BAB
I
PENDAHULUAN
Proses
pembelajaran fisika yang baik tentunya akan mempengaruhi hasil belajar
fisika anak didik. Hal ini menunjukkan
bahwasanya proses belajar mengajar mempengaruhi hasil belajar. Untuk
mendapatkan hasil belajar yang maksimal tentunya diperlukan proses belajar yang
maksimal juga. Maka untuk bisa menciptakan proses belajar yang maksimal harus
diikuti dengan faktor-faktor pendukung supaya proses belajar mengajar dikelas
bisa berjalan dengan baik.
Dengan adanya
situasi yang mendukung dalam proses pembelajaran ini tentunya diharapkan dalam
proses pembelajaran dikelas dapat menjadikan anak didik dapat lebih termotivasi
dalam belajar. Selanjutnya, anak didik mampu memahami dengan baik materi-materi
pelajaran, khususnya pelajaran fisika. Kita sadari bahwasanya tingkatan materi
dalam fisika itu dari tingkatan mudah atau yang sering kita temukan dalam
kehidupan sehari-hari samapai tingkatan yang sulit atau bisa dikatakan sebagai
materi yang abstrak. Disinilah guru dituntut agar bisa menyampaikan
materi-materi tersebut dengan baik sehingga anak didik mampu memahaminya dengan
baik.
Disini dapat
dipahami bahwasanya untuk mencapai tingkat keberhasilan dalam proses maupun
hasil belajar dalam pembelajaran fisika khususnya, diperlukan hubungan yang
baik antara guru dan anak didik. Kemudian juga diperlukan dukungan dari semua
pihak baik sekolah, pemerintah dan juga masyarakat sekitar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Proses Dan Hasil Belajar
Belajar adalah
serangkaian kegiatan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang
menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Perubahan itu
adalah hasil yang telah dicapai dari proses belajar. Jadi, untuk mendapatkan
hasil belajar dalam bentuk “perubahan” harus melalui proses tertentu yang
dipengaruhi oleh faktor dalam diri individu dan dari luar individu. Proses
disini tidak dapat dilihat karena bersifat psikologis. Oleh karena itu proses
belajar telah terjadi dalam diri seseorang hanya dapat disimpulkan dari
hasilnya, karena aktivitas belajar yang telah dilakukan. Misalnya, dari tidak
tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak berilmu menjadi
berilmu, dan sebagainya.
Noehi Nasution,
dan kawan-kawan (1993:3) memandang belajar itu bukanlah suatu aktivitas yang
berdiri sendiri. Mereka berkesimpulan ada unsur-unsur lain yang ikut terlibat
langsung di dalamnya, yaitu raw input,
learning teaching process, output, inviromental input, dan instrumental input.
Dalam upaya memperjelas
apa yang diuraikan di atas, Noehi Nasution, dan kawan-kawan mengemukakan
berbagai faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar tersebut secara
lebih luas.
B.
Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Proses Dan Hasil Belajar
Secara global,
faktor- faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat kita bedakan menjadi tiga
macam, yaitu:
1.
Faktor
internal (faktor dari dalam siswa), yaitu keadaan atau kondisi jasmani dan
rohani siswa;
2.
Faktor
eksternal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan disekitar kita.
Siswa yang bersifat
conserving terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik biasanya
cenderung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya,
siswa yang berintelegensi tinggi dan mendapat dorongan positif dari orangtuanya
akan memilih belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil belajar. Jadi,
karena faktor-faktor itulah, muncul siswa-siswa yang high-achievers
(berprestasi tinggi) dan underachievers (berprestasi rendah) atau gagal
sama sekali. Disini peran guru sangat diharapkan mampu mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok siswa yang menunjukkan segala
kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat
proses belajar mereka.
1)
Faktor Internal Siswa
a.
Aspek
fisiologis
Kondisi umum
jasmani dan tonus (teganga otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ
tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa
dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah dan disertai sakit
kepala dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang
dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas. Untuk mempertahankan tonus
jasmani agar tetap segar, siswa dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman
yang bergizi. Selain itu, siswa juga dianjurkan memilih pola istirahat dan
olahraga ringan secara rutin. Hal ini pnting karena perubahan pola makan-minum
dan istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat
mental siswa itu sendiri.
Tingkat
kesehatan indera pendengaran dan indera penglihat juga sangat mempengaruhi
kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang
disajikan dikelas. Daya pendengaran dalam penglihatan siswa yang rendah
umpamanya, akan menyulitkan sensory register dalam menyerap item-item
informasi yang bersifat echoic dan econic (gema dan citra).
Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi yang dilakukan
oleh sistem memori siswa tersebut.
Untuk mengatasi timbulnya masalah mata dan telinga, anda selaku
guru profesional seyogianya bekerja sama dengan pihak sekolah untuk memperoleh
bantuan pemeriksaan rutin (periodik) dari dinas-dinas kesehatan setempat. Kiat
lain yang tak kalah penting adalah dengan menempatkan mereka dideretan bangku
terdepan secara bijaksana. Artinya, anda tidak perlu menunjukkan sikap dan
alasan (apalagi didepan umum) bahwa mereka ditempatkan didepan kelas karena
kekurang baikan mata dan telinga mereka. Langkah bijaksana ini perlu diambil
untuk mempertahankan self-esteem dan self-confidence siswa-siswa.
Kemerosotan self-esteem dan self-confidence (rasa percaya diri)
seorang siswa akan menimbulkan frustasi yang pada gilirannya siswa tersebut
akan menjadi underachiever atau mungkin gagal, meskipun kapasitas
kognitif mereka normal atau lebih tinggi daripada teman-temannya.
b.
Aspek
Psikologis
Pada umumnya faktror-faktor rohaniah siswa yang dipandang lebih
esensial adalah sebagai berikut: 1) tingkat kecerdasan atau intelegensi siwa;
2) sikap siswa; 3) bakat siswa; 4) minat siswa; 5) motivasi siswa.
Intelegensi siswa
Intelegensi adalah kemampuan psikofisik untuk mereaksi rangsangan
atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Reber, 1988).
Jadi, intelegensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga
kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, peran otak dalam hubungannya
dengan intelegensi manusia lebih menonjol daripada peran organ-organ tubuh
lainnya, lantaran otak merupakan “menara pengontrol” hampir seluruh aktivitas
manusia.
Tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa sangat menentukan
tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini artinya, semakin tinggi kemampuan
intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses.
Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi siswa maka semakin kecil
peluangnya untuk meraih sukses.
Diantara siswa-siswa yang mayoritas berintelegensi normal itu
mungkin terdapat satu atau dua orang yang tergolong gifted child atau talented
child, yakni anak sangat cerdas dan anak sangat berbakat.(IQ 140 keatas).
Disamping itu, mungkin adapula siswa yang berkecerdasan dibawah batas rata-rata
(IQ 70 kebawah).
Setiap calon guru dan guru profesional sepantasnya menyadari bahwa
keluarbiasaan intelegensi siswa, baik yang positif seperti superior
maupun negatif seperti borderline, lazimnya menimbulkan kesulitan
belajar siswa yang bresangkutan. Disatu sisi siswa yang cerdas sekali akan
merasa tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari sekolah karena pelajaran
yang disajikan terlampau mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan
frustasi karena tuntutan kebutuhan keingintahuannya (curiosity) merasa
dibendung secara tidak adil. Disisi lain, siswa yang bodoh sekali akan merasa
sangat payah mengikuti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karenanya
siswa itu sangat tertekan, dan akhirnya merasa bosan dan frustasi seperti yang
dialami oleh rekannya yang luar biasa positif.
Untuk menolong
siswa yang berbakat, sebaiknya anda menaikkan kelasnya setingkat lebih tinggi
daripada kelasnya sekarang. Kelak, apabila ternyata dikelas barunya itu dia
masih merasa terlalu mudah juga, siswa tersebut dapat dinaikkan setingkat lebih
tinggi lagi. Begitu seterusnya, hingga dia mendapatkan kelas yang tingkat kesulitan
mata pelajarannya sesuai dengan tingkat intelegensinya. Apabila cara itu sulit
ditempuh, maka ada alternatif lain, misalnya menyerahkan siswa tersebut ke
lembaga pendidikan khusus untuk para siswa berbakat.
Sementara itu, untuk menolong siswa yang berkecerdasan dibawah
normal, tak dapat dilakukan sebaliknya yakni menurunkan kekelas yang lebih
rendah. Sebab, cara tersebut dapat menimbulkan masalah baru yang bersifat
psikososial yang tidak hanya mengganggu dirinya saja, tetapi juga mengganggu
“adik-adik” barunya.
Oleh karena itu, tindakan yang dipandang lebih bijaksana adalah
dengan cara memindahkan siswa penyandang intelegensi tersebut ke lembaga
pendidikan khusus untuk anak-anak penyandang “kemalangan” IQ.
Sikap Siswa
Sikap adalah
gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi
atau merespons (response tendence) dengan cara yang relatif tetap
terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun
negatif. Sikap siswa yang positif, terutama kepada anda dan pelajaran yang anda
sajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut.
Sebaliknya, sikap negatif siswa kepada anda dan mata pelajaran anda, apalagi
jika diiringi kebencian kepada anda atau mata pelajaran anda dapat menimbulkan
kesulitan belajar siswa tersebut. Selain itu, sikap terhadap ilmu pengetahuan
yang bersifat conserving, walaupun mungkin tidak menimbulkan kesulitan
belajar, namun prestasi yang dicapai siswa akan kurang memuaskan.
Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa,
guru dituntut terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya
sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi haknya. Dalam hal bersikap
positif terhadap mata pelajarannya, seorang guru sangat dianjurkan untuk
senantiasa menghargai dan mencintai profesinya. Guru yang demikian tidak hanya
menguasai bahan-bahan yang terdapat dalam bidang studinya, tetapi juga mampu
meyakinkan para siswa akan manfaat bidang studi tertentu, siswa akan merasa
membutuhkannya, dan dari perasaan butuh itulah diharapkan muncul sikap positif
terhadap bidang studi tersebut sekaligus terhadap guru yang mengajarkannya.
Bakat Siswa
Bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki
seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Chaplin,
1972; Raber,1988). Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki
bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ketingkat tertentu
sesuai dengan kapasitas masing-masing. Jadi, secara umum bakat itu mirip dengan
intelegensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berintelegensi sangat cerdas (superior)
atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagai talented
child, yakni anak berbakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan
individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya
pendidikan dan pelatihan. Seorang siswa yang berbakat dalam bidang elektro
misalnya, akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan
yang berhubungan dengan bidang tersebut dibanding dnegan siswa lainnya. Inilah
yang kemudian disebut bakat khusus (specific aptitude) yang konon tak
dapat dipelajari karena merupakan karunia inborn (pembawaan sejak
lahir).
Bakat akan memengaruhi tinggi-rendahnya prestasi belajar
bidang-bidang studi tertentu. Oleh karenanya adalah hal yang tidak bijaksana
apabila orangtua memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada
jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang dimiliki
anaknya itu. Pemaksaan kehendak terhadap seorang siswa, dan juga ketidaksadaran
siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga ia memilih jurusan keahlian tertentu
yang sebenarnya bukan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja
akademik (academic performance) atau prestasi belajarnya.
Minat Siswa
Minat (interest) adalah kecenderungan dan kegairahan yang
tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (1988), minat
tidak termasuk istilah populer dalam psikologi karena keberantungannya yang
banyak pada faktor-faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian,
keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa
dalam bidang-bidang studi tertentu. Umpamanya, seorang siswa yang menaruh minat
besar terhadap fisika akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa
lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi
itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya
mencapai prestasi yang diinginkan. Guru dalam kaitan ini seyogianya berusaha
membangkitkan minat siswa untuk menguasai pengetahuan yang terkandung dalam
bidang studinya dengan cara yang lebih kurang sama dengan kiat membangun sikap
positif.
Motivasi Siswa
Motivasi ialah keadaan internal organisme baik manusia ataupun
hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi
berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah
(Gleitman, 1986; Reber, 1988).
Motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi
intrinsik; 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan
yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan
tindakan belajar. Misalnya, perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya
terhadap materi tersebut.
Motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar
individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Contoh
konkret motivasi ekstrinsik dan intrinsik adalah pujian dan hadiah,
peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orang tua, guru dan seterusnya.
Dalam perspektif kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi
siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak
bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain.
2)
Faktor Eksternal Siswa
a.
Lingkungan
Ø Lingkungan Sosial Budaya
Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para tenaga
kependidikan (kepala sekolah dan wakil-wakilnya) dan teman-teman sekelas dapat
mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukkan
sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri tauladan yang baik dan
rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat
menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.
Masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan disekitar
perkampungan siswa termasuk lingkungan sosial. Kondisi masyarakat dilingkungan
kumuh yang serba kekurangan dan anak-anak penganggur, misalnya, akan sangat mempengaruhi
aktivitas belajar siswa.
Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar
adalah orangtua dan keluarga itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik
pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah),
semuanya dapat memberi dampak baik atau buruk terhadap kegiatan belajar dan
hasil belajar yang dicapai siswa.
Ø Lingkungan Alami
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan alami adalah gedung sekolah
dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat
belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa.
Contoh: kondisi rumah yang sempit dan berantakan serta perkampungan
yang terlalu padat dan tak memiliki sarana umum untuk kegiatan remaja (seperti
lapang voli) akan mendorong siswa untuk berkeliaran ke tempat-tempat yang
sebenarnya tidak pantas dikunjungi. Kondisi rumah dan perkampungan seperti itu jelas berpengaruh buruk terhadap kegiatan belajar
siswa.
Seorang ahli bernama J. Biggers berpendapat bahwa belajar pada pagi
hari lebih efektif daripada belajar pada waktu lainnya. Namun, menurut
penelitian beberapa ahli learning style (gaya belajar), hasil belajar
itu tidak bergantung pada waktu secara mutlak, tetapi bergantung pada pilihan
waktu yang cocok dengan kesiapsiagaan siswa (Dunn et al, 1986)
Menurut hasil penelitian mengenai kinerja baca (reading
performance) sekelompok mahasiswa disebuah universitas di Australia
Selatan, tidak ada perbedaan yang berarti antara hasil membaca pada pagi hari
dan sore hari.
Dengan demikian, waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang
selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, tak
perlu dihiraukan.
3)
Faktor Instrumental
a.
Kurikulum
Kurikulum
adalah a plan for learning yang merupakan unsur substansial dalam
pendidikan. Tanpa kurikulum kegiatan belajar mengajar tidak dapat berlangsung,
sebab materi yang harus guru sampaikan dalam suatu pertemuan, belum guru
program sebelumnya. Itulah kurikulum untuk mata pelajaran yang dipegang dan
diajarkan kepada anak didik. Setiap guru harus mempelajari dan menjabarkan isi
kurikulum ke dalam program yang lebih rinci dan jelas sasarannya. Sehingga
dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar mengajar
yang telah dilaksanakan.
Muatan kurikulum
akan mempengaruhi intensitas dan frekuensi belajar anak didik. Seorang guru
terpaksa menjejalkan sejumlah bahan pelajaran kepada anak didik dalam waktu
yang sedikit tersisa, karena ingin mencapai target kurikulum, akan memaksa anak
didik belajar dengan keras tanpa mengenal lelah. Padahal anak didik sudah lelah
belajar ketika itu. Tentu saja hasil belajar yang demikian kurang memuaskan dan
cenderung mengecewakan. Guru akan mendapatkan hasil belajar anak didik dibawah
standar minimum. Hal ini disebabkan telah terjadi proses belajar yang kurang
wajar pada anak didik. Pemadatan kurikulum dengan alokasi waktu yang disediakan
relatif sedikit secara psikologi menggiring guru pada pilihan untuk
melaksanakan percepatan belajar anak didik untuk mencapai target kurikulum.
Untuk mencapai
target penguasaan kurikulum oleh anak didik terkadang dirasakan begitu sukar.
Faktor sejarah pendidikan masa lalu yang menjadi akar permasalahannya. Sebelum
melanjutkan sekolah, anak didik telah terdidik dalam lingkungan sekolah dengan
sistem pendidikan yang kurang baik, maka anak didik akan mengalami kesukaran
untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Ada mata pelajaran tertentu yang
sangat sukar untuk diserap dan dicerna oleh anak didik. Hal ini boleh jadi
karena anak didik membenci mata pelajran tersebut akibat dari suatu hal. Guru
tidak dapat banyak berharap kepada anak didik seperti ini untuk mencapai target
penguasaan kurikulum.
b.
Program
Program
pendidikan dalam setiap sekolah disusun untuk dijalankan demi keberhasilan dan
kemajuan pendidikan sekolah. Program pendidikan disusun berdasarkan potensi
sekolah yang tersedia, baik tenaga, finansial, dan sarana prasarana.
Setiap sekolah
memiliki program pendidikan yang berbeda-beda berdasarkan potensi sekolah tersebut sehingga menyebabkan
adanya perbedaan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran antara sekolah yang
kekurangan guru dan sekolah yang memiliki guru lengkap berbeda. Sekolah yang
tidak kekurangan tentu lebih baik kualitas pengajarannya daripada sekolah yang
kekurangan guru. Karena tidak ada mata pelajaran yang terbengkalai karena
ketiadaan guru. Apalagi bila mata pelajaran yang dipegang guru itu sesuai latar
belakang pendidikannya. Setiap guru yang memegang mata pelajaran itu mempunyai
tugas dan tanggung jawab untuk membina dan membimbing setiap anak didik agar
mencapai prestasi optimal dalam belajar.
Program
bimbingan dan penyuluhan mempunyai andil yang besar dalam keberhasilan belajar
anak didik di sekolah. Tidak semua anak didik sepi dari masalah kesulitan
belajar. Bervariasinya nilai kuantitatif di dalam buku rapor sebagai bukti
bahwa tingkat penguasaan bahan pelajaran oleh anak didik yang bermacam-macam.
Bantuan mutlak diberikan kepada anak didik yang bermasalah agar mereka tenang
dan bergairah dalam belajar. Ketiadaan tenaga bimbingan dan penyuluhan tidak
menjadi alasan untuk tidak memberikan bantuan dalam usaha mengeluarkan anak
didik dari kesulitan belajar. Wali kelas atau dewan guru dapat berperan sebagai
penyuluh yang memberikan penyuluhan bagaimana cara mengatasi kesulitan belajar
dan bagimana cara belajar yang baik dan benar kepada anak didik.
Program pengajaran
yang guru buat akan mempengaruhi kemana proses belajar itu berlangsung. Gaya
belajar anak didik digiring ke suatu aktivitas belajar yang menunjang
keberhasilan program pengajaran yang dibuat oleh guru. Itu berarti guru tidak
berhasil membelajarkan anak didik. Akibatnya anak didik tidak menguasai bahan
pelajaran yang diberikan itu. Program pengajaran yang dibuat tidak hanya berguna
bagi guru, tetapi juga bagi anak didik. Bagi guru dapat menyeleksi perbuatan
sendiri dan kata-kata atau kalimat yang munjang tercapainya tujuan pengajaran.
Bagi anak didik dapat memilih bahan pelajaran atau kegiatan yang menunjang ke
arah penguasaan materi seefektif dan seefisien mungkin.
c.
Sarana
dan Fasilitas
Sarana dan
fasilitas sekolah sangat berperan penting dalam proses dan hasil belajar anak
didik guna memberikan kemudahan pelayanan anak didik. Suatu sekolah yang
kekurangan ruang kelas, sementara jumlah anak didik yang dimiliki dalam jumlah
banyak melebihi daya tampung kelas, akan menemukan banyak masalah. Kegiatan
belajar mengajar kurang kondusif. Pengelolaan kelas kurang efektif. Konflik
anak didik sukar dihindari. Penempatan anak didik secara proposional sering
terabaikan. Pertimbangan material dengan anak didik yang masuk dalam jumlah
yang banyak, melebihi kapasitas kelas adalah kebijakan yang cenderung
mengabaikan aspek kualitas pendidikan.
Selain itu,
gedung sekolah juga berpengaruh. Gedung sekolah tersebut merupakan tempat yang
strategis untuk berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di sekolah. Gedung
sekolah yang berada di dua tempat yang berjahan cenderung sukar dikelola.
Pengawasan sukar dilaksanakan dengan efektif. Pembagian jadwal mengajar sukar
disusun karena penyusunannya harus mempertimbangkan jauh dekatnya sekolah bagi
para guru.
Fasilitas
seperti lengkap tidaknya buku-buku di perpustakaan juga menentukan kualitas
suatu sekolah karena perpustakaan adalah laboraturiun ilmu dan harus menjadi
“sahabat karib” bagi anak didik. Selain buku di perpustakaan, buku pegangan
anak didik juga harus lengkap. Pihak sekolah juga dapat membantu anak didik
dengan meminjamkan sejumlah buku yang sesuai dengan kurikulum. Sehingga tidak
ada alasan bagi anak didik untuk berprestasi karena pihak sekolah telah
memberikan fasilitas (buku pinjaman) kecuali karena ada faktor lain diluar ini.
Selain anak
didik, guru juga harus mendapatkan fasilitas, seperti buku pegangan dan buku
penunjang agar wawasan guru tidak sempit. Buku kependidikan/keguruan juga perlu
dibaca dan dimiliki oleh seorang guru dalam rangka meningkatkan kompetisi
keguruan. Alat peraga juga merupakan salah satu fasilitas sekolah yang harus
digunakan oleh seorang guru dalam mengajar.
Dengan demikian,
anak didik tentu dapat belajar lebih baik dan menyenangkan bila suatu sekolah
dapat memenuhi segala kebutuhan belajar (sarana dan fasilitas). Masalah yang
anak didik hadapi dalam belajar relatif kecil. Hasil belajar anak didik tentu
akan lebih baik.
d.
Guru
Tanpa guru,
proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Guru merupakan salah
satu unsur yang harus ada dalam proses belajar. Guru memang dituntut untuk
profesional, tapi hal itu tidak gampang karena semuanya terpulang dari sikap
mental guru. Guru yang profesional lebih mengedepankan kualitas pengajaran
daripada material oriented. Kualitas kerja lebih diutamakan daripada mengambil
mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya.
Menurut M.I.
Soelaeman (1985:45) untuk menjadi guru baik tidak dapat diandalkan kepada bakat
ataupun hasrat (emansipasi) ataupun lingkungan belaka, namun harus disertai
kegiatan studi dan latihan serta praktek/pengalaman yang kegairahan kerja yang
menyenangkan.
Sebagai tenaga profesional
yang sangat menentukan jatuh bangunnya suatu bangsa dan negara, guru seharusnya
menyadari bahwa tugas mereka sangat berat, bukan hanya sekedar menerima gaji
setiap bulan atau mengumpulkan kelengkapan administrasi demi memenuhi angka
kredit kenaikan pangkat atau golongan dengan mengabaikan tugas utama mengajar.
Dengan kesadaran itu diharapkan terlahir motivasi untuk meningkatkan kompetensi
melalui selft study. Kompetensi yang harus ditingkatkan menyangkut tiga
kemampuan, yaitu kompetensi personal, profesional, dan sosial.
Di sekolah, kompetensi
personal akan menentukan simpatik tidaknya, akrab tidaknya guru dalam pandangan
anak didik. Kerawanan hubungan guru dengan anak didik sangat ditentukan sejauh
mana tingkat kualitas kompetensi personal yang dimiliki oleh guru. Sering guru
tak diacuhkan oleh anak didik, disebabkan guru sendiri mengambil jarak dengan
anak didik. Cukup banyak anak didik yang tak mengenal gurunya dengan baik
disebabkan guru sangat jarang duduk bersama-sama dengan anak didik di luar
kelas pada waktu luang untuk membicarakan apa saja yang berhubungan dengan
masalah pelajaran dan kesulitannya.
Menjadi guru bukan hanya sekedar tampil di kelas, di depan sejumlah
anak didik, lalu memberikan pelajaran apa adanya, tanpa melakukan
langkah-langkah yang strategis. Bahan pelajaran telah disampaikan. Mengerti
tidaknya anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan itu tak menjadi
soal. Inilah sikap yang tidak profesional yang membodohi anak didik. Tetapi
supaya kegagalan pengajaran tertutupi dilakukan rekayasa nilai dengan dalih
kasihan bila anak didik mendapat nilai rendah. Inilah kebodohan guru yang
miskin idealisme.
Tak jarang guru profesional terjebak pada perangkap sikap tinggi
hati. Tidak mau bergaul kecuali dengan mereka-mereka yang seprofesi. Tidak mau
bekerja sama bila hanya menguntungkan orang lain. Tidak sudi duduk bersama-sama
dengan anak didik di waktu luang disebabkan takut tak dihormati oleh anak
didik. Takut tak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan anak didik. Dalam
musyawarah ingin menang sendiri dan sangat berat menerima pendapat orang lain
yang mengandung kebenaran. Inilah sikap guru yang kurang kompetensi sosial,
suatu sikap yang sangat merugikan anak didik yang sedang mencari kebaikan dari
guru.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
v Belajar adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi
dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik.
v Belajar itu bukanlah suatu aktivitas yang berdiri sendiri, tetapi
ada unsur-unsur lain yang ikut terlibat langsung di dalamnya, yaitu raw input, learning teaching process,
output, inviromental input, dan instrumental
input.
v Proses belajar yang telah terjadi dalam diri seseorang hanya dapat
disimpulkan dari hasilnya, karena aktivitas belajar yang telah dilakukan.
v Untuk mendapatkan hasil belajar ( dalam bentuk perubahan) yang baik
harus melalui proses tertentu yang dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal individu.
Daftar
Pustaka
Bahri Djamarah, syaiful. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: rineka Cipta
Syah, Muhibbin. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar