tidak hanya menghafal, akan tetapi mengalami dan harus mengkonstruksikan
pengetahuan.
b. Ilmu
pengetahuan merupakan kumpulan fakta-fakta atau proposisi yang integral, dan
sekaligus dapat dijadikan keterampilan yang dapat diaplikasikan.
c. Peserta
didik memiliki sikap yang berbeda dalam menghadapi situasi baru dan dibiasakan
belajar menemukan sesuatu bagi memecahkan masalah dalam kehidupannya.
d. Belajar
secara kontinu dapat membangun struktur otak sejalan dengan perkembangan
pengetahuan dan keterampilan yang diterima.
2. Pentinganya
Lingkungan Belajar
a. belajar yang efektif harus berpusat pada peserta
didik sehingga memahami bagaimana peserta didik menggunakan pengetahuan dan
keterampilan baru.
b. Kerjasama
kelompok peserta didik merupakan hal yang utama dalam menumbuhkembangkan
kebiasaan sharing dalam team learning.
c. Penilaian
begitu penting supaya memberikan feedback
kepada peserta didik.
C. Karakteristik
CTL
Karakteristik
Contextual Teaching Learning adalah
sebagai berikut:
1. Kerjasama
antar peserta didik dan guru (cooperative).
2. Saling
membantu antar peserta didik dan guru (assist).
3. Belajar
dengan bergairah (enjoyfull learning).
4. Pembelajaran
terintegrasi secara kontekstual.
5. Menggunakan
multimedia dan sumber belajar.
6. Cara
belajar siswa aktif (student active
learning).
7. Sharing bersama
teman (take and give).
8. Siswa
kritis dan guru kreatif.
9. Dinding
kelas dan lorong kelas penuh dengan karya siswa.
10. Laporan
siswa bukan hanya buku rapor, tetapi juga hasil karya siswa, laporan hasil
praktikum, karangan siswa dan sebagainya.
D. Langkah-Langkah
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontektual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
materi dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yaitu kontruktivisme,
bertanya, inkuiri, masyarakat belajar, pemodelan, dan penilaian autentik.
Sebuah
kelas dikatakan menggunakan model CTL jika ketujuh komponen tersebut terpenuhi
dalam pembelajarannya. Secara garis besar penerapan CTL dalam kelas adalah
sebagai berikut:
1.
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
2.
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan
inkuiri untuk semua topic.
3.
Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan
bertanya.
4.
Ciptakan masyarakat belajar (belajar
dalam kelompok-kelompok).
5.
Hadirkan model sebagai contoh
pembelajaran.
6.
Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7.
Lakukan penilaian sebenarnya dengan
berbagai cara.
E.
Prinsip-Prinsip
CTL
1.
Kesaling-Bergantungan
(Independensi)
Prinsip ini membuat hubungan yang bermakna (making meaningfull
connections) antara proses pembelajaran dan konteks kehidupan nyata sehingga
peserta didik berkeyakinan bahwa belajar merupakan aspek yang esensial bagi kehidupan
di masa datang.
Prinsip ini mengajak para pendidik mengenali keterkaitan mereka
dengan pendidik yang lainnya, peserta didik, stakeholder, dan
lingkungannya.
Bekerjasama (collaborating) untuk membantu peserta didik
belajar secara efektif dalam kelompok, membantu peserta didik untuk
berinteraksi dengan orang lain, saling mengemukakan gagasan, saling
mendengarkan untuk menemukan persoalan, mengumpulkan data, mengolah data, dan
menentukan alternatif pemecahan masalah.
Prinsipnya menyatukan berbagai pengalaman dari masing-masing
peserta didik untuk mencapai standar akademik yang tinggi (reaching high
standards) melalui pengidentifikasian tujuan dan memotivasi peserta didik
untuk mencapainya.
2.
Perbedaan (Diferensiasi)
Prinsip diferensiasi adalah mendorong peserta didik menghasilkan
keberagaman, perbedaan, dan keunikan. Terciptanya kemandirian dalam belajar (self-regulated
learning) yang dapat mengkonstruksi minat peserta didik untuk belajar
mandiri dalam konteks tim dengan mengkorelasikan bahan ajar dengan kehidupan
nyata, dalam rangka mencapai tujuan secara penuh makna (meaningfullness).
Tercapainya berpikir kritis dan kreatif (critical and creative
thinking) di kalangan peserta didik dalam rangka pengumpulan, analisis, dan
sintesa data, guna pemecahan masalah.
Terciptanya kemampuan peserta didik untuk mengidentifikasi potensi
pribadi, dalam rangka menciptakan dan mengembangkan gaya belajar (style of
learning) yang paling sesuai sehingga dapat mengembangkan potensinya
seoptimal mungkin secara aktif, kreatif, efektif, inivatif, dan menyenangkan
sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
3.
Pengaturan Diri
Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa proses pembelajaran
diatur, dipertahankan, dan disadari oleh peserta didik sendiri, dalam rangka
merealisasikan seluruh potensinya. Peserta didik secara sadar harus menerima
tanggung jawab atas keputusan dan perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat
pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan solusi dan
dengan kritis menilai bukti.
Melalui interaksi antarsiswa akan diperoleh pengertian baru,
pandangan baru sekaligus menemukan minat pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan
mereka dalam bertahan dan menemukan sisi keterbatasan diri.
4.
Penilaian
Autentik (Authentic Assessment)
Penggunaan penilaian autentik, yaitu menantang peserta didik agar
dapat mengaplikasikan berbagai informasi akademis baru dan keterampilannya ke
dalam situasi kontekstual secara signifikan.
F.
Pendekatan CTL
1.
Problem-Based
Learning
Yaitu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah nyata sebagai suatu konteks sehingga peserta didik dapat
belajar kritis dalam melakukan pemecahan masalah yang ditujukan untuk
memperoleh pengetahuan atau konsep yang esensial dari bahan pelajaran.
2.
Authentic
Instruction
Yaitu pendekatan pembelajaran yang memperkenankan peserta didik
mempelajari konteks kebermaknaan melalui pengembangan keterampilan berpikir dan
melakukan pemecahan masalah di dalam konteks kehidupan nyata.
3.
Inquiry-Based
Learning
Yaitu pendekatan pembelajaran dengan mengikuti metodologi sains dan
memberi kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
4.
Project-Based
Learning
Yaitu pendekatan pembelajaran yang memperkenankan peserta didik
untuk bekerja mandiri dalam mengkronstruksi pembelajarannya (pengetahuan dan
keterampilan baru), dan
mengkulminasikannya dalam produk nyata.
5.
Work-Based
Learning
Yaitu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik
menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari bahan ajar dan
menggunakannya kembali ditempat kerja.
6.
Service
Learning
Yaitu pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu penerapan
praktis dari pengetahuan baru dan berbagai keterampilan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat melalui tugas terstruktur dan kegiatan lainnya.
7.
Cooperative
Learning
Yaitu pendekatan pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil
peserta didik untuk bekerjasama dalam rangka mengoptimalkan kondisi belajar
untuk mencapai tujuan belajar.
G.
Faktor-Faktor
yang Dipertimbangkan dalam CTL
1.
Merencanakan
pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental (developmentally appropriate)
peserta didik.
2.
Membentuk
kelompok belajar yang saling bergantung (interdependent learning groups).
3.
Mempertimbangkan
keberagaman peserta didik (disversity of students).
4.
Menyediakan
lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning)
dengan tiga karakteristik umumnya, yaitu kesadaran berpikir, penggunaan
startegi, dan motivasi berkelanjutan.
5.
Memperhatikan
multi-intelegensi (multiple intelli-gences)
6.
Menggunakan
teknik bertanya (questioning) dalam rangka meningkatkan peserta didik dalam
pemecahan masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
7.
Mengembangkan
pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna jika ia diberi
kesempatan untuk belajar menemukan dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan baru (contructivism).
8.
Memfasilitasi
kegiatan penemuan (inquiry), supaya peserta didik memperoleh pengetahuan
dan keterampilan melalui penemuannya sendiri.
9.
Mengembangkan
rasa ingin tahu (curiusity) di kalangan peserta didik melalui pengajuan
pertanyaan (questioning).
10.
Menciptakan
masyarakat belajar (learning community) dengan membangun kerjasama di
antara peserta didik.
11.
Memodelkan (modelling)
sesuatu agar peserta didik dapat beridentifikasi dan berimitasi dalam rangka
memperoleh pengetahuan dari keterampilan baru.
12.
Mengarahkan
peserta didik untuk merefleksikan tentang apa yang sudah dipelajari.
13.
Menerapkan
penilaian autentik (Authentic assessment)
H.
Komponen CTL
1.
Konstruktivisme
(Constructivism)
CTL dibangun dalam landasan konstruktivisme yang memiliki anggapan
bahwa pengetahuan dibangun peserta didik secara sedikit demi sedikit (incremental)
dan hasilnya diperluas melalui konteks terbatas.
Peserta didik harus mengkonstruksi pengetahuan baru secara bermakna
melalui pengalaman nyata, melalui proses penemuan dan mentransformasi informasi
ke dalam situasi lain secara kontekstual. Oleh karena itu, proses pembelajaran
merupakan proses mengkronstruksi gagasan dengan strateginya sendiri bukan
sekedar menerima pengetahuan, serta peserta didik menjadi pusat perhatian dalam
proses pembelajaran (child centre).
2.
Menemukan (Inquiry)
Proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik merupakan proses
menemukan (inquiry) terhadap sejumlah pengetahuan dan keterampilan.
Proses inquiry terdiri atas:
a.
Pengamatan (observation);
b.
Bertanya (questioning);
c.
Mengajukan
dugaan (hiphotesis);
d.
Pengumpulan
data (data gathering);
e.
Penyimpulan (conclussion).
3.
Bertanya (Questioning)
Proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik diawali dengan
proses bertanya. Proses bertanya yang dilakukan peserta didik sebenarnya
merupakan proses berpikir yang dilakukan peserta didik dalam rangka memecahkan
masalah dalam kehidupannya.
Proses
bertanya begitu berarti dalam rangka:
a.
Membangun
perhatian (attention building);
b.
Membangun minat
(interest building);
c.
Membangun
motivasi (motivation building);
d.
Membangun sikap
(aptittude building);
e.
Membangun rasa
keingintahuan (curiusity building);
f.
Membangun
interaksi antarsiswa dengan siswa;
g.
Membangkitkan
interaksi antara siswa dengan guru;
h.
Interaksi
antara siswa dengan lingkungannya secara konstekstual;
i.
Membangun lebih
banyak lagi pertanyaan yang dilakukan siswa dalam rangka menggali dan menemukan
lebih banyak informasi (pengetahuan) dan keterampilan yang diperoleh oleh
peserta didik.
4.
Masyarakat
Belajar (Learning Community)
Proses pembelajaran merupakan proses kerjasama antara peserta didik
dengan peserta didik, antara peserta didik dengan gurunya, dan antara peserta
didik dengan lingkungannya.
Proses
pembelajaran yang signifikan jika dilakukan dalam kelompok-kelompok belajar,
baik secara homogen maupun secara heterogen sehingga didalamnya akan terjadi
berbagi masalah (sharing problem), berbagi informasi (sharing
information), berbagi pengalaman (sharing experience), dan berbagi
pemecahan masalah (sharing problem) yang memungkinkan semakin banyaknya
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh.
5.
Pemodelan (Modelling)
Proses pembelajaran akan lebih berarti jika didukung dengan adanya
pemodelan yang dapat ditiru, baik yang bersifat kejiwaan (identifikasi)
maupun yang bersifat fisik (imitasi) yang berkaitan dengan cara untuk
mengoperasikan sesuatu aktivitas, cara untuk menguasai pengetahuan atau
keterampilan tertentu.
Pemodelan
dalam pembelajaran bisa dilakukan oleh guru, peserta didik, atau dengan cara
mendatangkan narasumber dari luar (outsourcing), yang terpenting dapat
membantu terhadap ketuntasan dalam belajar (mastery learning) sehingga
peserta didik dapat mengalami akselerasi perubahan secara berarti.
6.
Refleksi (Reflection)
Refleksi dalam pembelajaran adalah car berpikir tentang apa yang
baru dipelajarinya atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah
dilakukan atau dipelajarinya di masa lalu. Refleksi pembelajaran merupakan
respons terhadap aktivitas atau pengetahuan dan keterampilan yang baru diterima
dari proses pembelajaran. Peserta didik dituntut untuk mengedepankan apa yang
baru dipelajarinya sebagai wujud pengayaan atau revisi dari pengetahuan dan
keterampilan sebelumnya.
Guru harus dapat membantu peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan
demikian, peserta didik akan memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya
mengenai apa yang baru dipelajarinya.
Kuncinya adalah bagaimana pengetahuan dan keterampilan itu
mengendap di jiwa peserta didik sehingga tercatat dan merasakan terhadap
pengetahuan dan keterampilan baru tersebut.
Pada akhir proses pembelajaran sebaiknya guru menyisakan waktu agar
peserta didik melakukan refleksi, yang diwujudkan dalam bentuk:
a.
Pernyataan
langsung peserta didik tentang yang diperoleh hari itu;
b.
Jurnal belajar
di buku pribadi peserta didik;
c.
Kesan dan saran
peserta didik mengenai pembelajaran hari itu.
7.
Penilaian yang
Sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian merupakan proses pengumpulan data yang dapat
mendeskripsikan mengenai perkembangan perilaku peserta didik. Pembelajaran
efektif adalah proses membantu peserta agar mampu mempelajari (learning to
learn) bukan hanya menekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi
di akhir periode pembelajaran.
Oleh karena itu, penilaian menekankan pada proses pembelajaran,
data yang dikumpulkan dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat
melakukan pembelajaran. Kemajuan belajar peserta didik dinilai dari proses,
tidak semata dari hasil. Oleh karena itu, penilain authentic merupakan
proses penilaian pengetahuan dan keterampilan (performasi) yang diperoleh siswa
di mana penilai tidak hanya guru, tetapi juga teman siswa atau pun orang lain.
Adapun karakteristik dari penilaian autentik (authentic
assessment) sebagai berikut:
a.
Penilaian
dilakukan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
b.
Aspek yang
diukur adalah keterampilan dan performasi, bukan mengingat fakta apakah peserta
didik belajar? Atau apa yang sudah diketahui peserta didik?
c.
Penilaian
dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dilakukan dalam beberapa tahapan dan
periodik, sesuai dengan tahapan waktu dan bahasannya, baik dalam bentuk
formatif maupun sumatif.
d.
Penilaian
dilakukan secara integral, yaitu menilai berbagai asepek pengetahuan, sikap,
dan keterampilan peserta didik sebagai satu kesatuan utuh.
e.
Hasil penilaian
digunakan sebagai feedback, yaitu untuk keperluan pengayaan (enrichment)
standar minimal telah tercapai atau mengulang (remedial) jika standar
minimal belum tercapai.
BAB III
PEMBAHASAN
CTL
adalah suatu pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan
menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari. Penerapan CTL dalam pembelajaran fisika
bertujuan agar siswa mendapatkan manfaat dalam berpikir dan bertindak. Fisika
tidak akan lepas dari fenomena alam.
Langkah-langkah
pembelajaran model kontekstual (CTL) sebagai berikut:
1. Kontruktivisme
Pada
dasarnya siswa memiliki pengalaman berdasar fenomena fisika. Menggali
pengetahuan mereka dengan bertanya (apersepsi) sebagai pemancing mengumpulkan
jawaban siswa. Materi gerak parabola. Memulai dengan tanya jawab antara guru(G)
dan siswa(S).
G:
“Pernahkah kalian bermain sepak bola?”
S:
“Pernah”.
G:
“Apa yang kalian lakukan sebelum menendang bola?”
S:
(ada bermacam-macam jawaban)
Dst…
Cuplikan
apersepsi tersebut memperlihatkan bahwa pada dasarnya siswa memiliki
pengetahuan dari apa yang mereka alami. Namun, pengetahuan tersebut belum utuh
dan lengkap terlihat dari jawaban siswa yang hanya berdasar apa yang siswa lihat.
2.
Pemodelan
Pada langkah ini
guru mendemonstrasikan suatu fenomena sebagai perantara siswa untuk kegiatan
inquiry. Guru memperagakan dengan permainan angry bird sebagai salah satu
fenomeena tentang gerak parabola.
3.
Bertanya
Pertanyaan dapat
diajukan oleh siswa atau guru.
4.
Inquiri
Siswa
bereksperimen menggunakan alat peraga gerak para bola sehingga siswa dibebaskan
untuk menemukan sendiri pengetahuannya.
5.
Masyarakat Belajar
Membuat kelopok
diajukan pertanyaan agar mereka diskusi.
6.
Refleksi
Mempersentasikan
hasil diskusi.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
A.
Contextual Teaching Learnng merupakan
suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk membelajarkan peserta
didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna (meaningfull) yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik
berkaitan dengan lingkungan pribadi, agama, social, ekonomi maupun kultural
B.
Karakteristik Contextual Teaching Learning adalah sebagai berikut:
11. Kerjasama
antar peserta didik dan guru (cooperative).
12. Saling
membantu antar peserta didik dan guru (assist).
13. Belajar
dengan bergairah (enjoyfull learning).
14. Pembelajaran
terintegrasi secara kontekstual.
15. Menggunakan
multimedia dan sumber belajar.
16. Cara
belajar siswa aktif (student active
learning).
17. Sharing bersama
teman (take and give).
18. Siswa
kritis dan guru kreatif.
19. Dinding
kelas dan lorong kelas penuh dengan karya siswa.
20. Laporan
siswa bukan hanya buku rapor, tetapi juga hasil karya siswa, laporan hasil
praktikum, karangan siswa dan sebagainya.
C.
. Secara garis besar penerapan CTL dalam
kelas adalah sebagai berikut:
8.
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
9.
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan
inkuiri untuk semua topic.
10. Kembangkan
sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
11. Ciptakan
masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
12. Hadirkan
model sebagai contoh pembelajaran.
13. Lakukan
refleksi di akhir pertemuan.
14. Lakukan
penilaian sebenarnya dengan berbagai cara.
BAB
V
DAFTAR
PUSTAKA
Hanafiah, Nanang dkk.
2009. Konsep Strategi Pembelajaran.
Bandung: PT Refika Aditama.
Johnson, Elaine. 2007. Contextual teaching & learning:
Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar
Mengasyikkan dan Bermakna.
Bandung: MLC.
Rusman. 2010.
Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar