Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS.Al-Ahzab:21)

Selasa, 20 Mei 2014

makalah tentang proses dan hasil belajar



BAB I

PENDAHULUAN

Proses pembelajaran fisika yang baik tentunya akan mempengaruhi hasil belajar fisika  anak didik. Hal ini menunjukkan bahwasanya proses belajar mengajar mempengaruhi hasil belajar. Untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal tentunya diperlukan proses belajar yang maksimal juga. Maka untuk bisa menciptakan proses belajar yang maksimal harus diikuti dengan faktor-faktor pendukung supaya proses belajar mengajar dikelas bisa berjalan dengan baik.
Dengan adanya situasi yang mendukung dalam proses pembelajaran ini tentunya diharapkan dalam proses pembelajaran dikelas dapat menjadikan anak didik dapat lebih termotivasi dalam belajar. Selanjutnya, anak didik mampu memahami dengan baik materi-materi pelajaran, khususnya pelajaran fisika. Kita sadari bahwasanya tingkatan materi dalam fisika itu dari tingkatan mudah atau yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari samapai tingkatan yang sulit atau bisa dikatakan sebagai materi yang abstrak. Disinilah guru dituntut agar bisa menyampaikan materi-materi tersebut dengan baik sehingga anak didik mampu memahaminya dengan baik.
Disini dapat dipahami bahwasanya untuk mencapai tingkat keberhasilan dalam proses maupun hasil belajar dalam pembelajaran fisika khususnya, diperlukan hubungan yang baik antara guru dan anak didik. Kemudian juga diperlukan dukungan dari semua pihak baik sekolah, pemerintah dan juga masyarakat sekitar.

















BAB II

PEMBAHASAN


A.    Proses Dan Hasil Belajar
Belajar adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Perubahan itu adalah hasil yang telah dicapai dari proses belajar. Jadi, untuk mendapatkan hasil belajar dalam bentuk “perubahan” harus melalui proses tertentu yang dipengaruhi oleh faktor dalam diri individu dan dari luar individu. Proses disini tidak dapat dilihat karena bersifat psikologis. Oleh karena itu proses belajar telah terjadi dalam diri seseorang hanya dapat disimpulkan dari hasilnya, karena aktivitas belajar yang telah dilakukan. Misalnya, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak berilmu menjadi berilmu, dan sebagainya.
Noehi Nasution, dan kawan-kawan (1993:3) memandang belajar itu bukanlah suatu aktivitas yang berdiri sendiri. Mereka berkesimpulan ada unsur-unsur lain yang ikut terlibat langsung di dalamnya, yaitu raw input, learning teaching process, output, inviromental input, dan instrumental input.
Dalam upaya memperjelas apa yang diuraikan di atas, Noehi Nasution, dan kawan-kawan mengemukakan berbagai faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar tersebut secara lebih luas.

B.     Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Proses Dan Hasil Belajar
Secara global, faktor- faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat kita bedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1.    Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yaitu keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa;
2.    Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan disekitar kita.
Siswa yang bersifat conserving terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, siswa yang berintelegensi tinggi dan mendapat dorongan positif dari orangtuanya akan memilih belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil belajar. Jadi, karena faktor-faktor itulah, muncul siswa-siswa yang high-achievers (berprestasi tinggi) dan underachievers (berprestasi rendah) atau gagal sama sekali. Disini peran guru sangat diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok siswa yang menunjukkan segala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.

1)   Faktor Internal Siswa
a.    Aspek fisiologis
Kondisi umum jasmani dan tonus (teganga otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah dan disertai sakit kepala dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas. Untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap segar, siswa dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu, siswa juga dianjurkan memilih pola istirahat dan olahraga ringan secara rutin. Hal ini pnting karena perubahan pola makan-minum dan istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat mental siswa itu sendiri.
Tingkat kesehatan indera pendengaran dan indera penglihat juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan dikelas. Daya pendengaran dalam penglihatan siswa yang rendah umpamanya, akan menyulitkan sensory register dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic dan econic (gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi yang dilakukan oleh sistem memori siswa tersebut.
Untuk mengatasi timbulnya masalah mata dan telinga, anda selaku guru profesional seyogianya bekerja sama dengan pihak sekolah untuk memperoleh bantuan pemeriksaan rutin (periodik) dari dinas-dinas kesehatan setempat. Kiat lain yang tak kalah penting adalah dengan menempatkan mereka dideretan bangku terdepan secara bijaksana. Artinya, anda tidak perlu menunjukkan sikap dan alasan (apalagi didepan umum) bahwa mereka ditempatkan didepan kelas karena kekurang baikan mata dan telinga mereka. Langkah bijaksana ini perlu diambil untuk mempertahankan self-esteem dan self-confidence siswa-siswa. Kemerosotan self-esteem dan self-confidence (rasa percaya diri) seorang siswa akan menimbulkan frustasi yang pada gilirannya siswa tersebut akan menjadi underachiever atau mungkin gagal, meskipun kapasitas kognitif mereka normal atau lebih tinggi daripada teman-temannya.
b.    Aspek Psikologis
Pada umumnya faktror-faktor rohaniah siswa yang dipandang lebih esensial adalah sebagai berikut: 1) tingkat kecerdasan atau intelegensi siwa; 2) sikap siswa; 3) bakat siswa; 4) minat siswa; 5) motivasi siswa.

Intelegensi siswa
Intelegensi adalah kemampuan psikofisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Reber, 1988). Jadi, intelegensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, peran otak dalam hubungannya dengan intelegensi manusia lebih menonjol daripada peran organ-organ tubuh lainnya, lantaran otak merupakan “menara pengontrol” hampir seluruh aktivitas manusia.
Tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini artinya, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi siswa maka semakin kecil peluangnya untuk meraih sukses.
Diantara siswa-siswa yang mayoritas berintelegensi normal itu mungkin terdapat satu atau dua orang yang tergolong gifted child atau talented child, yakni anak sangat cerdas dan anak sangat berbakat.(IQ 140 keatas). Disamping itu, mungkin adapula siswa yang berkecerdasan dibawah batas rata-rata (IQ 70 kebawah).
Setiap calon guru dan guru profesional sepantasnya menyadari bahwa keluarbiasaan intelegensi siswa, baik yang positif seperti superior maupun negatif seperti borderline, lazimnya menimbulkan kesulitan belajar siswa yang bresangkutan. Disatu sisi siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari sekolah karena pelajaran yang disajikan terlampau mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustasi karena tuntutan kebutuhan keingintahuannya (curiosity) merasa dibendung secara tidak adil. Disisi lain, siswa yang bodoh sekali akan merasa sangat payah mengikuti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karenanya siswa itu sangat tertekan, dan akhirnya merasa bosan dan frustasi seperti yang dialami oleh rekannya yang luar biasa positif.
Untuk menolong siswa yang berbakat, sebaiknya anda menaikkan kelasnya setingkat lebih tinggi daripada kelasnya sekarang. Kelak, apabila ternyata dikelas barunya itu dia masih merasa terlalu mudah juga, siswa tersebut dapat dinaikkan setingkat lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya, hingga dia mendapatkan kelas yang tingkat kesulitan mata pelajarannya sesuai dengan tingkat intelegensinya. Apabila cara itu sulit ditempuh, maka ada alternatif lain, misalnya menyerahkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus untuk para siswa berbakat.
Sementara itu, untuk menolong siswa yang berkecerdasan dibawah normal, tak dapat dilakukan sebaliknya yakni menurunkan kekelas yang lebih rendah. Sebab, cara tersebut dapat menimbulkan masalah baru yang bersifat psikososial yang tidak hanya mengganggu dirinya saja, tetapi juga mengganggu “adik-adik” barunya.
Oleh karena itu, tindakan yang dipandang lebih bijaksana adalah dengan cara memindahkan siswa penyandang intelegensi tersebut ke lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak penyandang “kemalangan” IQ.

Sikap Siswa

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons (response tendence) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap siswa yang positif, terutama kepada anda dan pelajaran yang anda sajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa kepada anda dan mata pelajaran anda, apalagi jika diiringi kebencian kepada anda atau mata pelajaran anda dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Selain itu, sikap terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat conserving, walaupun mungkin tidak menimbulkan kesulitan belajar, namun prestasi yang dicapai siswa akan kurang memuaskan.
Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa, guru dituntut terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi haknya. Dalam hal bersikap positif terhadap mata pelajarannya, seorang guru sangat dianjurkan untuk senantiasa menghargai dan mencintai profesinya. Guru yang demikian tidak hanya menguasai bahan-bahan yang terdapat dalam bidang studinya, tetapi juga mampu meyakinkan para siswa akan manfaat bidang studi tertentu, siswa akan merasa membutuhkannya, dan dari perasaan butuh itulah diharapkan muncul sikap positif terhadap bidang studi tersebut sekaligus terhadap guru yang mengajarkannya.

Bakat Siswa

Bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Chaplin, 1972; Raber,1988). Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ketingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Jadi, secara umum bakat itu mirip dengan intelegensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berintelegensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yakni anak berbakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan pelatihan. Seorang siswa yang berbakat dalam bidang elektro misalnya, akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan dengan bidang tersebut dibanding dnegan siswa lainnya. Inilah yang kemudian disebut bakat khusus (specific aptitude) yang konon tak dapat dipelajari karena merupakan karunia inborn (pembawaan sejak lahir).
Bakat akan memengaruhi tinggi-rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu. Oleh karenanya adalah hal yang tidak bijaksana apabila orangtua memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang dimiliki anaknya itu. Pemaksaan kehendak terhadap seorang siswa, dan juga ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga ia memilih jurusan keahlian tertentu yang sebenarnya bukan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik (academic performance) atau prestasi belajarnya.

Minat Siswa

Minat (interest) adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (1988), minat tidak termasuk istilah populer dalam psikologi karena keberantungannya yang banyak pada faktor-faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang-bidang studi tertentu. Umpamanya, seorang siswa yang menaruh minat besar terhadap fisika akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan. Guru dalam kaitan ini seyogianya berusaha membangkitkan minat siswa untuk menguasai pengetahuan yang terkandung dalam bidang studinya dengan cara yang lebih kurang sama dengan kiat membangun sikap positif.

Motivasi Siswa

Motivasi ialah keadaan internal organisme baik manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1986; Reber, 1988).
Motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi intrinsik; 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Misalnya, perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut.
Motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Contoh konkret motivasi ekstrinsik dan intrinsik adalah pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orang tua, guru dan seterusnya.
Dalam perspektif kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain.

2)   Faktor Eksternal Siswa
a.    Lingkungan
Ø Lingkungan Sosial Budaya
Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para tenaga kependidikan (kepala sekolah dan wakil-wakilnya) dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri tauladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.
Masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan disekitar perkampungan siswa termasuk lingkungan sosial. Kondisi masyarakat dilingkungan kumuh yang serba kekurangan dan anak-anak penganggur, misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar siswa.
Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orangtua dan keluarga itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberi dampak baik atau buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil belajar yang dicapai siswa.
Ø Lingkungan Alami
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan alami adalah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa.
Contoh: kondisi rumah yang sempit dan berantakan serta perkampungan yang terlalu padat dan tak memiliki sarana umum untuk kegiatan remaja (seperti lapang voli) akan mendorong siswa untuk berkeliaran ke tempat-tempat yang sebenarnya tidak pantas dikunjungi. Kondisi rumah dan perkampungan seperti itu jelas berpengaruh buruk terhadap kegiatan belajar siswa.
Seorang ahli bernama J. Biggers berpendapat bahwa belajar pada pagi hari lebih efektif daripada belajar pada waktu lainnya. Namun, menurut penelitian beberapa ahli learning style (gaya belajar), hasil belajar itu tidak bergantung pada waktu secara mutlak, tetapi bergantung pada pilihan waktu yang cocok dengan kesiapsiagaan siswa (Dunn et al, 1986)
Menurut hasil penelitian mengenai kinerja baca (reading performance) sekelompok mahasiswa disebuah universitas di Australia Selatan, tidak ada perbedaan yang berarti antara hasil membaca pada pagi hari dan sore hari.
Dengan demikian, waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, tak perlu dihiraukan.



3)      Faktor Instrumental
a.    Kurikulum
Kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan unsur substansial dalam pendidikan. Tanpa kurikulum kegiatan belajar mengajar tidak dapat berlangsung, sebab materi yang harus guru sampaikan dalam suatu pertemuan, belum guru program sebelumnya. Itulah kurikulum untuk mata pelajaran yang dipegang dan diajarkan kepada anak didik. Setiap guru harus mempelajari dan menjabarkan isi kurikulum ke dalam program yang lebih rinci dan jelas sasarannya. Sehingga dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Muatan kurikulum akan mempengaruhi intensitas dan frekuensi belajar anak didik. Seorang guru terpaksa menjejalkan sejumlah bahan pelajaran kepada anak didik dalam waktu yang sedikit tersisa, karena ingin mencapai target kurikulum, akan memaksa anak didik belajar dengan keras tanpa mengenal lelah. Padahal anak didik sudah lelah belajar ketika itu. Tentu saja hasil belajar yang demikian kurang memuaskan dan cenderung mengecewakan. Guru akan mendapatkan hasil belajar anak didik dibawah standar minimum. Hal ini disebabkan telah terjadi proses belajar yang kurang wajar pada anak didik. Pemadatan kurikulum dengan alokasi waktu yang disediakan relatif sedikit secara psikologi menggiring guru pada pilihan untuk melaksanakan percepatan belajar anak didik untuk mencapai target kurikulum.
Untuk mencapai target penguasaan kurikulum oleh anak didik terkadang dirasakan begitu sukar. Faktor sejarah pendidikan masa lalu yang menjadi akar permasalahannya. Sebelum melanjutkan sekolah, anak didik telah terdidik dalam lingkungan sekolah dengan sistem pendidikan yang kurang baik, maka anak didik akan mengalami kesukaran untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Ada mata pelajaran tertentu yang sangat sukar untuk diserap dan dicerna oleh anak didik. Hal ini boleh jadi karena anak didik membenci mata pelajran tersebut akibat dari suatu hal. Guru tidak dapat banyak berharap kepada anak didik seperti ini untuk mencapai target penguasaan kurikulum.
b.    Program
Program pendidikan dalam setiap sekolah disusun untuk dijalankan demi keberhasilan dan kemajuan pendidikan sekolah. Program pendidikan disusun berdasarkan potensi sekolah yang tersedia, baik tenaga, finansial, dan sarana prasarana.
Setiap sekolah memiliki program pendidikan yang berbeda-beda berdasarkan  potensi sekolah tersebut sehingga menyebabkan adanya perbedaan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran antara sekolah yang kekurangan guru dan sekolah yang memiliki guru lengkap berbeda. Sekolah yang tidak kekurangan tentu lebih baik kualitas pengajarannya daripada sekolah yang kekurangan guru. Karena tidak ada mata pelajaran yang terbengkalai karena ketiadaan guru. Apalagi bila mata pelajaran yang dipegang guru itu sesuai latar belakang pendidikannya. Setiap guru yang memegang mata pelajaran itu mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membina dan membimbing setiap anak didik agar mencapai prestasi optimal dalam belajar.
Program bimbingan dan penyuluhan mempunyai andil yang besar dalam keberhasilan belajar anak didik di sekolah. Tidak semua anak didik sepi dari masalah kesulitan belajar. Bervariasinya nilai kuantitatif di dalam buku rapor sebagai bukti bahwa tingkat penguasaan bahan pelajaran oleh anak didik yang bermacam-macam. Bantuan mutlak diberikan kepada anak didik yang bermasalah agar mereka tenang dan bergairah dalam belajar. Ketiadaan tenaga bimbingan dan penyuluhan tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan bantuan dalam usaha mengeluarkan anak didik dari kesulitan belajar. Wali kelas atau dewan guru dapat berperan sebagai penyuluh yang memberikan penyuluhan bagaimana cara mengatasi kesulitan belajar dan bagimana cara belajar yang baik dan benar kepada anak didik.
Program pengajaran yang guru buat akan mempengaruhi kemana proses belajar itu berlangsung. Gaya belajar anak didik digiring ke suatu aktivitas belajar yang menunjang keberhasilan program pengajaran yang dibuat oleh guru. Itu berarti guru tidak berhasil membelajarkan anak didik. Akibatnya anak didik tidak menguasai bahan pelajaran yang diberikan itu. Program pengajaran yang dibuat tidak hanya berguna bagi guru, tetapi juga bagi anak didik. Bagi guru dapat menyeleksi perbuatan sendiri dan kata-kata atau kalimat yang munjang tercapainya tujuan pengajaran. Bagi anak didik dapat memilih bahan pelajaran atau kegiatan yang menunjang ke arah penguasaan materi seefektif dan seefisien mungkin.

c.    Sarana dan Fasilitas
Sarana dan fasilitas sekolah sangat berperan penting dalam proses dan hasil belajar anak didik guna memberikan kemudahan pelayanan anak didik. Suatu sekolah yang kekurangan ruang kelas, sementara jumlah anak didik yang dimiliki dalam jumlah banyak melebihi daya tampung kelas, akan menemukan banyak masalah. Kegiatan belajar mengajar kurang kondusif. Pengelolaan kelas kurang efektif. Konflik anak didik sukar dihindari. Penempatan anak didik secara proposional sering terabaikan. Pertimbangan material dengan anak didik yang masuk dalam jumlah yang banyak, melebihi kapasitas kelas adalah kebijakan yang cenderung mengabaikan aspek kualitas pendidikan.
Selain itu, gedung sekolah juga berpengaruh. Gedung sekolah tersebut merupakan tempat yang strategis untuk berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di sekolah. Gedung sekolah yang berada di dua tempat yang berjahan cenderung sukar dikelola. Pengawasan sukar dilaksanakan dengan efektif. Pembagian jadwal mengajar sukar disusun karena penyusunannya harus mempertimbangkan jauh dekatnya sekolah bagi para guru.
Fasilitas seperti lengkap tidaknya buku-buku di perpustakaan juga menentukan kualitas suatu sekolah karena perpustakaan adalah laboraturiun ilmu dan harus menjadi “sahabat karib” bagi anak didik. Selain buku di perpustakaan, buku pegangan anak didik juga harus lengkap. Pihak sekolah juga dapat membantu anak didik dengan meminjamkan sejumlah buku yang sesuai dengan kurikulum. Sehingga tidak ada alasan bagi anak didik untuk berprestasi karena pihak sekolah telah memberikan fasilitas (buku pinjaman) kecuali karena ada faktor lain diluar ini.
Selain anak didik, guru juga harus mendapatkan fasilitas, seperti buku pegangan dan buku penunjang agar wawasan guru tidak sempit. Buku kependidikan/keguruan juga perlu dibaca dan dimiliki oleh seorang guru dalam rangka meningkatkan kompetisi keguruan. Alat peraga juga merupakan salah satu fasilitas sekolah yang harus digunakan oleh seorang guru dalam mengajar.
Dengan demikian, anak didik tentu dapat belajar lebih baik dan menyenangkan bila suatu sekolah dapat memenuhi segala kebutuhan belajar (sarana dan fasilitas). Masalah yang anak didik hadapi dalam belajar relatif kecil. Hasil belajar anak didik tentu akan lebih baik.

d.   Guru
Tanpa guru, proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Guru merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam proses belajar. Guru memang dituntut untuk profesional, tapi hal itu tidak gampang karena semuanya terpulang dari sikap mental guru. Guru yang profesional lebih mengedepankan kualitas pengajaran daripada material oriented. Kualitas kerja lebih diutamakan daripada mengambil mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya.
Menurut M.I. Soelaeman (1985:45) untuk menjadi guru baik tidak dapat diandalkan kepada bakat ataupun hasrat (emansipasi) ataupun lingkungan belaka, namun harus disertai kegiatan studi dan latihan serta praktek/pengalaman yang kegairahan kerja yang menyenangkan.
Sebagai tenaga profesional yang sangat menentukan jatuh bangunnya suatu bangsa dan negara, guru seharusnya menyadari bahwa tugas mereka sangat berat, bukan hanya sekedar menerima gaji setiap bulan atau mengumpulkan kelengkapan administrasi demi memenuhi angka kredit kenaikan pangkat atau golongan dengan mengabaikan tugas utama mengajar. Dengan kesadaran itu diharapkan terlahir motivasi untuk meningkatkan kompetensi melalui selft study. Kompetensi yang harus ditingkatkan menyangkut tiga kemampuan, yaitu kompetensi personal, profesional, dan sosial.
        Di sekolah, kompetensi personal akan menentukan simpatik tidaknya, akrab tidaknya guru dalam pandangan anak didik. Kerawanan hubungan guru dengan anak didik sangat ditentukan sejauh mana tingkat kualitas kompetensi personal yang dimiliki oleh guru. Sering guru tak diacuhkan oleh anak didik, disebabkan guru sendiri mengambil jarak dengan anak didik. Cukup banyak anak didik yang tak mengenal gurunya dengan baik disebabkan guru sangat jarang duduk bersama-sama dengan anak didik di luar kelas pada waktu luang untuk membicarakan apa saja yang berhubungan dengan masalah pelajaran dan kesulitannya.
Menjadi guru bukan hanya sekedar tampil di kelas, di depan sejumlah anak didik, lalu memberikan pelajaran apa adanya, tanpa melakukan langkah-langkah yang strategis. Bahan pelajaran telah disampaikan. Mengerti tidaknya anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan itu tak menjadi soal. Inilah sikap yang tidak profesional yang membodohi anak didik. Tetapi supaya kegagalan pengajaran tertutupi dilakukan rekayasa nilai dengan dalih kasihan bila anak didik mendapat nilai rendah. Inilah kebodohan guru yang miskin idealisme.
Tak jarang guru profesional terjebak pada perangkap sikap tinggi hati. Tidak mau bergaul kecuali dengan mereka-mereka yang seprofesi. Tidak mau bekerja sama bila hanya menguntungkan orang lain. Tidak sudi duduk bersama-sama dengan anak didik di waktu luang disebabkan takut tak dihormati oleh anak didik. Takut tak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan anak didik. Dalam musyawarah ingin menang sendiri dan sangat berat menerima pendapat orang lain yang mengandung kebenaran. Inilah sikap guru yang kurang kompetensi sosial, suatu sikap yang sangat merugikan anak didik yang sedang mencari kebaikan dari guru.
       






























BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
v  Belajar adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik.
v  Belajar itu bukanlah suatu aktivitas yang berdiri sendiri, tetapi ada unsur-unsur lain yang ikut terlibat langsung di dalamnya, yaitu raw input, learning teaching process, output, inviromental input, dan instrumental input.
v  Proses belajar yang telah terjadi dalam diri seseorang hanya dapat disimpulkan dari hasilnya, karena aktivitas belajar yang telah dilakukan.
v  Untuk mendapatkan hasil belajar ( dalam bentuk perubahan) yang baik harus melalui proses tertentu yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal individu.













Daftar Pustaka

Bahri Djamarah, syaiful. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: rineka Cipta
Syah, Muhibbin. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar