Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS.Al-Ahzab:21)

Senin, 19 Mei 2014

makalah tentang teori kontekstual



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap individu membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan untuk tetap dapat survive dalam kehidupan. Pertumbuhan lebih mengarah pada kuantitas fisik, sedangkan perkembangan lebih condong kepada kualitas pribadi seorang individu yang dalam hal ini lebih mengarah pada ranah emosional, mental, kedewasaan, dan lain sebagainya.
Perkembangan merupakan suatu anugerah yang Tuhan berikan kepada makhluk-Nya. Perkembangan yang substansinya abstrak menjadikan para ilmuwan memiliki spirit untuk melakukan suatu kajian atau riset yang kemudian menghasilkan suatu teori atau konsep yang dengannya akan dihasilkan suatu khazanah dan disiplin keilmuwan. Masing-masing teori dan konsep yang dikemukakan mempunyai alasan dan cara pandang yang berbeda, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk sepenuhnya mengikuti salah satu konsep secara murni, mengingat tidak ada konsep yang berlaku obyektif untuk semua kondisi perkembangan manusia.
Teori tentang perkembangan sendiri sudah banyak dicetuskan oleh para ahli terutama ahli psikologi. Salah satunya yang perlu dibahas adalah teori perkembangan kontekstual yang aplikasi pembelajarannya sudah banyak digunakan oleh instansi-instansi pendidikan dan bahkan pernah menjadi salah satu konsep belajar yang dilegalkan di negara Amerika.
Oleh karena itu, teori perkembangan ini harus kita pelajari sebagai upaya untuk mengetahui tahapan-tahapan hidup manusia terutama kita sebagai calon guru harus memahami perkembangan dari peserta didik agar dapat menentukan jenis pembelajaran yang tepat baginya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian teori kontekstual dan siapa pencetusnya?
2.      Apa yang dimaksud dengan teori etologis dan teori ekologis?
3.      Bagaimana prinsip dari teori pembelajaran kontekstual serta aplikasinya dalam pembelajaran fisika?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian teori kontekstual berikut pencetusnya.
2.      Mengetahui maksud dari teori etologs dan ekologis.
3.      Mengetahui prinsip pembelajaran kontekstual serta aplikasinya dalam pembelajaran fisika.



BAB II
PEMBAHASAN
Teori kontekstual memandang perkembangan sebagai proses yang terbentuk dari transaksi timbal balik antara anak dan konteks perkembangan sistem fisik, sosial, kutural, dan histories dimana interaksi tersebut terjadi. Menurut teori ini interaksi setiap anak terhadap berbagai aspek berpengaruh langsung terhadap perkembangan anak tersebut. Hipotesis ini menarik perhatian para ahli untuk meneliti lebih dalam seberapa besar pengaruhnya dengan berbagai konsep dan pandangan masing-masing.
A.    Tokoh Teori kontekstual
Contextual teaching and learning banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran epistimologi Giambatista Vico (Suparno, 1997). Vico mengungkapkan: “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaannya.” Mengetahui, menurut Vico, berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Artinya, seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Vico, pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari subyek yang mengamati. Selanjutnya, pandangan filsafat kontruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, melainkan proses mengkontruksikan pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, tetapi hasil proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari pemberian tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.
Pandangan pakar pedagogi tentang teori perkembangan kontekstual:
1.      Dun Hull
Penerapan kaidah pembelajaran yang berangkat dari toeri perkembangan kontekstual memberikan implikasi positif terhadap keterlibatan siswa dalam sekolah. Efektifitas pembelajaran meningkat secara signifikan ketika mereka diajarkan mengapa mereka mempelajari konsep dan bagaimana konsep-konsep dapat digunakan diluar kelas, dan akan semakin efektif ketika mereka diizinkan untuk bekerja sama dengan yang lain dalam kelompok atau tim.

  1. John Dewey
Menurut John Derwey, rancangan formula kurikulum akan lebih maksimal jika kerangka formula tersebut mengambil titik acuan berupa perkembangan kontekstual yaitu Kurikulum dan metode pembelajaran yang terkait dengan pengalaman dan minat anak.
  1. Howard Gardner
Implikasi dari konsep perkembangan kontekstual mengarah pada definisi belajar sebagai proses yang kompleks yang tidak dapat ditangani secara memadai melalui drill-oriented (metode stimulus atau respon).
  1. Geoffrey Caine
Teori Perkembangan kontekstual akan mengarahkan sasaran dan metode pembelajran dengan karakteristik pencarian makna melalui hubungan yang masuk akal dan cocok dengan pengalaman masa lalu sebagai hakikat pembelajarannya.
  1. Jonassen
Jonassen menawarkan konsep belajar yang berangkat dari teori perkembangan kontekstual yaitu belajar dari tugas yang terletak dibeberapa tugas dalam dunia nyata, atau dirangsang melalui beberapa lingkungan belajar berbasis kasus atau berbasis masalah.
  1. D.A. Kolb
Suasana belajar yang mengambil teori perkembangan kontekstual sebagai basisnya yaitu suasana pelajaran yang melibatkan berbagai pengalaman yang mungkin dalam konteks sosial, budaya, fisikal dan psikologi.

A.    Teori Perkembangan Kontekstual
Merujuk pada pandangan para ahli terhadap definisi dan konsep perkembangan kontekstual, maka secara garis besar terdapat dua teori perkembangan kontekstual, yaitu teori etologi dan teori ekologi
1.      Teori Etologi
Etologi menegaskan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi, terkait dengan evolusi dan ditandai dengan periode kritis atau sensitif. Periode ini merupakan jangka waktu spesifik, yang menurut ahli etologi, ada atau tidaknya pengalaman tertentu akan memiliki dampak jangka-panjang bagi individu.
Seorang alhi zoologi eropa, konrad lorenzo (1903-1989) telah berjasa dalam mengangkat etologi menjadi teori yang penting. Dalam eksperimennya yang terkenal, Lorenz (1965) mempelajari perilaku dari angsa abu-abu, yang selalu mengikuti induknya sesaat setelah mereka menetas. Lorenz memisahkan telur-telur angsa ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama ia kembalikan kepada angsa untuk dierami, kelompok yang lain ditetaskan dalam sebuah inkubator. Anak-anak angsa dalam kelompok pertama berperilaku seperti yang diramalkan, mereka mengikuti induk mereka sesaat setelah mereka menetas. Namun, anak-anak angsa dalam inkubator melihat  Lorenz ketika mereka menetas sehingga mengikuti Lorenz ke mana-mana, seolah-olah ia adalah induk mereka. Lorenz menandai anak-anak angsa itu kemudian menempatkan kedua kelompok itu dalam satu kotak.  Induk angsa dan “ibu” Lorenzberdiri agak jauh ketika kotak itu diangkat. Masing-masing kelompok anak angsa langsung menuju “induk’-nya. Lorenz menyebut proses ini imprinting, suatu proses belajar yang cepat dan naluriah yang melibatkan kelekatan kepada objek bergerak yang pertama kali dilihat.
Meskipun demikian, John Bowlby (1969, 1989) menggambarkan penerapan penting dari teori etologi dalam perkembangan manusia. Bowlby mengatakan bahwa kelekatan kepada pengasuh selama satu tahun pertama kehidupan memiliki konsekuensi penting bagi keseluruhan masa hidup seseorang. Dalam pendangan Bowlby, apabila kelekatan ini berlangsung secara positif dan aman maka individu akan cenderung mengembangkan masa kanak-kanak dan masa dewasa yang positif. Apabila kelekatan ini berlangsung negatif dan tidak aman maka perkembangan masa hidup akan cenderung menjadi tidak optimal.
Menurut Lorenz, imprinting perlu terjadi pada waktu tertentu dan dini dalam kehidupan binatang, di luar waktu itu maka imprinting tidak akan terjadi. Periode waktu ini disebut periode kritis. Konsep yang berkaitan dengannya adalah konsep periode sensitif, contohnya adalah masa bayi yang menurut Bowlby diperlukan terjadinya kelekatan demi mendorong perkembangan optimal atas aspek hubungan sosial.

2.    Teori Ekologi
Teori ekologi dicetuskan oleh Urie Bronfenbrenner (1917-2005). Dalam teori ini lebih mengedepankan faktor lingkungan daripada faktor biologis. Teori ini menekankan pentingnya dimensi mikro dan makro dari lingkungan yang menjadi tempat hidup anak. Teori ekologi Bronfenbrenner (Bronfenbrenner, 1986, 2004; Bronfenbrenner & Morris, 1998, 2006) menyatakan bahwa perkembangan mencerminkan pengaruh dari sejumlah sistem lingkungan.[1] Adapun sistem lingkungan yang diidentifikasi dalam teori ini yaitu mikrositem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem.
a.       Mikrosistem, yaitu lingkungan tempat individu hidup. Konteks ini dapat mencakup struktur dan proses yang berlangsung pada setting tatap muka individu (immediate settings), misalnya keluarga, kawan-kawan sebaya, sekolah, ruang bermain, lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Dalam mikrosistem ini terjadi interaksi langsung antara individu dengan agen-agen sosial, misal interaksi seorang anak dengan orang tuanya, seorang anak yang bermain dengan kawannya di Sekolah, seorang murid dengan gurunya, dan lain sebagainya. Dalam setting ini, individu tidak dipandang sebagai seorang yang pasif namun lebih berperan dalam membangun lingkungan.
b.      Mesositem, yaitu konteks penghubung (mata rantai) dan proses yang berlangsung dalam dua setting atau lebih dari individu. Dengan kata lain, mesositem merupakan sistem dari mikrosistem yang terdiri dari relasi antar mikrosistem atau koneksi diantara beberapa konteks. Contohnya hubungan rumah dengan sekolah, pengalaman sekolah dengan keagamaan. Sebagai contoh, anak-anak yang orang tuanya menolak relasi dengan mereka akan mungkin mengalami kesulitan untuk mengembangkan relasi positif dengan guru mereka.
c.       Eksositem, yaitu konteks yang berkaitan antara lingkungan sosial, prosesnya terjadi di dua setting atau lebih dan individu yang berkembang tidak berperan aktif melainkan event-event yang terjadi dapat mempengaruhi proses yang berlangsung pada immediate setting. Contohnya relasi antara rumah dengan lingkungan kerja orang tua. Misal, bagi seorang suami atau anak yang dirumah, sedangkan ibunya bekerja dan memperoleh kenaikan jabatan yang menuntutnya untuk lebih banyak bepergian, sehingga hal ini memungkinkan terjadinya peningkatan konflik dengan suaminya dan mengubah pola interaksi dengan anaknya. 
d.      Makrosistem, adalah budaya tempat individu hidup. Konteks ini mencakup pola-pola ideologi dan organisasi institusi sosial dalam suatu budaya atau sub-budaya, dimana budaya merujuk pada pola-pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari sekelompok manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan adanya perbandingan antara budaya yang satu dengan yang lainnya memberikan informasi mengenai generalisasi perkembangan. Dalam makrositem ini mencakup ketiga konteks diatas, yakni mikrosistem, mesosistem, dan eksosistem.
e.       Kronosistem, yaitu pola peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi dari rangkaian kehidupan dan kedaan-keadaan sosiohistoris. Salah satu contoh transisi adalah perceraian. Para peneliti menemukan bahwa dampak-dampak negatif dari perceraian terhadap anak-anak sering sering kali memuncak ditahun pertama setelah perceraian (Hetherington, 1993).[2] Dua tahun setelahnya, interaksi keluarga mulai stabil, teratur, sudah tidak terlalu kacau. Sebagai contoh keadaan sosiohistoris, kita bisa melihat kesempatan bagi wanita untuk menjadi wanita karier yang memuncak sejak tahun 1960-an.

Bronfenbrenner (2004; Bronfenbrenner & Morris, 2006) baru-baru ini menambahkan pengaruh biologis dalam teorinya dan dikenal dengan nama teori bioekologi. Akan tetapi, adanya pengaruh biologis tersebut tidak mengubah teori Bronfenbrenner sebelumnya, konteks ekologi dan lingkungan masih memegang perang utama dalam teori Bronfenbrenner.

B.     Teori Pembelajaran Kontekstual
Teori perkembangan kontekstual memberikan implikasi terhadap bagaimana teori ini memberikan sumbangsih terhadap efektifitas pembelajaran suatu bidang studi bagi setiap peserta didik di setiap jenjangnya. Berkenaan dengan hal tersebut, telah banyak para ahli yang menelaah bagaimana teori ini diterapkan dalam proses pembelajaran. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, akhirnya ditemukan suatu konsep pembelajaran yang memanfaatkan teori perkembangan kontekstual yaitu Contextual Teaching and Learning Model. Prinsip kerja Model ini menyokong semua sistem kehidupan dan keseluruhan alam semesta dan bekerja menyerupai cara alam bekerja[3].
Menurut Elaine B. Johnson, Ph.D dalam bukunya Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here To Stay, terdapat tiga prinsip utama dalam penerapan pembelajaran kontekstual ini yaitu :
a.       Prinsip Diferensiasi[4]
Diferensiasi merujuk pada keragaman setiap objek hasil penciptaan. Kaitannya dengan teori kontekstual yaitu bahwa setiap objek di alam ini memiliki keragaman yang begitu luar biasa yang mencerminkan begitu indahnya di balik keragaman tersebut. Prinsip diferensiasi dalam pembelajaran yaitu bagaimana setiap pendidik ataupun peserta didik mampu berkreasi dalam berbagai hal dengan mengutaman kreatifitas menciptakan hal yang berbeda daripada yang lain, tentunya dalam segi yang positif. Contoh penerapan prinsip ini dalam proses pembelajaran khususnya fisika adalah dengan membuat tugas (baik kelompok atau individu) membuat suatu karya sederhana baik berupa miniatur atau hal menarik lainnya yang berkaitan dengan pelajaran fisika.
b.      Prinsip pengaturan diri[5]
Prinspi ini menyatakan bahwa setiap entitas memiliki sebuah potensi bawaan, suatu kewaspadaan atau kesadaran. Prinsip ini menaruh perhatian utama pada potensi bawaan setiap individu yang merupakan modal baginya untuk menjalani kehidupan serta bersaing untuk menjadi yang terbaik. Kaitannya dengan proses pembelajaran yaitu bagaimana pendidik mampu memancing serta mendorong setiap siswa untuk mengembangkan secara maksimal seluruh potensi yang ada dalam dirinya dengan sasaran utama mencapai keunggulan akademik, memperoleh keterampilan karier, dan mengembangkan karakternya. Contoh penerapan prinsip ini dalam proses pembelajaran khususnya fisika yaitu dengan mengadakan kuis ataupun hal lainnya yang mampu merangsang peserta didik untuk saling mengungguli serta merangsang potensi peserta didik dengan kegiatan di luar sekolah baik itu berupa perlombaan semisal olimpiade ataupun kegiatan ekstra.

c.       Prinsip kesaling-bergantungan[6]
Pada hakikatnya tidak ada satu pun materi di alam ini yang berdiri sendiri, namun semuanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain begitu pula dengan ilmu yang membahas objek materi tersebut. Adannya pemisahan kedalam berbagai disiplin ilmu hanyalah sebatas untuk memudahkan memahami konsep dasar dari keilmuan tersebut, namun pada tingkat yang lebih tingginya disiplin ilmu tersebut dengan sendirinya akan berhubungan dengan disiplin ilmu yang lainnya. Contoh penerapan prinsip ini dalam pembelajaran khususnya fisika yaitu dengan mengkaitakan objek pembahasan fisika dengan bidang studi lainnya baik itu dengan ilmu dalam ranah agama maupun dengan ranah ipa sendiri.
                                  Ketika peserta didik mampu menerapkan tiga prinsip ini dalam setiap proses pembelajaran, maka efektifitas pencarian makna pembelajaran dari sebuah bidang studi akan didapatkan oleh semua peserta didik. Karena pada hakikatnya tujuan akhir dari setiap pembelajaran adalah pencarian makna dibalik masing-masing objek pembahasannya[7]
C.    Contoh Penerapan Teori Kontekstual pada Pembelajaran Fisika
Guru berperan sebagai fasilitator, yakni membantu siswa menemukan makna. Tugas pendidik untuk memberdayakan potensi kodrati sehingga siswa terlatih menangkap makna dari materi yang diajarkan. Setiap materi fisika yang diajarkan memiliki makna dengan kualitas yang beragam. Makna yang berkualitas adalah makna kontekstual, yakni dengan menghubungkan materi ajar dengan lingkungan. Kontekstual antara lain berarti teralami oleh siswa.
Dalam kurikulum terbaru, khususnya SD, kini ditegaskan apa yang disebut pendekatan tematis. Matematika dan pelajaran lain, misalnya mesti disajikan dalam bentuk tema, bukan sebagai penggalan disiplin matematika yang abstrak dan mengerikan yakni yang sesuai dengan konteks persoalan, sosial, fisikal, dan psikis siswa. Tekni ini diniati untuk mengakrabkan materi akademik dengan siswa.
Contoh keterkaitan bahan ajar atau mencari makna dalam mata pelajaran fisika SMP, misal materi suhu dan kalor diajarkan dengan pendekatan kontekstual, melalui metode diskusi, informasi, dan percobaan. Pada pertemuan pertama pendidik memberi apersepsi dengan pertanyaan 1. Apa yang terjadi saat kita memasukkan sebongkah es di teh panas? 2. Apa yang terjadi pada sendok yang kita gunakan untuk mengaduk teh tersebut? Pada kegiatan inti memberikan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Contoh keterkaitan bahan ajar dalam pembelajaran SMA, misal pada materi elastisitas, usaha dan energi, hukum-hukum newton, dll. Dengan mengkombinasikan antara kontruktivisme, bertanya, percobaan, pemodelan, refleksi, dan penalaran sebenarnya.

           









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Teori kontekstual memandang perkembangan sebagai proses yang terbentuk dari transaksi timbal balik antara anak dan konteks perkembangan system fisik, sosial, kutural, dan historis dimana interaksi tersebut terjadi. Pakar pedagogi yang mengutarakan teori perkembangan kontekstual:
a.       Dun Hull
b.      John Dewey
c.       Howard Gardner
d.      Geoffrey Caine
e.       Jonassen
f.       D.A. Kolb
2.      Teori etologi menegaskan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi, terkait dengan evolusi dan ditandai dengan periode kritis atau sensitif. Periode ini merupakan jangka waktu spesifik, yang menurut ahli etologi, ada atau tidaknya pengalaman tertentu akan memiliki dampak jangka-panjang bagi individu.
Teori ini menekankan pentingnya dimensi mikro dan makro dari lingkungan yang menjadi tempat hidup anak. Teori ekologi Bronfenbrenner (Bronfenbrenner, 1986, 2004; Bronfenbrenner & Morris, 1998, 2006) menyatakan bahwa perkembangan mencerminkan pengaruh dari sejumlah sistem lingkungan. Adapun sistem lingkungan yang diidentifikasi dalam teori ini yaitu mikrositem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem.

3.      Teori perkembangan kontekstual memberikan implikasi terhadap bagaimana teori ini memberikan sumbangsih terhadap efektifitas pembelajaran suatu bidang studi bagi setiap peserta didik di setiap jenjangnya. Berkenaan dengan hal tersebut, telah banyak para ahli yang menelaah bagaimana teori ini diterapkan dalam proses pembelajaran.
tiga prinsip utama dalam penerapan pembelajaran kontekstual ini yaitu :
a.       Prinspi Diferensiasi
b.      Prinsip pengaturan diri
c.       Prinsip kesaling-bergantungan

Daftar Pustaka
Johnson, Elanine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana
Santrock, John W. 2012. Life-span Development : Perkembagan Masa-hidup. Jakarta: Erlangga



[1] John W. Santrock, Life-Span Development, Erlangga, Jakarta, hlm. 32.
[2] John W. Santrock, Life-Span Development, Erlangga, Jakarta, hlm. 32.
[3] Elaine B Johnson, 2002,Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here To Stay, hlm 34
[4] Ibid hlm 75
[5] Ibid hlm 79
[6] Elaine B Johnson, 2002,Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here To Stay, hlm 69
[7] Ibid hlm 35

1 komentar: